Welcome Comments Pictures
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG MUDAH-MUDAHAN BISA BERMANFAAT

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL SINGLE PARENT



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Problematika kehidupan keluarga kian lama kian kompleks seiring spirit perubahan zaman dan paradigma berpikir individu maupun komunitas tertentu terhadap hakikat atau esensi sebuah perkawinan. Perkawinan adalah kegiatan yang sakral. Konsep itu selalu memandang lembaga sosial tersebut dari sudut pandang filsafat- teologis sehingga tidak jarang melahirkan benturan konsep, antara ruang yang transenden dan interpretasi menurut rasio manusia. Namun, gejolak zaman terus “menggugat” hakikat atau esensi sebuah perkawinan manakala manusia mengalami kegetiran hidup yang menuntut adanya sebuah rumusan baru atau sebuah rekonstruksi pemahaman yang lebih seimbang. Himpitan ekonomi, tranformasi budaya, politik merupakan bentuk-bentuk gugatan terhadap cara pandang di atas.
Simpul-simpul permasalahan sebuah rumah tangga yang tidak dapat diurai secara jelas dapat menyebabkan keretakan sebuah kebersamaan yang serius yaitu ,perceraian. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut single parent. Realitas sosial itu kemudian menjadi sebuah guratan impresi ketika diciptakan kembali oleh pengarang (novelis) dengan bakat kepengarangannya. Karya sastra tersebut selanjutnya dimaknai sebagai lembaga sosial yang tampil sebagai corong perwakilan gagasan bagi sebuah nilai yang belum semuanya memasyarakat.

1.2  Tujuan
1.      Untuk lebih mengetahui lebih jauh lagi apa itu single parent, apa penyebabnya dan bagaImana dampak dan efek yang ditimbulkan dari single parent dalam berbagai hal.
2.      Untuk lebih mengetahui bagaimana cara menanggulangi dari dampak single parent tersebut.
3.      Untuk memenuhi salah satu tugas dari Dosen Mata Kuliah.

1.3  Manfaat
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih tentang single parent dan dampaknya dalam berbagai hal serta bagaimana kita cara menanggulanginya.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Pengertian
Banyak tokoh yang dalam tulisan-tulisannya memberikan deskripsi mengenai pengertian dari
 single parent. Seiring dengan semakinmeluasnya fenomena menjadi orangtua tunggal, maka semakin banyak  pula lah deskripsi definisi dari single parent itu sendiri.
Menurut Gunawan(2006)  single parent adalah orang yang melakukan tugas sebagai orang tua(ayah atau ibu) seorang diri, karena kehilangan/ terpisah dengan pasangannya. Sementara menurut Sager (dalam Duval & Miller,1985)orang tua tunggal (single parent) adalah orang tua yang memelihara danmembesarkan anak- anaknya tanpa kehadiran dan dukungan dari pasangannya.

2.2 Penyebab Orang Tua Tunggal.
Ada dua jenis kategori orang tua tunggal yaitu yang sama sekali tidak pernah menikah dan sempat atau pernah menikah. Mereka menjadi orang tua tunggal bisa saja disebabkan, karena ditinggal mati lebih awal oleh pasangan hidupnya, ataupun akibat perceraian atau bisa juga ditinggal oleh sang kekasih yang tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, dan kebanyakan terjadi dikalangan remaja yang terlibat dalam pergaulan bebas. Penyebab single parent antara lain :
Perceraian
Kematian
Kehamilan diluar nikah
• Bagi seorang wanita atau laki-laki yang tidak mau menikah, kemudian mengadopsi anak orang lain (majalah ayah bunda)
Seorang ibu dapat menjadi orang tua tunggal mungkin karena kematian suaminya atau perceraian, dan beberapa ibu tentu tidak pernah menikah lagi, termasuk mereka yang memilih memlih menjadi ibu tunggal. Saat ini percerraian menjadi cara yang umum untuk menjadi orang tua tunggal. Ibu yang bercerai lebih banyak mengalami kesulitan dalam masalah kekuasaan dan kedisiplinan. Beberapa ibu menjelaskan tentang beratnya mengemban tugas tersebut. Para ibu ini mulai terpaksa mulai bekerja diluar rumah untuk pertama kalinya guna memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya dengan gaji pertama yang tidak begitu banyak. Beberapa diantaranya juga tidak dapat lagi menggantungkan kebutuhan keuangan dan emosonalnya kemantan suaminya.
George Levinger mengambil 600 sampel pasangan suami-istri yang mengajukan perceraian dan mereka paling sedikit mempunyai satu orang anak di bawah usia 14 tahun. Levinger menyusun sejumlah kategori keluhan yang diajukan, yaitu:
(1)      pasangannya sering mengabaikan kewajiban rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang ke rumah, tidak ada kepastian waktu berada di rumah, serta tidak adanya kedekatan emosional dengan anak dan pasangan;
(2)      Masalah keuangan (tidak cukupnya penghasilan yang diterima untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan rumah tangga);
(3)      Adanya penyiksaan fisik terhadap pasangan;
(4)      Pasangannya sering berteriak dan mengeluarkan kata-kata kasar serta menyakitkan;
(5)      Tidak setia, seperti punya kekasih lain dan sering berzina dengan orang lain;
sering mabuk dan judi;
(6)      Ketidakcocokan dalam melaksanakan hubungan seksual;
(7)      Keterlibatan/ campur tangan dan tekanan sosial dari pihak kerabat pasangannya;
(8)      Kecurigaan, kecemburuan serta ketidakpercayaan dari pasangannya;
(9)      Berkurangnya perasaan cinta sehingga jarang berkomunikasi, kurangnya perhatian dan kebersamaan di antara pasangan;
(10)  Tuntutan yang dianggap berlebihan sehingga pasangannya sering menjadi tidak sabar, tidak ada toleransi dan dirasakan terlalu “menguasai”; (melalui Ihromi, 2004; 155)

2.3 Dampak dan Efek yang di timbulkan.
Dampak orang tua tunggal terhadap kehidupan wanita termasuk reproduksi:
Ibu yang bercerai ataupun wanita yang memutuskan untuk menjadi ibu tunggal seringkali terlalu dibebani dengan masalah ekonomi, mereka cenderung tidak memliki uang untuk menikmati hidup, dan tak bisa memikirkan dirinya sendiri karena terlalu banyak pikiran yang tercurah untuk anak-anaknya. Adapun dampak terhadap tarhadap reproduksinya yaitu kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.
Banyak ibu tunggal saat ini belum pernah menikah. Peningkatan jumlah perempuan menghabiskan 20-an mereka membangun diri dalam karir mereka dan tidak serius keinginan anak-anak sampai mereka mencapai usia 30-an. Pada saat itu mereka mungkin merasa bahwa jika mereka menunggu sampai mereka bertemu jodoh yang cocok, mungkin terlalu terlambat untuk melahirkan anak. Ide memiliki anak di luar perkawinan juga menjadi lebih luas diterima oleh wanita yang lebih muda.
Beberapa wanita yang memilih untuk ibu tanpa perkawinan memilih untuk menjadi hamil dengan cara inseminasi buatan. Tetapi banyak menemukan bahwa beberapa dokter tidak mau artifisial membuahi seorang wanita yang belum menikah. Beberapa yang memilih inseminasi buatan benar-benar tidak ingin menjadi emosional terlibat dengan ayah dari anak dan merasa ini akan dihindari jika mereka tahu dia. Lainnya, terutama perempuan lesbian, memilih inseminasi buatan hanya karena tidak memerlukan hubungan pribadi dengan pasangan laki-laki. Yang lain ingin membesarkan anak sendiri dan takut bahwa jika mereka tahu ayah, ia kemudian bisa membuat klaim pada anak.
Beberapa wanita yang menginginkan anak tanpa menikah memilih mitra yang bersedia untuk ayah anak dengan tanpa pamrih. Lain setuju ayah diakui akan terlibat dalam kehidupan anak walaupun orang tua tidak akan menikah.
Apapun pilihan mereka, bagaimanapun, ibu-ibu ini bebas untuk membesarkan anak-anak mereka sesuai dengan ide-ide mereka sendiri dan nilai-nilai, dan mereka menuai banyak manfaat orangtua. Di sisi lain, mereka melakukan tanggung jawab yang berat dan risiko kesepian pengasuhan tanpa mitra dengan siapa untuk berbagi baik beban dan waktu yang baik. Untuk alasan ini, dukungan kelompok untuk ibu tunggal tersebut telah mulai musim semi up-setidaknya di beberapa kota besar (dan juga di Internet).

Dampak Perceraian terhadap Mantan Pasangan Suami – Istri
Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship) (melalui Ihromi, 2004:156).
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri (melalui Karim, 2004:156).
Krantzler menyatakan perceraian bagi kebanyakan orang dipandang sebagai masa transisi yang penuh kesedihan, artinya masyarakat atau komunitas sekitar ikut berperan sebagai “wasit atau pengadilan” dalam menilai perceraian itu sebagai sesuatu yang “tidak patut” (melalui Karim, 2004:157).
Waller menilai pasca perceraian sebagai masa yang kurang dan hilang dalam kehidupan pasangan suami-istri yang bercerai. Seseorang pada masa ini dilanda perasaan “ambivalen” antara melihat perceraian sebagai sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan dan munculnya rasa sedih mengenang kebersamaan pada masa-masa indah dulu (melalui Karim, 2004:157). Sementara, Scanzoni dan Scanzoni (lewat Karim) menilai setelah perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu menghampiri kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan rasa benci dan ketidaksenangan hidup bersama lagi (melalui 2004:157).
Terdapat dua hal utama yang menjadi fokus pengamatan Goode terhadap pasangan suami istri yang bercerai yaitu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hubungan sosial di mana mereka bukan lagi sebagai pasangan suami istri serta peran sebagai suami atau istri dan memperoleh peran baru (2004: 165)
Mel Krantzler (lewat Ihromi 2004), seorang konsultan masalah perceraian mengamati bahwa perceraian merupakan sebuah masa transisi yang penuh kesedihan. Masa penuh kesedihan atau kedukaan apabila dikaitkan dengan harapan-harapan masyarakat. Apabila masyarakat memandang perceraian sebagai sesuatu yang “tidak patut”, maka dalam proses penyatuan kembali, seseorang akan merasakan beratnya tantangan yang harus dihadapi karena perceraian.
Perceraian antara pasangan suami-istri menghasilkan dampak lain yaitu masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship), (Goode lewat Ihromi, 2005: 156)
Scanzoni and Scanzoni kemudian membuat sintesa atas konsep-konsep pemikiran Krantzler (lewat Ihroni 2004: 157) dalam tulisan “creative Divorce”. Menurut Kranztler perceraian memberikan peluang kepada seseorang untuk memperoleh pengalaman-pengalaman serta kreativitas baru guna mengisi kehidupan menjadi lebih baik dan menyenangkan dari sebelumnya. Krantzler berpendapat bahwa perceraian tidak harus diartikan sebagai kegagalan yang membawa kesedihan bagi seseorang. Untuk menguatkan pandangannya, ia mengutip tulisan Herman Hesse (penulis puisi dan novel) yang pernah mengalami perceraian sebanyak dua kali yaitu “Be ready bravely and without remorse to fin now light that old ties cannot give’”
Scanzoni and Scanzoni (lewat Ihroni 2004) mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir.
Masalah orang tua tunggal, Masalah utama bagi orang tua tunggal khususnya bagi wanita yaitu pada masalah ekonomi, dan bagi pria mereka lebih cenderuung mengalami kesulitan menjadi seorang ibu, yang tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bagi wanita yang bersatatus ibu tunggal, yang diakibatkan oleh pergaulan bebas ataupun karena korban perkosaan, mereka cenderung sulit menerima kehadiran anaknya, belum siap menerima kenyataan bahwa dirinya kini sudah berstatus ibu, cibiran tetangga, dan masalah-masalah yang timbul selanjutnya yang beerhubungan dengan status anaknya, bahkan mungkin pertanyaan anaknya yang ingin mengetahui dimana ayah mereka. Hl inilah yang membuat sebagian besar wanita mengalami depresi yang menyandang sebagai ibu tunggal. Namun tidak semua pula para ibu tunggal yang berfikiran seperti itu, misalnya salah satu selebriti papan atas yang mengaku siap menjadi orang tua tunggal, dan siap menerima segala konsekuensinya sebagai ibu tunggal dan baginya ia menikmati perannya sebagai ibu walaupun tanpa adanya sesosok ayah untuk anaknya.

 Dampak Single Parent Bagi Perkembangan Anak
a.        Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kurang dapat berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri
b.      Pada anak single parent dengan ekonomi rendah, biasanya nutrisi tidak seimbang sehingga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan terganggu
c.        Single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat dan murung dalam keluarga, sehingga anak kurang dapat bersopan santun dan tidak meneruskan budaya keluarga, serta mengakibatkan kenakalan karena adanya ketidakselarasan dalam keluarga
d.      Dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak kurang sempurna dan tidak optimal
e.        Dasar pendidikan agama pada anak single parent biasanya kurang sehingga anak jauh dari nilai agama
f.        Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, dan bila dalam jangka waktu lama, maka akan menimbulkan kecemasan pada anak atau gangguan psikologis yang sangat berpengaruh pada perkembangan anak

2.3 Upaya Penanggulangan
. Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Oleh Single Parent
1.      Keterbukaan
Menyandang status single parent (janda/duda) sebenarnya bukanlah suatu hal yang harus ditutup-tutupi. Ketika masyarakat menilai status itu dengan prasangka negatif, sebagian orang justru bisa menunjukan bahwa menjadi single parent justru bukan sesuatu yang buruk.
2.      Mengisi waktu
Sebagai manusia biasa, kehilangan pasangan hidup bisa menimbulkan rasa kesepian, rasa kesendirian yang mendalam biasanya muncul ketika dia sedang dilanda masalah.
3.      Membuka diri untuk masa depan
Berbagi cerita dengan orang-orang yang bernasib sama adalah salah satu terapi yang bisa dilakukan untuk mengurangi tekanan psikologis. Kegiatan ini juga dilakukan oleh mereka yang tidak siap menjalani statusnya sebagai single parent (janda/duda). Melalui komunitas berbagi ini mereka dapat membuka diri untuk pergaulan meski tetap masih memilih-milih teman.
Adapun hal-Hal Yang Harus Diperhatikan Oleh Single Parent Berkaitan Dengan Anaknya, antaralain :
    Selain berharap ayah dan ibunya berumur panjang, anak-anak mengharapkan kedua orang tuanya itu senantiasa hadir ditengah-tengah mereka
    Terjadinya kesepahaman antara suami dan isteri dalam berbagai hal yang berhungan dengan kehidupan pribadi dapat berpengaruh pada diri anak
    Terdapatnya sistem dan aturan yang sama dalam membina rumah tangga dan mendidik anak bukan berarti meniadakan sistem dan aturan yang lain
    Tersedianya berbagai perlengkapan rumah tangga tentunya untuk kehidupan yang wajar dan tidak bermegah-megahan
    Adanya rasa kasih sayang yang bersumber dari keyakinan dan keimanan, inilah yang akan mempersatukan suami dan isteri dengan anggota keluarga yang lain Selain berbagi kiat cara menghadapi stigma sosial, komunitas tersebut juga dapat saling memberikan masukan tentang bagaimana menjadi orang tua tunggal, untuk selalu terbuka dengan anaknya dalam berbagai masalah. Dampak bagi mental Anak
    Ketidakhadiran ayah bagi anak perempuan tidak memberi dampak yang besar dibandingkan dengan ketidakhadiran ayah pada anak laki-laki.
    Jangan mengevaluasi anak dengan kata-kata yang negatif sehingga anak-anak kehilangan kepercayaan diri
    Libatkan dia dengan lingkungan keluarga yang memiliki anak laki-laki dan izinkan dia untuk mengambil keputusan atas nama dan untuk dirinya sendiri.
Melakukan konseling.
Melakukan konseling berfungsi untuk:
• Menyesuaikan diri terhadap lingkungan
• Penerimaan ibu dan anak dalam lingkaran keluarga
• Masuk dalam lingkungan keluarga/masyarakat secara wajar
• Upaya menyatukan kembali keluarga, bagi keluarga mereka yang ditelantarkan suami/ayah.

 BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum single parents berdampak pada tidak berjalannya fungsi keluarga, yang antara lain :
• Fungsi seksual dan reproduksi
• Fungsi sosialisasi
• Fungsi ekonomi
• Fungsi budaya
• Fungsi edukasi
• Fungsi agama
• Fungsi perlindungan
Dalam hal kesehatan reproduksi, single parents berdampak pada kebutuhan seksual oarng tua tunggal tidak terpenuhi, sehingga terkadang merka berfikir untuk mencari pendamping hidup ataupun sekedar mmencari pelarian, namun adapula sebgian wanita yang merasa trauma dengan lelaki sehingga mreka lebih cendrung menyukai sesame jenisnya.

3.2 Saran
            Berikanlah perhatian yang lebih pada keluarga, terutama anak-anak, komunikasi yang terbuka, dan demokrsi akan melindungi hal-hal yang tidak diinginkan. Didikan agama yang baik akan membuat anak berpikir sebelum bertindak. Bagi yang bekeja sebaiknya mampu mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga sehingga tercipta keluarga yang baik dan utuh.

DAFTAR PUSTAKA


Glasser, P., & Navarre, E. (1999). Structural Problems of the One-Parent Family .Dalam Gladys K Phelan (ed) Family Relationship. Minesota BurgessPublishing Company.
Gunarsa, S.D. & Gunarsa, Y. (1993). Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.





MAKALAH DDST (Denver Development Screening Test)




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Definisi
DDST   adalah sebuah metode  pengkajian  yang digunakan  secara luas untuk menilai kemajuan perkembangan  usia 0-6 tahun. DDST di gunakan untuk mendetaksi adanya masalah dalam perkembangan anak yang berat dan sebagai metode yang cepat untuk mengidentifikasi anak yang memerlukan evaluasi lebih lanjut.
DDST adalah salah satu metode screening terhadap kelainan perkembangan anak.Tes ini bukanlah tes diagnostik atau tes IQ.(Soetjiningsih, 1998). 
DDST terdiri dari item-item tugas perkembangan yang sesuai dengan usia  anak mulai dari usia 0-6 tahun . item –item tersebut tersusun dalam formulir  khusus yang terbagi dalam 4 sektor yaitu :
1.      Sektor personal sosial adalah penyesuaian diri di masyarakat dan kebutuhan pribadi
2.      Sektor motorik halus yaitu koordinasi tangan kemampuan memainkan dan menggunakan benda-benda kecil serta pemecahan masalah
3.      Sektor bahasa adalah mendengar,mengerti menggunakan bahasa
4.      Sektor motorik kasar adalah duduk,berjalan,dan melakukan gerakan otot besar lainnya.

Berikut ini adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam DDST
*      DDST bukan merupakan test IQ dan bukan alat peramal kemampuan adaptif atau intelektual pada masa yang akan datang
*      DDST  tidak digunakan untuk menetapkan diagnosa , seoerti kesukaran belajar,gangguan bahasa , gangguan emosional dan sebagainya.
*      DDST di arahkan untuk membandingkan kemampuan dengan anak yang lain yang seusia , bukan sebagai pengganti  evaluasi diagnostik dan pemeriksaan fisik

B.     Fungsi  DDST
DDST digunakan untuk menaksir perkembangan personal sosial, motorik halus, bahasa dan motorik kasar pada anak umur 1 bulan sampai 6 tahun.
c.    Aspek-aspek Perkembangan yang Dinilai
Dalam DDST terdapat 125 tugas-tugas perkembangan dimana semua tugas perkembangan itu disusun berdasarkan urutan perkembangan dan diatur dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan, yang meliputi :
                                     I.            Personal Social (Perilaku Sosial)
            Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya, seperti:
1.      Menatap muka
2.      Membalas senyum pemeriksa
3.      Tersenyum spontan
4.      Mengamati tangannya
5.      Berusaha menggapai mainan
6.      Makan sendiri
7.      Tepuk tangan
8.      Menyatakan keinginan
9.      Daag-daag dengan tangan
10. Main bola dengan pemeriksa
11.  Menirukan kegiatan
12.  Minum dengan cangkir
13.  Membantu di rumah
14.  Menggunakan sendok dan garpu
15.  Membuka pakaian
16.  Menyuapi boneka
17.  Memakai baju
18.  Gosok gigi dengan bantuan
19.  Cuci dan mengeringkan tangan
20.  Menyebut nama teman
21.  Memakai T-shirt
22.  Berpakaian tanpa bantuan
23.  Bermain ular tangga / kartu
24.  Gosok gigi tanpa bantuan
25.  Mengambil makan

                                  II.            Fine Motor Adaptive (Gerakan Motorik Halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu dan dilakukan dalam:
1. Mengikuti ke garis tengah
2. Mengikuti lewat garis tengah
3. Memegang icik-icik
4. Mengikuti 1800
5. Mengamati manik-manik
6. Tangan bersentuhan
7. Meraih
8. Mencari benang
9. Menggaruk manik-manik
10. Memindahkan kubus
11. Mengambil dua buah kubus
12. Memegang dengan ibu jari dan jari
13. Membenturkan 2 kubus
14. Menaruh kubus di cangkir
15. Mencoret-coret
16. Ambil manik-manik ditunjukkan
17. Menara dari 2 kubus
18. Menara dari 4 kubus
19. Menara dari 6 kubus
20. Meniru garis vertikal
21. Menara dari kubus
22. Menggoyangkan dari ibu jari
23. Mencontoh O
24. Menggambar dengan 3 bagian
25. Mencontoh (titik)
26. Memilih garis yang lebih panjang
27. Mencontoh ð  yang ditunjukkan
28. Menggambar orang 6 bagian
29. Mencontoh ð 

                               III.            Language (Bahasa)
            Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan yang meliputi :
1. Bereaksi
2. Bersuara
3. Oooo ? Aaaah
4. Tertawa
5. Berteriak
6. Menoleh ke bunyi icik-icik
7. Menoleh ke arah suara
8. Satu silabel
9. Meniru bunyi kata-kata
10. Papa/mama tidak spesifik
11. Kombinasi silabel
12. Mengoceh
13. Papa/mama spesifik
14. 1 kata
15. 2 kata
16. 3 kata
17. 6 kata
18. Menunjuk 2 gambar
19. Kombinasi kata
20.  menyebut 1 gambar
21. Menyebut bagian badan
22. Menunjuk 4 gambar
23. Bicara dengan dimengerti
24. Menyebut 4 gambar
25. Mengetahui 2 kegiatan
26. Mengerti 2 kata sifat
27. Menyebut satu warna
28. Kegunaan 2 benda
29. Mengetahui
30. Bicara semua dimengerti
31. Mengerti 4 kata depan
32. Menyebut 4 warna
33. Mengartikan 6 kata
34. Mengetahui 3 kata sifat
35. Menghitung 6 kubus
36. Berlawanan 2
37. Mengartikan 7 kata

                               IV.            Gross Motor (Gerak Motorik Kasar)
Aspek yang berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh, meliputi kemampuan dalam:
1. Gerakan seimbang
2. Mengangkat kepala
3. Kepala terangkat ke atas
4. Duduk kepala tegak
5. Menumpu badan pada kaki
6. Dada terangkat menumpu satu lengan
7. Membalik
8. Bangkit kepala tegak
9. Duduk tanpa pegangan
10. Berdiri tanpa pegangan
11. Bangkit waktu berdiri
12. Bangkit terus duduk
13. Berdiri 2 detik
14. Berdiri sendiri
15. Membungkuk kemudian berdiri
16. Berjalan dengan baik
17. Berjalan dengan mundur
18. Lari
19. Berjalan naik tangga
20. Menendang bola ke depan
21. Melompat
22. Melempar bola, lengan ke atas
23. Loncat
24. Berdiri satu kaki 1 detik
25. Berdiri satu kaki 2 detik
26. Melompat dengan satu kaki
27. Berdiri satu kaki 3 detik
28. Berdiri satu kaki 4 detik
29. Berjalan tumit ke jari kaki
30. Berdiri satu kaki 6 detik
D. Cara penilaian 
Penilaian apakah lulus (Passed: P), gagal (Fail: F), ataukah anak tidak mendapat kesempatan melakukan tugas (No Opportunity: N.O). Kemudian ditarik garis berdasarkan umur kronologis, yang memotong garis horisontal tugas perkembangan pada formulir DDST. Setelah itu dihitung pada masing-masing sektor, berapa yang P dan berapa yang F, selanjutnya berdasarkan pedoman, hasil tes diklasifikasi dalam normal, abnormal, meragukan (Questionable) dan tidak dapat dites (Untestable). 

a.          Abnormal
*      Bila didapatkan 2 atau lebih keterlambatan, pada 2 sektor atau lebih
*      Bila dalam 1 sektor atau lebih didapatkan 2 atau lebih keterlambatan plus 1 sektor atau lebih dengan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tersebut tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
b.           Meragukan
*      Bila pada 1 sektor didapatkan 2 keterlambatan atau lebih.
*      Bila pada 1 sektor atau lebih didapatkan 1 keterlambatan dan pada sektor yang sama tidak ada yang lulus pada kotak yang berpotongan dengan garis vertikal usia.
c.           Tidak dapat dites
*      Apabila terjadi penolakan yang menyebabkan hasil tes menjadi abnormal atau meragukan.
d.          Normal
*      Semua yang tidak tercantum dalam kriteria tersebut di atas.

E. Interpretasi Hasil
1.      Penilaian per item
ü  Penilaian item lebih (advance). Nilai di berika apabila anak lulus dari item sebelah kanan garis usia
ü  Penilaian Ok atau normal : nilai ini di berikan pada anak dengan kondisi
a.       Anak gagal atau menolak melakukan tugas pada item di sebelah kanan garis usia
b.      Anak lulus,gagal atau menolak melakukan tugas pada item di derah putih kotak ( 25%-75%)
  Penilaian item P “peringatan” (C=caution). Nilai ini diberikan jika anak gagal atau menolak melakukan tugas padaitem yang di lalui garis usia di daerah gelap kotak (75%-90%)
ü  Penilaian item T “ terlambat” ( D= delayed). Nilai ini diberikan jika anak gagal atau meolak melakukan tugas untuk item di sebelah kiri garis usia sebab tugas tersebut di tunjukan untuk anak yang lebih muda
ü  Penilaian item tak “ tak ada kesempatan “ (No Opurtunity). Niali ini di berikan jika anak mendapat skor “ tak” atau tidak ada kesempatan untuk mencoba
F.   Penialaian keseluruhan test
a)      Normal : intepretasi ini di berikan jiak ada skor terlambat dan maksimal satu peringatan. Lakukan uji ulang pada pertemuan berikutnya
b)      Suspek : interpretasi ini di berikan jika ada terdapat satu atau lebih skor “terlambat” dan dua atau lebih “ peringatan”di sebab kan oleh kegagalan bukan penolakan. Lakukan uji ulang 1-2 minggu berikutnya . jika test hasil berulang kali suspek dan tidak dapat di uji , lakukan konsultasi dengan seorang ahli
c)      Tidak dapat di uji : interpretsai ini diberikan jika terdapat satu atau lebih skor “ terlambat” dan dua atau lebih “ peringtan “ di sebabkan oleh penolakan bukan kegagalan. Lakukan uji ulang 1-2 minggu kemudian.
 

A.Definisi KPSP
KPSP adalah kuesioner yang berisi 9-10 pertanyaan tentang kemampuan perkembangan yang telah dicapai anak dengan sasaran anak umur 0-72 bulan (Depkes RI, 2006).
B.TUJUAN KPSP
Adapun tujuan dari KPSP adalah yaitu : Untuk mengetahui ada tidaknya hambatan dalam perkembangan anak.
C.Fungsi KPSP
Untuk mengetahui perkembangan anak.KPSP dapat dipakai untuk mengetahui ada atau tidak adanya hambatan, gangguan atau masalah dalam perkembangan anak.
D.Jadwal skrining
Jadwal skrining atau pemeriksaan KPSP  rutin adalah pada umur 3, 6, 9, 12, 15, 18, 21, 24, 30, 36, 42, 48, 54, 60, 66 dan 72 bulan. Jika anak belum mencapai umur skrining tersebut, minta ibu datang kembali pada umur skrining yang terdekat untuk pemeriksaan rutin. Misalnya bayi umur 7 bulan, diminta kembali untuk skrining KPSP pada umur 9 bulan. Apabila orang tua datang dengan keluhan anaknya mempunyai masalah tumbuh kembang, sedangkan umur anak bukan umur skrining maka pemeriksaaan menggunakan KPSP untuk umur skrining terdekat yang lebih muda (Depkes RI, 2006).
E.Cara menggunakan KPSP
Menurut Depkes RI (2006), Cara menggunakan KPSP adalah
a.       Pada waktu pemeriksaan atau skrining, anak harus dibawa.
b.      Tentukan umur anak dengan menanyakan tanggal, bulan dan tahun anak lahir. Bila umur anak lebih 16 hari dibulatkan menjadi 1 bulan.
c.       Setelah menentukan umur anak, pilih KPSP yang sesuai dengan umur anak
d.      KPSP terdiri atas 2 macam pertanyaan, yaitu pertanyaaan yang dijawab oleh ibu atau pengasuh anak dan perintah kepada ibu atau pengasuh anak atau petugas untuk melaksanakan tugas yang tertulis pada KPSP.
Kuesioner Praskrining untuk Bayi 6 bulan
1.      Pada waktu bayi telentang, apakah ia dapat mengikuti gerakan anda dengan menggerakkan kepala sepenuhnya dari satu sisi ke sisi yang lain?
2.      Dapatkah bayi mempertahankan posisi kepala dalam keadaan tegak dan stabil? Jawab TIDAK bila kepala bayi cenderung jatuh ke kanan/kiri atau ke dadanya
3.      Sentuhkan pensil di punggung tangan atau ujung jari bayi. (jangan meletakkan di atas telapak tangan bayi). Apakah bayi dapat menggenggam pensil itu selama beberapa detik?
4.      Ketika bayi telungkup di alas datar, apakah ia dapat mengangkat dada dengan kedua lengannya sebagai penyangga seperti pada gambar ?
5.      Pernahkah bayi mengeluarkan suara gembira bernada tinggi atau memekik tetapi bukan menangis?
6.      Pernahkah bayi berbalik paling sedikit dua kali, dari telentang ke telungkup atau sebaliknya?
7.      Pernahkah anda melihat bayi tersenyurn ketika melihat mainan yang lucu, gambar atau binatang peliharaan pada saat ia bermain sendiri?
8.      Dapatkah bayi mengarahkan matanya pada benda kecil sebesar kacang, kismis atau uang logam? Jawab TIDAK jika ia tidak dapat mengarahkan matanya.
9.      Dapatkah bayi meraih mainan yang diletakkan agak jauh namun masih berada dalam jangkauan tangannya?
10.  Pada posisi bayi telentang, pegang kedua tangannya lalu tarik perlahan-lahan ke posisi duduk. Dapatkah bayi mempertahankan lehernya secara kaku seperti gambar di sebelah kiri ? Jawab TIDAK bila kepala bayi jatuh kembali seperti gambar sebelah kan
                                          
F. Cara penilaian KPSP
a.       Meneliti kembali apakah semua pertanyaan telah dijawab.
b.      Menghitung jumlah jawaban Ya.
c.       Apabila jumlah jawaban Ya = 9 atau 10 berarti anak yang diperiksa normal (N).
d.      Apabila jumlah Ya = kurang dari 9, maka perlu diteliti kembali mengenai :
ü  cara menghitung usia anak.
ü  cara memilih pertanyaan KPSP, apakah sesuai dengan usia anak.
ü  apakah jawaban orang tua/pengasuh anak sesuai dengan yang dimaksudnya.
ü  Apabila jumlah jawaban Ya = 7 atau 8, tentukan jadwal untuk dilakukan pemeriksaan ulang 1 minggu kemudian (U).

Apabila pada pemeriksaan ulang jumlah jawaban Ya tetap 7 atau 8, maka anak tersebut memerlukan pemeriksaan lebih lanjut/dirujuk (TN).
Catatan : Pertanyaan KPSP yang dipakai pada pemeriksaan ulang disesuaikan dengan usia anak pada tanggal pemeriksaan ulang tersebut. 
e.   Apabila jumlah jawaban Ya = 6 atau kurang, maka anak tersebut memerlukan pemeriksaan lebih lanjut/dirujuk (TN).
G. Interpretasi Hasil KPSP
a.       Hitung jawaban Ya (bila dijawab bisa atau sering atau kadang-kadang)
b.      Hitung jawabab Tidak (bila jawaban belum pernah atau tidak pernah)
c.       Bila jawaban YA = 9-10, perkembangan anak sesuai dengan tahapan perkembangan (S)
d.      Bila jawaban YA = 7 atau 8, perkembangan anak meragukan (M)
e.       Bila jawaban YA = 6 atau kurang, kemungkinan ada penyimpangan (P).
f.       Rincilah jawaban TIDAK pada nomer berapa saja.
.        Intervensi
Menurut Depkes RI (2006), setelah mendapatkan hasil skrining maka intervensi yang bisa diberikan adalah :
a.      Bila perkembangan anak sesuai umur (S), lakukan tindakan berikut :
o   Beri pujian pada ibu karena telah mengasuh anaknya dengan baik.
o   Teruskan pola asuh anak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
o   Beri stimulasi perkembangan anak setiap saat, sesering mungkin, sesuai dengan umur dan kesiapan anak.
o   Ikutkan anak pada kegiatan penimbangan dan pelayanan kesehatan di posyandu secara teratur sebulan sekali.
o   Lakukan pemeriksaan skrining rutin menggunakan KPSP setiap 3 bulan pada anak berumur kurang dari 24 bulan dan setiap 6 bulan pada anak berumur 24 sampai 72 bulan.
b.      Bila perkembangan anak meragukan (M), lakukan tinadakan berikut :
o   Beri petunjuk pada ibu agar melakukan stimulaasi perkembangan pada anak lebih sering lagi.
o   Ajarkan ibu cara melakukan intervensi stimulasi perkembangan anak untuk mengatasi penyimpangan atau mengejar ketertinggalannya.
o   Lakukan pemeriksaan kesehatan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit yang menyebabkan penyimpangan perkembangannya.
o   Lakukan penilaian ulang KPSP 2 minggu kemudian dengan menggunakan daftar KPSP yang sesuai umur anak.
o   Jika hasil KPSP ulang jawaban “Ya” tetap 7 atau 8 maka kemungkinan ada penyimpangan (P).
c.       Bila tahapan perkembangan terjadi penyimpangan (P), lakukan tindakan berikut:
Rujukan ke rumah sakit dengan menuliskan jenis dan jumlah penyimpangan perkembangan  (gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa, sosialisasi dan kemandirian).





DAFTAR PUSTAKA