Welcome Comments Pictures
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG MUDAH-MUDAHAN BISA BERMANFAAT

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL PEMERKOSAAN



BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah kekerasan, baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk menjadi korban kekerasan.
Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000) yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.
Kasus perkosaan yang marak terjadi di Indonesia , menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya menyangkut pelanggaran hukum namun terkait pula dengan akibat yang akan dialami oleh korban dan timbulnya rasa takut masyarakat secara luas. Akibat dari ini di Indonesia secara normatif tidak mendapatkan perhatian selayaknya, hal ini disebabkan oleh karena hukum pidana (KUHP) masih menempatkan kasus perkosaan ini sama dengan kejahatan konvensional lainnya, yaitu berakhir sampai dengan dihukumnya pelaku. Kondisi ini terjadi oleh karena KUHP masih mewarisi nilai-nilai pembalasan dalam KUHP.
Dari sudut pandang ini maka menghukum pelaku menjadi tujuan utama dalam proses peradilan pidana, oleh karena itu semua komponen dalam proses peradilan pidana mengarahkan perhatian dan segala kemampuannya untuk menghukum si pelaku dengan harapan bahwa dengan dihukumnya pelaku dapat mencegah terulangnya tindak pidana tersebut dan mencegah pelaku lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama ini dan masyarakat merasa tentram karena dilindungi oleh hukum, seperti yang ada dalam KUHP pada pasal 285 yaitu “Barang siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”
Adapun yang dimaksud dengan tindakan perkosaan adalah tindakan yang melanggar hukum. Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa tersebut. Seperti yang sudah ada dalam KUHP Ancaman hukuman dalam pasal 285 ini ialah pria yang memaksa wanita, dimana wanita tersebut bukan istrinya dan pria tersebut telah bersetubuh dengan dia dengan ancaman atau perkosaan.
Seperti yang sudah dijelaskan diatas apa yang dimaksud dengan tindak pidana perkosaan. Maka masyarakat harus bisa berhati-hati dan lebih waspada terhadap tindak pidana perkosaan dan kasus pemerkosaan menjadi masalah yang harus segera dibenahi di Indonesia agar tidak merusak citra dan moral bangsa Indonesia.

1.2     Rumusan Masalah
2        Apa pengertian dari perkosaan ?
3        Apa saja macam-macam perkosaan ?
4        Apa motivasi terjadinya perkosaan ?
5         Siapa saja wanita yang rentan terhadap korban perkosaan ?
6         Bagaimana pencegahan dari perkosaan ?
7         Bagaimana sikap kita terhadap korban perkosaan ?
8         Apa saja dampak kesehatan pada korban pemerkosaan ?
9         Bagaimana cara penanganan terhadap korban perkosaan ?

     1.3     Tujuan Penulisan
1.      Menambah wawasan pengetahuan penulis dan pembaca mengenai dimensi sosial dan permasalahannya mengenai perkosaan.
2.      Memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi pada Program D III Kebidanan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bina Cipta Husada Purwokerto.

 BAB II
PEMBAHASAN

2.1                                  Pengertian Pemerkosaan
            Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997). Pendapat ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women’s Crisis Center, bahwa yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual. Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan.
            Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan (Idrus, 1999). Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa:
1.      barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
2.      Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black’s Law Dictionary(dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:
a.    Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
b.    Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
c.    Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
3.      Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut. Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun anal.

2.2         Macam-macam pemerkosaan 
1.      Pemerkosaan saat berkencan
Pemerkosaan saat berkencan adalah hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar. Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban.
2.      Pemerkosaan dengan obat
Banyak obat-obatan digunakan oleh pemerkosa untuk membuat korbannya tidak sadar atau kehilangan ingatan.
3.      Pemerkosaan wanita
Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6 wanita di Indonesia adalah korban serangan seksual. Banyak wanita yang takut dipermalukan atau disalahkan, sehingga tidak melaporkan pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku tidak bisa menahan hasrat seksualnya melihat tubuh wanita
4.      Pemerkosaan massal
Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu korban. Antara 10% sampai 20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang. Di beberapa negara, pemerkosaan massal diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang.
5.      Pemerkosaan terhadap laki-laki
Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual. Di banyak negara, hal ini tidak diakui sebagai suatu kemungkinan. Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat dituduh memperkosa.
6.      Pemerkosaan anak-anak
Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap hubungan sumbang bila dilakukan oleh kerabat dekat, misalnya orangtua, paman, bibi, kakek, atau nenek. Diperkirakan 40 juta orang dewasa di Indonesia, di antaranya 15 juta laki-laki, adalah korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.
7.      Pemerkosaan dalam perang
Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan musuh dan menurunkan semangat juang mereka. Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil.
8.      Pemerkosaan oleh suami/istri
Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang menikah. Di banyak negara hal ini dianggap tidak mungkin terjadi karena dua orang yang menikah dapat berhubungan seks kapan saja. Dalam kenyataannya banyak suami yang memaksa istrinya untuk berhubungan seks. Dalam hukum islam, seorang istri dilarang menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, karena hal ini telah diterangkan di hadits nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi suami dilarang berhubungan seksual dengan istri lewat dubur dan ketika istri sedang haids.
2.3                                  Motivasi Perkosaan
1.      Pria ingin menunjukkan kekuasaan yang bertujuan untuk menguasai korban dengan  cara mengancam ( dengan senjata secara fisik menyakiti perempuan, verbal dengan menggertak ) dan dengan penetrasi sebagai simbol kemenangan.
2.      Sebagai cara meluapkan rasa marah, pengkhianatan, balas dendam, menghancurkan lawan baik masalah individu maupun masalah kelompok tertentu, sedangkan unsur rasa cinta atau kepuasan seksual tidak penting.
3.      Luapan perilaku sadis, pelaku merasa puas setelah berbuat penderitaan bagi orang lain.
 2.4         Perempuan Yang Rentan Terhadap Korban Perkosaan
1.    Kekurangan fisik dan mental, adanya suatu penyakit atau permasalahan yang berkaitan dengan fisik seperti perempuan duduk diatas kursi roda, bisu, tuli, buta atau keterbelakangan mental. Mereka tidak mampu mengadakan perlawanan.
2.    Pengungsi, imigran, tidak mempunyai rumah, anak jalanan atau gelandangan, didaerah peperangan.
3.    Korban tindak kekerasan suami atau pacar.

2.5         Pencegahan Pemerkosaan
1.    Berpakaian santun, berperilaku, bersolek tidak mengundang perhatian pria.
2.    Melakukan aktivitas bersamaan dalam kelompok dengan banyak teman, tidak berduaan.
3.    Ditempat kedai bersama teman atau kelompok, tidak berduaan dengan sesama pegawai atau atasan.
4.    Tidak menerima tamu laki-laki kerumah, bila dirumah seorang diri.
5.    Berjalan-jalan bersama banyak teman, terlebih diwaktu malam hari.
6.    Berteriak sekencang mungkin bila diserang.
7.    Ketika berpergian, hindari sendirian.
8.    Waspada terhadap berbagai cara pemerkosaan seperti hipnotis, obat-obatan dan minum-minuman terlarang, permen, snack atau hidangan makanan.
9.    Saat ditempat baru jangan terlihat bingung, bertanya pada polisi, hansip atau instansi.
 
2.6         Sikap Terhadap Korban Pemerkosaan
1.    Menumbuhkan kepercayaan diri bahwa hal itu terjadi bukan kesalahannya.
2.    Menumbuhkan gairah hidup.
3.    Menghargai kemauannya untuk menjaga privasi dan keamanannya.
4.    Mendampingi untuk periksa atau lapor pada polisi.

2.7         Dampak Kesehatan Pada Korban Pemerkosaan
1.    Kehamilan, dapat dicegah dengan minum kontrasepsi darurat pada 24 jam pertama.
2.    Terjangkit infeksi menular seksual ( IMS ).
3.    Cedera robek dan sayatan, cekikan, memar bahkan sampai ancaman jiwa.
4.    Hubungan seksual dengan suami yang mengalami gangguan, memerlukan waktu terbebas dari trauma.
5.    Gejala psikologis ringan hingga gangguan psikologis berat. Pada waktu singkat perempuan korban perkosaan menyalahkan diri sendiri, sebab merasa dirinya yang menyebabkan perkosaan terjadi, terlebih pandangan budaya biasanya selalu menyalahkan perempuan. Selain itu juga terjadi insomnia gangguan tidur, inoreksia atau tidak nafsu makan, kecemasan mendalam, perasaan malas untuk bersosialisasi.

2.8         Penanganan Tehadap Korban Perkosaan
1.      Tugas Tenaga Kesehatan dalam kasus tindakan pemerkosaan
a.    Bersikap dengan baik, penuh perhatian dan empati.
b.    Memberikan asuhan untuk menangani gangguan kesehatannya, misalnya mengobati cedera, pemberian kontrasepsi darurat.
c.    Mendokumentasikan hasil pemeriksaan dan apa yang sebenarnya terjadi.
d.   Memberikan asuhan pemenuhan kebutuhan psikologis.
e.    Memberikan konseling dalam membuat keputusan.
f.     Membantu memberitahukan pada keluarga.
2.      Upaya promotif
a.       Meningkatkan keterampilan bagi tenaga kesehatan pada pertolongan tindak perkosaan untuk mengatasi masalah kesehatan dan dalam memberi dukungan bila ingin melapor ke polisi.
b.      Penyelenggaraan pendidikan seksual untuk remaja.
c.       Sosialisasi hukum yang terkait dalam Undang-undang yang berkaitan dengan tindak pemerkosaan.
d.      Melakukan razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas peredaran VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
e.       Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan moral baik bagi pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui mass media.

 BAB III
PENUTUP

3.1         Kesimpulan
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Pemerkosaan terjadi tidak semata-mata karena ada kesempatan, namun pemerkosaan dapat terjadi karena pakaian yang dikenakan korban menimbulkan hasrat pada sipelaku untuk melakukan tindakan pemerkosaan, serta pemerkosaan bisa juga disebabkan karena rendahnya rasa nilai, moral, asusila dan nilai kesadaran beragama yang rendah yang dimiliki pelaku pemerkosaan. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial dan dampak psikologis bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Dampak yang ditimbulkan pada korban perkosaan yaitu pada waktu singkat perempuan korban perkosaan menyalahkan diri sendiri, sebab merasa dirinya yang menyebabkan perkosaan terjadi, terlebih pandangan budaya biasanya selalu menyalahkan perempuan. Selain itu juga terjadi insomnia gangguan tidur, inoreksia atau tidak nafsu makan, kecemasan mendalam, perasaan malas untuk bersosialisasi. Penanganan terhadap korban perkosaan meliputi tugas dari tenaga kesehatan maupun upaya promotifnya.

 DAFTAR PUSTAKA

Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam Wacana Pers National, kerjasama PPK &             Ford Foundation. Yogyakarta.
Cintikays.wordpress.com/permasalahan-dalam-dimensi-sosial-wanita/perkosaan
            diunduh tanggal 14 April 2014 pukul 15.00.

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL SINGLE PARENT



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Problematika kehidupan keluarga kian lama kian kompleks seiring spirit perubahan zaman dan paradigma berpikir individu maupun komunitas tertentu terhadap hakikat atau esensi sebuah perkawinan. Perkawinan adalah kegiatan yang sakral. Konsep itu selalu memandang lembaga sosial tersebut dari sudut pandang filsafat- teologis sehingga tidak jarang melahirkan benturan konsep, antara ruang yang transenden dan interpretasi menurut rasio manusia. Namun, gejolak zaman terus “menggugat” hakikat atau esensi sebuah perkawinan manakala manusia mengalami kegetiran hidup yang menuntut adanya sebuah rumusan baru atau sebuah rekonstruksi pemahaman yang lebih seimbang. Himpitan ekonomi, tranformasi budaya, politik merupakan bentuk-bentuk gugatan terhadap cara pandang di atas.
Simpul-simpul permasalahan sebuah rumah tangga yang tidak dapat diurai secara jelas dapat menyebabkan keretakan sebuah kebersamaan yang serius yaitu ,perceraian. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut single parent. Realitas sosial itu kemudian menjadi sebuah guratan impresi ketika diciptakan kembali oleh pengarang (novelis) dengan bakat kepengarangannya. Karya sastra tersebut selanjutnya dimaknai sebagai lembaga sosial yang tampil sebagai corong perwakilan gagasan bagi sebuah nilai yang belum semuanya memasyarakat.

1.2  Tujuan
1.      Untuk lebih mengetahui lebih jauh lagi apa itu single parent, apa penyebabnya dan bagaImana dampak dan efek yang ditimbulkan dari single parent dalam berbagai hal.
2.      Untuk lebih mengetahui bagaimana cara menanggulangi dari dampak single parent tersebut.
3.      Untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah.

1.3  Manfaat
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih tentang single parent dan dampaknya dalam berbagai hal serta bagaimana kita cara menanggulanginya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Pengertian
Banyak tokoh yang dalam tulisan-tulisannya memberikan deskripsi mengenai pengertian dari
 single parent. Seiring dengan semakinmeluasnya fenomena menjadi orangtua tunggal, maka semakin banyak  pula lah deskripsi definisi dari single parent itu sendiri.
Menurut Gunawan(2006)  single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua(ayah atau ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Sementara menurut Sager (dalam Duval & Miller,1985)orang tua tunggal (single parent) adalah orang tua yang memelihara danmembesarkan anak- anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.

2.2 Penyebab Orang Tua Tunggal.
Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan sempat atau pernah menikah. Mereka menjadi orang tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dan kebanyakan terjadi dikalangan remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas. Penyebab single parent antara lain :
Perceraian
Kematian
Kehamilan diluar nikah
• Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak orang lain (majalah ayah bunda)
Seorang ibu dapat menjadi orang tua tunggal mungkin karena kematian suaminya atau perceraian, dan beberapa ibu tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk mereka yang memilih memlih menjadi ibu tunggal. Saat ini percerraian menjadi cara yang umum untuk menjadi orang tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak mengalami kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu menjelaskan tentang beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mulai terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk pertama kalinya guna memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak. Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan dan emosonalnya kemantan suaminya.
George Levinger mengambil 600 sampel pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian dan mereka paling sedikit mempunyai satu orang anak di bawah usia 14 tahun. Levinger menyusun sejumlah kategori keluhan yang diajukan, yaitu:
(1)      pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;
(2)      Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga);
(3)      Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;
(4)      Pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;
(5)      Tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
sering mabuk dan judi;
(6)      Ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;
(7)      Keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
(8)      Kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
(9)      Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan;
(10)  Tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004; 155)

2.3 Dampak dan Efek yang di timbulkan.
Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi:
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah menikah. Peningkatan jumlah perempuan menghabiskan 20-an mereka membangun diri dalam karir mereka dan tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka mencapai usia 30-an. Pada saat itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu sampai mereka bertemu jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk melahirkan anak. Ide memiliki anak di luar perkawinan juga menjadi lebih luas diterima oleh wanita yang lebih muda.
Beberapa wanita yang memilih untuk ibu tanpa perkawinan memilih untuk menjadi hamil dengan cara inseminasi buatan. Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa dokter tidak mau artifisial membuahi seorang wanita yang belum menikah. Beberapa yang memilih inseminasi buatan benar-benar tidak ingin menjadi emosional terlibat dengan ayah dari anak dan merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia. Lainnya, terutama perempuan lesbian, memilih inseminasi buatan hanya karena tidak memerlukan hubungan pribadi dengan pasangan laki-laki. Yang lain ingin membesarkan anak sendiri dan takut bahwa jika mereka tahu ayah, ia kemudian bisa membuat klaim pada anak.
Beberapa wanita yang menginginkan anak tanpa menikah memilih mitra yang bersedia untuk ayah anak dengan tanpa pamrih. Lain setuju ayah diakui akan terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua tidak akan menikah.
Apapun pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka menuai banyak manfaat orangtua. Di sisi lain, mereka melakukan tanggung jawab yang berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa untuk berbagi baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu tunggal tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar (dan juga di Internet).

Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami – Istri
Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).
Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai. Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157). Sementara, Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).
Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan lagi sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004: 165)
Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian merupakan sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi karena perceraian.
Perceraian antara pasangan suami-istri menghasilkan dampak lain yaitu masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship), (Goode lewat Ihromi, 2005: 156)
Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (lewat Ihroni 2004: 157) dalam tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan yang membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan pandangannya, ia mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin now light that old ties cannot give’”
Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni 2004) mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir.
Masalah orang tua tunggal, Masalah utama bagi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada masalah ekonomi, dan bagi pria mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan menjadi seorang ibu, yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi wanita yang bersatatus ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas ataupun karena korban perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran anaknya, belum siap menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu, cibiran tetangga, dan masalah-masalah yang timbul selanjutnya yang beerhubungan dengan status anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang ingin mengetahui dimana ayah mereka. Hl inilah yang membuat sebagian besar wanita mengalami depresi yang menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula para ibu tunggal yang berfikiran seperti itu, misalnya salah satu selebriti papan atas yang mengaku siap menjadi orang tua tunggal, dan siap menerima segala konsekuensinya sebagai ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu walaupun tanpa adanya sesosok ayah untuk anaknya.

 Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak
a.        Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri
b.      Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu
c.        Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga, sehingga anak kurang dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya keluarga, serta mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam keluarga
d.      Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak kurang sempurna dan tidak optimal
e.        Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak jauh dari nilai agama
f.        Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila dalam jangka waktu lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak

2.3 Upaya Penanggulangan
. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
1.      Keterbukaan
Menyandang status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus ditutup-tutupi. Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangka negatif, sebagian orang justru bisa menunjukan bahwa menjadi single parent justru bukan sesuatu yang buruk.
2.      Mengisi waktu
Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkan rasa kesepian, rasa kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedang dilanda masalah.
3.      Membuka diri untuk masa depan
Berbagi cerita dengan orang-orang yang bernasib sama adalah salah satu terapi yang bisa dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis. Kegiatan ini juga dilakukan oleh mereka yang tidak siap menjalani statusnya sebagai single parent (janda/duda). Melalui komunitas berbagi ini mereka dapat membuka diri untuk pergaulan meski tetap masih memilih-milih teman.
Adapun hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Single Parent Berkaitan Dengan Anaknya, antaralain :
    Selain berharap ayah dan ibunya berumur panjang, anak-anak mengharapkan kedua orang tuanya itu senantiasa hadir ditengah-tengah mereka
    Terjadinya kesepahaman antara suami dan isteri dalam berbagai hal yang berhungan dengan kehidupan pribadi dapat berpengaruh pada diri anak
    Terdapatnya sistem dan aturan yang sama dalam membina rumah tangga dan mendidik anak bukan berarti meniadakan sistem dan aturan yang lain
    Tersedianya berbagai perlengkapan rumah tangga tentunya untuk kehidupan yang wajar dan tidak bermegah-megahan
    Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari keyakinan dan keimanan, inilah yang akan mempersatukan suami dan isteri dengan anggota keluarga yang lain Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat saling memberikan masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk selalu terbuka dengan anaknya dalam berbagai masalah. Dampak bagi mental Anak
    Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.
    Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak kehilangan kepercayaan diri
    Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri.
Melakukan konseling.
Melakukan konseling berfungsi untuk:
• Menyesuaikan diri terhadap lingkungan
• Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga
• Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar
• Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan suami/ayah.

 BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum single parents berdampak pada tidak berjalannya fungsi keluarga, yang antara lain :
• Fungsi seksual dan reproduksi
• Fungsi sosialisasi
• Fungsi ekonomi
• Fungsi budaya
• Fungsi edukasi
• Fungsi agama
• Fungsi perlindungan
Dalam hal kesehatan reproduksi, single parents berdampak pada kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.

3.2 Saran
            Berikanlah perhatian yang lebih pada keluarga, terutama anak-anak, komunikasi yang terbuka, dan demokrsi akan melindungi hal-hal yang tidak diinginkan. Didikan agama yang baik akan membuat anak berpikir sebelum bertindak. Bagi yang bekeja sebaiknya mampu mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga sehingga tercipta keluarga yang baik dan utuh.

DAFTAR PUSTAKA


Glasser, P., & Navarre, E. (1999). Structural Problems of the One-Parent Family .Dalam Gladys K Phelan (ed) Family Relationship. Minesota BurgessPublishing Company.
Gunarsa, S.D. & Gunarsa, Y. (1993). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.