PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL SINGLE PARENT
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Problematika kehidupan keluarga kian
lama kian kompleks seiring spirit perubahan zaman dan paradigma berpikir
individu maupun komunitas tertentu terhadap hakikat atau esensi sebuah
perkawinan. Perkawinan adalah kegiatan yang sakral. Konsep itu selalu memandang
lembaga sosial tersebut dari sudut pandang filsafat- teologis sehingga tidak
jarang melahirkan benturan konsep, antara ruang yang transenden dan
interpretasi menurut rasio manusia. Namun, gejolak zaman terus “menggugat”
hakikat atau esensi sebuah perkawinan manakala manusia mengalami kegetiran
hidup yang menuntut adanya sebuah rumusan baru atau sebuah rekonstruksi
pemahaman yang lebih seimbang. Himpitan ekonomi, tranformasi budaya, politik
merupakan bentuk-bentuk gugatan terhadap cara pandang di atas.
Simpul-simpul permasalahan sebuah rumah tangga yang tidak dapat diurai secara jelas dapat menyebabkan keretakan sebuah kebersamaan yang serius yaitu ,perceraian. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut single parent. Realitas sosial itu kemudian menjadi sebuah guratan impresi ketika diciptakan kembali oleh pengarang (novelis) dengan bakat kepengarangannya. Karya sastra tersebut selanjutnya dimaknai sebagai lembaga sosial yang tampil sebagai corong perwakilan gagasan bagi sebuah nilai yang belum semuanya memasyarakat.
Simpul-simpul permasalahan sebuah rumah tangga yang tidak dapat diurai secara jelas dapat menyebabkan keretakan sebuah kebersamaan yang serius yaitu ,perceraian. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut single parent. Realitas sosial itu kemudian menjadi sebuah guratan impresi ketika diciptakan kembali oleh pengarang (novelis) dengan bakat kepengarangannya. Karya sastra tersebut selanjutnya dimaknai sebagai lembaga sosial yang tampil sebagai corong perwakilan gagasan bagi sebuah nilai yang belum semuanya memasyarakat.
1.2
Tujuan
1. Untuk
lebih mengetahui lebih jauh lagi apa itu single parent, apa penyebabnya dan
bagaImana dampak dan efek yang ditimbulkan dari single parent dalam berbagai
hal.
2. Untuk
lebih mengetahui bagaimana cara menanggulangi dari dampak single parent
tersebut.
3. Untuk
memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah.
1.3
Manfaat
Untuk menambah ilmu
pengetahuan dan wawasan yang lebih tentang single parent dan dampaknya dalam
berbagai hal serta bagaimana kita cara menanggulanginya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Banyak tokoh yang dalam tulisan-tulisannya memberikan
deskripsi mengenai pengertian dari
single
parent. Seiring dengan semakinmeluasnya fenomena menjadi orangtua tunggal, maka
semakin banyak pula lah deskripsi definisi dari single
parent itu sendiri.
Menurut Gunawan(2006) single parent adalah
orang yang melakukan tugas sebagai orang tua(ayah atau ibu) seorang diri,
karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Sementara menurut Sager
(dalam Duval & Miller,1985)orang tua tunggal (single parent) adalah orang
tua yang memelihara danmembesarkan anak- anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.
2.2 Penyebab Orang Tua Tunggal.
Ada dua jenis kategori orang tua tunggal
yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan sempat atau pernah menikah.
Mereka menjadi orang tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih
awal oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga ditinggal
oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dan
kebanyakan terjadi dikalangan remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas.
Penyebab single parent antara lain :
• Perceraian
• Kematian
• Kehamilan diluar nikah
• Bagi seorang wanita atau laki-laki
yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak orang lain (majalah ayah
bunda)
Seorang ibu dapat menjadi orang tua
tunggal mungkin karena kematian suaminya atau perceraian, dan beberapa ibu
tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk mereka yang memilih memlih menjadi
ibu tunggal. Saat ini percerraian menjadi cara yang umum untuk menjadi orang
tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak mengalami kesulitan dalam masalah
kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu menjelaskan tentang beratnya mengemban
tugas tersebut. Para ibu ini mulai terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk
pertama kalinya guna memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji
pertama yang tidak begitu banyak. Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi
menggantungkan kebutuhan keuangan dan emosonalnya kemantan suaminya.
George Levinger mengambil 600 sampel
pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian dan mereka paling sedikit
mempunyai satu orang anak di bawah usia 14 tahun. Levinger menyusun sejumlah
kategori keluhan yang diajukan, yaitu:
(1)
pasangannya sering
mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah,
tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan
emosional dengan anak dan pasangan;
(2) Masalah keuangan (tidak
cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan
rumah tangga);
(3) Adanya penyiksaan fisik
terhadap pasangan;
(4) Pasangannya sering
berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;
(5) Tidak setia, seperti
punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
sering mabuk dan judi;
sering mabuk dan judi;
(6) Ketidakcocokan dalam
melaksanakan hubungan seksual;
(7) Keterlibatan/ campur
tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
(8) Kecurigaan, kecemburuan
serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
(9) Berkurangnya perasaan
cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara
pasangan;
(10) Tuntutan yang dianggap
berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi
dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004; 155)
2.3 Dampak dan Efek yang di timbulkan.
Dampak orang tua tunggal terhadap
kehidupan wanita termasuk reproduksi:
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah
menikah. Peningkatan jumlah perempuan menghabiskan 20-an mereka membangun diri
dalam karir mereka dan tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka mencapai
usia 30-an. Pada saat itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu
sampai mereka bertemu jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk
melahirkan anak. Ide memiliki anak di luar perkawinan juga menjadi lebih luas
diterima oleh wanita yang lebih muda.
Beberapa wanita yang memilih untuk ibu
tanpa perkawinan memilih untuk menjadi hamil dengan cara inseminasi buatan.
Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa dokter tidak mau artifisial membuahi
seorang wanita yang belum menikah. Beberapa yang memilih inseminasi buatan
benar-benar tidak ingin menjadi emosional terlibat dengan ayah dari anak dan
merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia. Lainnya, terutama perempuan lesbian,
memilih inseminasi buatan hanya karena tidak memerlukan hubungan pribadi dengan
pasangan laki-laki. Yang lain ingin membesarkan anak sendiri dan takut bahwa
jika mereka tahu ayah, ia kemudian bisa membuat klaim pada anak.
Beberapa wanita yang menginginkan anak
tanpa menikah memilih mitra yang bersedia untuk ayah anak dengan tanpa pamrih.
Lain setuju ayah diakui akan terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua
tidak akan menikah.
Apapun
pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan anak-anak
mereka sesuai dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka menuai
banyak manfaat orangtua. Di sisi lain, mereka melakukan tanggung jawab yang
berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa untuk berbagi
baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu
tunggal tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar
(dan juga di Internet).
Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami –
Istri
Menurut Karim, konsekuensi utama yang
ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah
penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan
lingkungan sosial (social relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).
Waller menilai pasca perceraian sebagai
masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai.
Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian
sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih
mengenang kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157).
Sementara, Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian
seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan
pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan
ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).
Terdapat dua hal utama yang menjadi
fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang bercerai yaitu
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan
lagi sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan
memperoleh peran baru (2004: 165)
Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004),
seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian merupakan
sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan
apabila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat
memandang perceraian sebagai sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses
penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus
dihadapi karena perceraian.
Perceraian antara pasangan suami-istri
menghasilkan dampak lain yaitu masalah penyesuaian kembali terhadap peranan
masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship),
(Goode lewat Ihromi, 2005: 156)
Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat
sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (lewat Ihroni 2004: 157) dalam
tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang
kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru
guna mengisi kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya.
Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan
yang membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan pandangannya, ia
mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami
perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin
now light that old ties cannot give’”
Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni
2004) mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak
perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu
sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi.
Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya
dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang
pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni
dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya
menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah
berakhir.
Masalah orang tua tunggal, Masalah utama bagi
orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada masalah ekonomi, dan bagi
pria mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan menjadi seorang ibu, yang
tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi wanita yang bersatatus
ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas ataupun karena korban
perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran anaknya, belum siap
menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu, cibiran tetangga,
dan masalah-masalah yang timbul selanjutnya yang beerhubungan dengan status
anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang ingin mengetahui dimana ayah
mereka. Hl inilah yang membuat sebagian besar wanita mengalami depresi yang
menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula para ibu tunggal yang
berfikiran seperti itu, misalnya salah satu selebriti papan atas yang mengaku
siap menjadi orang tua tunggal, dan siap menerima segala konsekuensinya sebagai
ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu walaupun tanpa adanya
sesosok ayah untuk anaknya.
Dampak Single
Parent Bagi Perkembangan Anak
a. Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya
dengan baik sehingga anak kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan, menjadi
minder dan menarik diri
b. Pada
anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang
sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu
c. Single parent kurang dapat menanamkan adat
istiadat dan murung dalam keluarga, sehingga anak kurang dapat bersopan santun
dan tidak meneruskan budaya keluarga, serta mengakibatkan kenakalan karena
adanya ketidakselarasan dalam keluarga
d. Dibidang
pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak
kurang sempurna dan tidak optimal
e. Dasar pendidikan agama pada anak single parent
biasanya kurang sehingga anak jauh dari nilai agama
f. Single parent kurang bisa melindungi anaknya
dari gangguan orang lain, dan bila dalam jangka waktu lama, maka akan
menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang sangat
berpengaruh pada perkembangan anak
2.3 Upaya
Penanggulangan
.
Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
1.
Keterbukaan
Menyandang
status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus
ditutup-tutupi. Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangka negatif,
sebagian orang justru bisa menunjukan bahwa menjadi single parent justru bukan
sesuatu yang buruk.
2.
Mengisi waktu
Sebagai
manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkan rasa kesepian, rasa
kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedang dilanda masalah.
3.
Membuka diri untuk masa depan
Berbagi
cerita dengan orang-orang yang bernasib sama adalah salah satu terapi yang bisa
dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis. Kegiatan ini juga dilakukan oleh
mereka yang tidak siap menjalani statusnya sebagai single parent (janda/duda).
Melalui komunitas berbagi ini mereka dapat membuka diri untuk pergaulan meski
tetap masih memilih-milih teman.
Adapun
hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Single Parent Berkaitan Dengan Anaknya,
antaralain :
• Selain berharap ayah dan ibunya berumur
panjang, anak-anak mengharapkan kedua orang tuanya itu senantiasa hadir
ditengah-tengah mereka
• Terjadinya kesepahaman antara suami dan
isteri dalam berbagai hal yang berhungan dengan kehidupan pribadi dapat
berpengaruh pada diri anak
• Terdapatnya sistem dan aturan yang sama
dalam membina rumah tangga dan mendidik anak bukan berarti meniadakan sistem
dan aturan yang lain
• Tersedianya berbagai perlengkapan rumah
tangga tentunya untuk kehidupan yang wajar dan tidak bermegah-megahan
• Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari
keyakinan dan keimanan, inilah yang akan mempersatukan suami dan isteri dengan
anggota keluarga yang lain
Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial,
komunitas tersebut juga dapat saling memberikan masukan tentang bagaimana
menjadi orang tua tunggal, untuk selalu terbuka dengan anaknya dalam berbagai
masalah. Dampak bagi mental Anak
• Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan
tidak memberi dampak yang besar dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada
anak laki-laki.
• Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata
yang negatif sehingga anak-anak kehilangan kepercayaan diri
• Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang
memiliki anak laki-laki dan izinkan dia untuk mengambil keputusan atas nama dan
untuk dirinya sendiri.
Melakukan konseling.
Melakukan konseling
berfungsi untuk:
• Menyesuaikan diri terhadap lingkungan
• Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga
• Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar
• Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan suami/ayah.
• Menyesuaikan diri terhadap lingkungan
• Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga
• Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar
• Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan suami/ayah.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Secara
umum single parents berdampak pada tidak berjalannya fungsi keluarga, yang
antara lain :
•
Fungsi seksual dan reproduksi
•
Fungsi sosialisasi
•
Fungsi ekonomi
•
Fungsi budaya
•
Fungsi edukasi
•
Fungsi agama
•
Fungsi perlindungan
Dalam
hal kesehatan reproduksi, single parents berdampak pada kebutuhan seksual oarng
tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari
pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian
wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai
sesame jenisnya.
3.2 Saran
Berikanlah perhatian yang lebih pada keluarga, terutama anak-anak,
komunikasi yang terbuka, dan demokrsi akan melindungi hal-hal yang tidak
diinginkan. Didikan agama yang baik akan membuat anak berpikir sebelum
bertindak. Bagi yang bekeja sebaiknya mampu mengatur waktu antara pekerjaan dan
keluarga sehingga tercipta keluarga yang baik dan utuh.
DAFTAR
PUSTAKA
Glasser, P., & Navarre, E. (1999). Structural
Problems of the One-Parent Family .Dalam Gladys K Phelan (ed) Family Relationship. Minesota
BurgessPublishing Company.
Gunarsa,
S.D. & Gunarsa, Y. (1993). Psikologi Praktis:
Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.