Makalah Perumusan UUD 1945
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, atau disingkat 1945 atau UUD ’45,
adalah dasar hukum tertulis (hukum dasar), konstitusi pemerintahan Republik
Indonesia saat ini. UUD 1945 disahkan menjadi undang-undang oleh negara secara
PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
Sejak tanggal 27 Desember 1949,
dalam Konstitusi Indonesia berlaku RIS, dan sejak 17 Agustus 1950 di Indonesia
berlaku UUDS 1950. Keputusan Presiden 5 Juli 1959 kembali memberlakukan UUD 1945,
menegaskan dengan DPR pada 22 Juli 1959. Pada periode 1999-2002, 1945 mengalami
4 kali perubahan amandemen, yang mengubah pengaturan lembaga.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Sejarah Perumusan UUD 1945
2. Dekrit Presiden 5 Juli
3. Sejarah Penyusunan UUD 1945
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
Perumusan UUD 1945
Rumusan UUD 1945 yang ada saat ini
merupakan hasil rancangan BPUPKI. Naskahnya dikerjakan mulai dari tanggal 29
Mei sampai 16 Juli. Jadi, hanya memakan waktu selama 40 hari setelah dikurangi
hari libur. Kemudian rancangan itu diajukan ke PPKI dan diperiksa ulang. Dalam
sidang pembahasan, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah
melalui perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan
dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI. Perubahan pertama pada
kalimat Mukadimah. Rumusan kalimat yang diambil dari Piagam Jakarta,"
...dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya"
dihilangkan. Kemudian pada pasal 4. Semula hanya terdiri dari satu ayat,
ditambah satu ayat lagi yang berbunyi, "Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD". Dan, juga dalam pasal ini
semula tertulis," wakil presiden ditetapkan dua orang" diganti
menjadi "satu Wakil Presiden". Juga pada Pasal 6 ayat 1, kalimat yang
semula mensyaratkan presiden harus orang Islam dicoret. Diganti menjadi,"
Presiden adalah orang Indonesia asli". Dan, kata "mengabdi"
dalam pasal 9 diubah menjadi "berbakti".
Tampaknya, BPUPKI, Panitia
Perancang UUD dan juga Muh. Yamin lalai memasukkan materi perubahan UUD
sebagaimana terdapat dalam setiap konstitusi. Hingga sidang terakhir pada
tanggal 14 Juli 1945, BPUPKI sama sekali tidak menyinggungnya. Walaupun saat
itu, sempat muncul lontaran dari anggota Kolopaking yang mengatakan, "
Jikalau dalam praktek kemudian terbukti, bahwa ada kekurangan , gampang sekali
tidak gampang, tetapi boleh diubah kalau perlu".
Usulan mengenai materi perubahan
UUD baru muncul justru muncul saat menjelang berakhirnya sidang PPKI yang
membahas pengesahan UUD. Di tanggal 18 Agustus 1945 itu, Ketua Ir Soekarno
mengingatkan masalah tersebut. Kemudian forum sidang menyetujui untuk diatur
dalam pasal tersendiri dan materinya disusun oleh Soepomo. Tak kurang dari
anggota Dewantara, Ketua Soekarno serta anggota Soebarjo turut memberi
tanggapan atas rumusan Soepomo. Tepat pukul 13.45 waktu setempat, sidang
menyetujui teks UUD.
Dalam pidato pe-nutupan, Ketua Ir
Soekarno menegaskan bahwa UUD ini bersifat sementara dan, "Nanti kalau
kita bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan
mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat UUD yang
lebih lengkap dan lebih sempurna." Dari pidato ini, implisit tugas yang
diemban oleh UUD 1945 sebatas mengantar gagasan (konsepsi) Indonesia masuk
dalam wilayah riel bernegara. Setelah itu, akan disusun UUD baru yang lebih
lengkap dan sempurna.
Namun,dalam perjalanan selanjutnya,
eksperimen ketatanegaraan tak kunjung berhasil menetapkan UUD baru. Upaya yang
dilakukan sidang Dewan Kontituante berakhir dengan kegagalan. Walhasil, hingga
1959 belum juga mampu disusun satu UUD baru yang lebih lengkap dan sempurna.
Solusinya, UUD 1945 diberlakukan kembali. Kesejarahan konstitusi ini, jelas
mengakibatkan banyak dampak politis. Tulisan ini membatasi diri hanya pada
kajian sejarah. Utamanya yang berkait dengan watak asali dari UUD 1945. Apakah
dengan dekrit - yang melahirkan kesan inkonsistensi sikap Soekarno, sifat
kesemntaraan UUD 1945 berubah menjadi definitif atau tetap. Satu dari dua kemungkinan
yang jelas akan berakibat serius pada perjalanan ketatanegaraan selanjutnya.
2.2 Dekrit Presiden 5 Juli
Kedudukan UUD 1945 sempat
digantikan dua kali; oleh UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950. Kemudian, pada
tahun 1959 dikembalikan pada posisi semula. Kali kedua berkedudukan sebagai
dasar negara terjadi pada tanggal 5 Juli 1959. Atau dikenal dengan peristiwa
keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Saat itu Presiden Soekarno mengeluarkan
Dekrit yang antara lain menyebutkan," UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung dari tanggal
penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunya lagi Undang Undang Dasar
Sementara.". Dekrit ini sekaligus membubarkan Dewan Konstituante. Satu
badan negara yang bertugas menyusun UUD baru. Sejak saat itu, muncul masalah
baru dibidang kajian konstitusi. Selain secara teoritik diperdebatkan
keabsahannya, pun juga mengenai sifat yang semula melekat pada UUD 1945. Muh.
Yamin, ahli hukum yang juga ikut merancang UUD 1945, berpendapat bahwa sejak
dikeluarkannya dekrit maka hilanglah sifat sementara-nya. Argumentasinya
didasarkan pada pernyataan berlakunya kembali UUD 1945 itu tidak diikuti dengan
kalimat yang menyebutkan berlaku untuk sementara waktu. Olehkarenanya, anggap
Yamin, MPR tidak perlu lagi menetapkan UUD sebagaimana isi Pasal 3 dan Aturan
Peralihan UUD 1945.
Namun, tidak sedikit yang
berpandangan sebaliknya. Jika ditilik aspek legalitas, keberadaan Dekrit
sebagai dasar hukum pemberlakukan kembali UUD 1945 amat diragukan keabsahannya.
Sebab, presiden jelas bukan lembaga yang punya otoritas untuk menetapkan UUD.
Kewenangan ini hanya dimiliki oleh lembaga tertinggi negara atau MPR. Kalaupun
dipaksakan, maka konsekuensinya Dekrit itu tidak mampu mengubah sifat
kesementaraan UUD 1945.
Justru dengan berlakunya kembali
UUD 1945 sama artinya dengan peneguhan keberadaan pasal 3. Satu pasal yang
mengatur kewenangan MPR untuk menetapkan UUD yang baru . Bukankah pernyataan
pemberlakuan kembali UUD 1945 oleh Dekrit, juga tak diikuti dengan kalimat
pengecualian Pasal 3, Pasal 37 dan Aturan Tambahan UUD 1945. Artinya, ditinjau
dari perspektiv juridis, UUD 1945 masih tetap bersifat sementara.
Persoalan akan menjadi semakin jelas jika
ditelitik lewat tinjauan sejarah lahirnya Dekrit 5 Juli. Tanpa pemahaman yang
utuh atas setting politik saat dikeluarkannya Dekrit, niscaya timbul satu
pertanyaan besar; Mengapa Soekarno yang dulunya begitu wanti- wanti menegaskan
sifat kesementaraan UUD 1945 serta berharap kelak akan dibuat UUD baru yang
lebih lengkap dan sempurna, justru malah mengeluarkan dekrit kembali pada UUD
194. Politik saat dikeluarkan Dekrit (5 Juli 1959) merupakan tahun dimana
panggung politik marak oleh hingar bingar pergolakan di daerah, perdebatan
antar partai politik dalam sidang Dewan Konstituante serta semakin
mengencangnya tuntutan tentara untuk ikut berpolitik. Carut marutnya dunia
politik di era akhir 50-an itu, menempatkan Presiden Soekarno dalam posisi
sulit. Padahal disisi lain, sudah sejak 1957 ia menyatakan tidak ingin lagi
memainkan peranan yang terlalu penting. Semisal dalam bidang ekonomi, ia merasa
bukan bidangnya. Yang diinginkan, kedudukan yang tidak menuntut tanggung jawab
besar. Sebatas simbol atau pencetus ide saja . Bukan kedudukan presiden
sebagaimana dikehendaki UUD 1945 (biografi Hardi). Olehkarenanya, beralasan
jika ada yang berpandangan, Soekarno tidak begitu senang dengan UUD 1945. Dalam
konteks inilah, patut diragukan jika ada yang berpendapat keluarnya Dekrit 5
Juli berasal dari dari benak Soekarno.
Dalam menjawab persoalan ini,
keberadaan Nasution (tentara) dalam pentas politik menjadi penting untuk
dikaji. Kalangan akademisi sendiri juga sudah menyepakati adanya benang merah
antara Nasution dengan berlakunya kembali UUD 1945. Setidaknya, pada tahun 1959
dan bahkan beberapa tahun sebelumnya (ingat tuntutan Nasution pada peristiwa 17
Oktober 1952), ia sudah beranggapan bahwa UUD 1945 merupakan konstitusi yang
paling pantas. Sikap Nasution itu dilatar belakangi kondisi internal tentara
yang amburadul. Faktor ini kemudian dibingkai dalam program konsolidasi. Satu
program yang difokuskan untuk menyelesaikan friksi-friksi yang mulai
menggejala, utamanya diantara para perwira profesional dengan perwira yang
berbisnis serta antara perwira pusat dengan daerah. Dan juga, ia ingin
mengakomodasi kecenderungan berpolitik dari sebagian perwira.
Dalam suasana seperti itu, muncul
anggapan, persoalan yang menimpa tentara lebih diakibatkan pemberlakukan konsep
otonomi yang luas serta kuatnya pengaruh politik dari parlemen. Jika dibiarkan
berlarut-larut maka organisasi tentara akan semakin melemah. Secara a
contrario, konsolidasi baru berhasil jika ada kontrol yang kuat dari pusat.
Konsekuensinya, diberlakukan sistem sentralisasi kekuasaan pemerintahan serta
politisi sipil dalam parlemen dilarang keras cawe-cawe urusan ketentaraan.
Kemudian, di tahun 1958, Nasution
mulai giat mencari landasan bagi peran politik tentara. Tak kurang dari
kalangan kampus juga dimintai pendapat, antara lain diskusi dengan Prof Joko
Sutono - dekan FH UI yang menelorkan gagasan Jalan Tengah (De Legers Midel
Weg). Dalam pidato tertanggal 12 November 1958 di Magelang, Nasution
terang-terangan berpendapat tentara adalah kekuatan hankam sekaligus kekuatan
sosial politik. Ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan doktrin perang
wilayah yang memerlukan kekuasaan teritorial (konsep Jalan Tengah). Dan, sejak
saat itu pula, petinggi tentara ini menginginkan UUD 1945 diberlakukan kembali.
Kesempatan baru diperoleh saat
Presiden Soekarno melawat ke luar negeri. Sebelum berangkat, Nasution diberi
mandat mengurus keadaan dalam negeri. Didalamnya juga termasuk mengurusi sidang
Dewan Konstiuante yang sedang berlangsung di Bandung. Pada bulan Februari,
gagasan kembali pada UUD 1945 mulai digelontorkan. Harapannya, konstituante
segera menyetujuinya. Tapi, ternyata hasil pemungutan suara yang diadakan
tanggal 2 Juni, diperoleh dukungan hanya 264 suara, 204 menolak dan 2 suara
abstain. Padahal syarat sah-nya dibutuhkan 2/3 suara. Kegagalan memperoleh 2/3
suara sama artinya Nasution kalah. Keesokan harinya, Nasution langsung mencekal
semua anggota Dewan Konstituante. Semua aktifitas politik dilarang. Orang tidak
boleh lagi bicara di koran, sampai menunggu presiden pulang. Nasution sendiri
segera mengirim kurir atase pada presiden. Setibanya dari lawatan, tanggal 29
Juni, Soekarno harus menghadapi kenyataan pahit. Saat harus bersikap, ia sudah
tidak mempunyai organisasi yang baik, yang siap dikerahkan sewaktu-waktu.
Soekarno harus berjuang sendirian dalam menghadapi Nasution, yang posisi
politiknya semakin menguat. Selain itu juga ditambah dengan berita koran yang
cenderung menguntungkan tentara. Sepanjang tahun 58 sampai 59, dipenuhi berita
kudeta militer; di Irak, Pakistan, Birma, Thailand, Philipina, dan Sudan.
Walhasil, dalam posisi lemah dan terjepit seperti itulah, keluar Dekrit 5
Juli.: Konstituante dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan kembali. Ibaratnya,
dengan dekrit itu, UUD 1945 yang sedang berada dipersimpangan jalan dipaksa
balik. Dipaksakan dalam posisi semula, sebagai hukum dasar.
Peristiwa ini lebih merupakan tanda
bahwa Soekarno tahu, sejak saat itu ia sudah tidak lagi mampu mengontrol
tentara. (Daniel Lev, Membangun Republik, Seattle, 2 Agustus 1995). Simpulan
ini, lebih masuk akal. Apalagi jika ditelusuri jalinan sejarah berikutnya, yang
menyodorkan cerita kejatuhan Soekarno di pertengahan tahun 60-an. Satu cerita
tentang tragedi yang tak bisa dihindari, dari seorang pemimpin yang amat
konsisten dengan pendirian politiknya. Selebihnya, adalah dongeng tentang mitologi
konstitusi. Dan kini, tampaknya, UUD 1945 sudah kembali berdiri dipersimpangan
jalan itu.
2.3 Sejarah Penyusunan UUD 1945
Pembentukan BPUPKI (29 April 1945).
Sidang Pertama (29 Mei – 1 Juni 1945) :
1. Muh.
Yamin menyampaikan usulan tertulis rancangan UUD RI.
Di dalamnya tercantum rumusan lima
asas dasar negara :
1. Ketuhanan
yang Maha Esa
2. Kebangsaan
Persatuan Indonesia
3. Rasa
Kemanusiaan yang Adil dan Berada
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
2. Ir.
Soekarno di hari ketiga menyampaikan lima hal untuk menjadi dasar-dasar negara
yaitu :
·
Kebangsaan Indonesia
· Internasionalisme
atau Perikemanusiaan
·
Mufakat atau Demokrasi
·
Kesejahteraan Sosial
·
Ketuhanan yang Berkebudayaan.
3. Panitia
Kecil pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil menyusun Rancangan Pembukaan UUD 1945
Sidang Kedua (10 – 16 Juli 1945)
:
Selain mengesahkan Piagam Jakarta
sebagai mukaddimah Rancangan UUD 1945, BPPK juga mengesahkan batang tubuh UUD
1945 yang memuat dua ketentuan penting yaitu : Negara berdasar ketuhanan yang
maha esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk pemeluknya.
Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam Sistematika Pancasila
dalam Sejarah Perkembangan Ketatanegaraan : Periode 17 Agustus 1945 – 27
Desember 1949. Periode pertama terbentuknya negara RI, konstitusi yang berlaku
adalah UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang dalam
pembukaannya terdapat rumusan Pancasila (5 sila). Sistem Presidensiil
berjalan dengan kabinet bertanggungjawab kepada presiden namun sistem
ketatanegaraan berubah sejak ada Maklumat wapres No. X tanggal 16 Oktober 1945
terdapat KNIP yang melakukan fungsi legislatif dari sebelumnya pembantu
presiden. Sejak itu sistem presidensiil berubah menjadi sistem parlementer
sehingga para menteri bertanggung jawab kepada parlemen (KNIP). Sementara sistem
pemerintahan berubah namun tekstual dalam UUD 1945 tidak berubah, maka sistem
pemerintahan dan administrasi negara tersebut menyalahi UUD 1945. Atas
dasar KMB, terjadi perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia dari negara
kesatuan menajdi negara RIS.
Sebagai negara RIS, maka UUD 1945
tidak berlaku lagi sehingga rumusan Pancasila dalam pembukaan UUD 1945 juga tidak berlaku.
27 Desember 1949 disepakatilah konstitusi RIS. UUD 1945 hanya berlaku di negara
bagian RI. Dalam mukaddimah konstitusi RIS, terdapat rumusan dan
sistematika Pancasila yaitu :
1. Ketuhanan
yang maha Esa
2. Peri
Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan
Sosial
Mukaddimah tersebut telah
menghapuskan sama sekali jiwa, semangat atau isi mukaddimah UUD 1945 sebagai
penerjemahan resmi proklamasi kemerdekaan Indonesia, termasuk perubahan susunan
kata-kata kelima sila dalam Pancasila. Masa ini membuka jalan bagi penafsiran
Pancasila secara bebas dan sesuka hati sehingga menjadi sumber segala
penyelewengan di dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Dekrit Presiden 5
Juli 1959 menandai kembali berlakunya UUD 1945 sehingga rumusan sistematika
Pancasila tetap seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 alineia ke
empat.
Untuk mewujudkan pemerintahan
negara berdasar UUD 1945 dan Pancasila dibentuklah alat-alat perlengkapan
negara :
1. Presiden
dan Menteri-Menteri
2. DPR-GR
3. MPRS
4. DPAS
Meski kembali ke UUD 1945, namun
dalam sistem ketatanegaraan terdapat beberapa penyimpangan :
·
Pelaksanaan demokrasi terpimpin
dengan presiden membentuk MPRS & DPAS
·
Penentuan masa jabatan presiden
seumur hidup
Berdirinya PKI yang berhaluan
atheism. Adanya kudeta dari PKI yang jelas-jelas akan membentuk negara komunis
di Indonesia sebagai penyimpangan terbesar. Menyikapi kondisi
ketatanegaraan yang semrawut tersebut, memunculkan Tritura yang salah satu
isinya adalah pelaksanaan kembali secara murni dan konsekuen Pancasila dan UUD
1945. Masa 5 Juli 1959 – 11 Maret 1966. Terjadi banyak
penyelewengan. Keluarlah Tritura sebagai dasar terbitnya Supersemar
1966. Masa 11 Maret 1966 – 19 Oktober 1999. Kilasan sejarah Orde Baru.
Kelemahan UUD 1945 dimanfaatkan
oleh Presiden Soeharto dengan menguasai proses rekrutmen MPR melalui rekayasa
undang-undang susunan dan kedudukan parlemen, meski pemilu
terselenggara. 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri Masa 19
Oktober 1999. Sekarang Pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak MPR.
a. Amandemen
I UUD 1945 (19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000)
b. Amandemen
II UUD 1945 (18 Agustus 2000 – 9 Nov 2001)
c. Amandemen
III UUD 1945 (9 November 2001 – 10 Agustus 2002)
d. Amandemen
IV UUD 1945 (10 Agustus 2002 - sekarang)
Hasil Amandemen UUD 1945
mempertegas deklarasi negara hukum dari semula hanya ada di dalam penjelasan
menjadi bagian dari batang tubuh UUD ‘45. Pemisahan kekuasaan negara
ditegaskan. Dasar hukum sistem pemilu diatur Pemilu langsung diterapkan
bagi presiden dan wakil presiden, Periodisasi lembaga kepresidenan
dibatasi secara tegas, Kekuasaan kehakiman yang
mandiri, Akuntabilitas politik melalui proses rekrutmen anggota parleman
(suara terbanyak), Adanya perlindungan secara tegas terhadap HAM. Satu hal
yang perlu dicatat bahwa amandemen hanya dilakukan terhadap batang tubuh UUD
1945 tanpa sedikitpun merubah pembukaan UUD 1945 yang pada hakekatnya adalah
ruh negara proklamasi. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD 1945 maka
sistematika dan rumusan Pancasila tidak mengalami perubahan.
· . Pembentukan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan
Jepang. Untuk menindaklanjuti hasil kerja BPUPKI, Jepang membentuk Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lembaga tersebut dalam bahasa Jepang
disebut Dokuritsu Junbi Iinkai. PPKI beranggotakan 21 orang yang mewakili
seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Mereka terdiri atas 12 orang wakil dari
Jawa, 3 orang wakil dari Sumatera, 2 orang wakil dari Sulawesi, dan seorang
wakil dari Sunda Kecil, Maluku serta penduduk Cina. Ketua PPKI pada tanggal 18
Agustus 1945, menambah anggota PPKI enam orang lagi sehingga semua anggota PPKI
berjumlah 27 orang.
PPKI dipimpin oleh Ir. Sukarno, wakilnya Drs.
Moh. Hatta, dan penasihatnya Ahmad Subarjo. Adapun anggotanya adalah Mr.
Supomo, dr. Rajiman Wedyodiningrat, R.P. Suroso, Sutardjo, K.H. Abdul Wachid
Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Suryohamijoyo, Abdul Kadir,
Puruboyo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Dr. Amir, Abdul Abbas, Teuku Moh. Hasan,
Hamdani, Sam Ratulangi, Andi Pangeran, I Gusti Ktut Pudja, Wiranatakusumah, Ki
Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, dan Iwa Kusumasumantri.
·
Proses Penetapan Dasar Negara dan Konstitusi
Negara
Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan
sidangnya yang pertama. Pada sidang ini PPKI membahas konstitusi negara
Indonesia, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, serta lembaga yang membantu
tugas Presiden Indonesia. PPKI membahas konstitusi negara Indonesia dengan menggunakan
naskah Piagam Jakarta yang telah disahkan BPUPKI. Namun, sebelum sidang
dimulai, Bung Hatta dan beberapa tokoh Islam mengadakan pembahasan sendiri
untuk mencari penyelesaian masalah kalimat ”... dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” pada kalimat ”Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tokoh-tokoh Islam yang
membahas adalah Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, K.H. Abdul Wachid
Hasyim, dan Teuku Moh. Hassan. Mereka perlu membahas hal tersebut karena pesan
dari pemeluk agama lain dan terutama tokoh-tokoh dari Indonesia bagian timur
yang merasa keberatan dengan kalimat tersebut. Mereka mengancam akan mendirikan
negara sendiri apabila kalimat tersebut tidak diubah. Dalam waktu yang tidak
terlalu lama, dicapai kesepakatan untuk menghilangkan kalimat ”... dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Hal ini dilakukan
untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kita harus menghargai
nilai juang para tokoh-tokoh yang sepakat menghilangkan kalimat ”.... dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Para tokoh PPKI
berjiwa besar dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka juga
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Adapun tujuan diadakan pembahasan sendiri tidak pada forum sidang
agar permasalahan cepat selesai. Dengan disetujuinya perubahan itu maka segera
saja sidang pertama PPKI dibuka.
·
Perbedaan dan Kesepakatan yang Muncul dalam Sidang
PPKI
Pada sidang pertama PPKI rancangan UUD hasil
kerja BPUPKI dibahas kembali. Pada pembahasannya terdapat usul perubahan yang
dilontarkan kelompok Hatta. Mereka mengusulkan dua perubahan. Pertama,
berkaitan dengan sila pertama yang semula berbunyi ”Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi ”Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Kedua, Bab II UUD Pasal 6 yang semula berbunyi
”Presiden ialah orang Indonesia yang beragama Islam” diubah menjadi ”Presiden
ialah orang Indonesia asli”. Semua usulan itu diterima peserta sidang. Hal itu
menunjukkan mereka sangat memperhatikan persatuan dan kesatuan bangsa.
Rancangan hukum dasar yang diterima BPUPKI pada tanggal 17 Juli 1945 setelah
disempurnakan oleh PPKI disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
UUD itu kemudian dikenal sebagai UUD 1945. Keberadaan UUD 1945 diumumkan dalam
berita Republik Indonesia Tahun ke-2 No. 7 Tahun 1946 pada halaman 45–48.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Rumusan UUD 1945 yang ada saat ini
merupakan hasil rancangan BPUPKI. Naskahnya dikerjakan mulai dari tanggal 29
Mei sampai 16 Juli. Jadi, hanya memakan waktu selama 40 hari setelah dikurangi
hari libur. Kemudian rancangan itu diajukan ke PPKI dan diperiksa ulang. Dalam
sidang pembahasan, terlontar beberapa usulan penyempurnaan. Akhirnya, setelah
melalui perdebatan, maka dicapai persetujuan untuk diadakan beberapa perubahan
dan tambahan atas rancangan UUD yang diajukan BPUPKI.
3.2
Saran
Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan
bagi yang membacanya,penulis mengharakpan kritik dan saran Sehingga makalah ini
akan menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
·
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=7elDVpC5NYSr0gTeqJWgBA#q=penyusunan+dan+perumusan+uud+1945&start=10