Welcome Comments Pictures
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG MUDAH-MUDAHAN BISA BERMANFAAT

ASMA




DEFINISI
Adapun  definisi dari beberapa ahli mengenai asma yaitu :
1.      Asma adalah radang kronis pada jalan nafas yang berkaitan dengan obstruksi reversible dari spasme, edema, dan produksi mucus dan respon yang berlebihan terhadap stimuli. (Varney, Helen. 2003)
2.      Asma adalah keadaan klinis yang ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang. (Sylvia Anderson (1995 : 149)
3.      Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sinclair, 1994)
Asma dalam kehamilan adalah gangguan inflamasi kronik jalan nafas terutama sel mast dan eosinofil sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk yang ditemukan pada wanita hamil. Asma mungkin membaik, memburuk atau tetap tidak berubah selama masa kehamilan, tetapi pada kebanyakan wanita gejala-gejalanya cenderung meningkat selama tiga bulan terakhir dari masa kehamilan. Dengan bertumbuhnya bayi dan membesarnya rahim, sebagian wanita mungkin sering mengalami sesak nafas. Tetapi ibu - ibu yang tidak menderita asmapun mengalami hal tersebut karena gerakan diafragma / sekat rongga badan menjadi terbatas.

ETIOLOGI
Sebagian besar penyempitan pada saluran nafas disebabkan oleh semacam  reaksi alergi. Alergi adalah reaksi tubuh normal terhadap alergen, yakni zat-zat yang tidak berbahaya bagi kebanyakan orang yang peka. Alergen menyebabkan alergi pada orang-orang yang peka. Alergen menyebabkan otot saluran nafas menjadi mengkerut dan selaput lendir menjadi menebal. Selain produksi lendir yang meningkat, dinding saluran nafas juga menjadi membengkok. Saluran nafas pun menyempit, sehingga nafas terasa sesak. Alergi yang diderita pada penderita asma biasanya sudah ada sejak kecil. Asma dapat kambuh apabila penderita mengalami stress dan hamil merupakan salah satu stress secara psikis dan fisik, sehingga daya tahan tubuh selama hamil cenderung menurun, daya tahan tubuh yang menurun akan memperbesar kemungkinan tersebar infeksi dan pada keadaan ini asma dapat kambuh. (Ilmu Penyakit Dalam)
Berdasarkan etiologinya, asma dapat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu asma intrinsik dan asma ektrinsik.
a.       Asma ektrinsik (atopi) ditandai dengan reaksi alergik terhadap pencetus-pencetus  spesifik yang dapat diidentifikasi seperti : tepung sari jamur, debu, bulu binatang, susu, telor ikan obat-obatan serta bahan-bahan alergen yang lain.
b.      Asma intrinsik ( non atopi ) ditandai dengan mekanisme non alergik yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik seperti : Udara dingin, zat kimia,yang bersifat sebagai iritan seperti : ozon ,eter, nitrogen, perubahan musim dan cuaca, aktifitas fisik yang berlebih , ketegangan mental serta faktor-faktor intrinsik lain. ( Antoni C, 1997 dan Tjen Daniel, 1991 ).

KLASIFIKASI
Adapun klasifikasi asma berdasarkan etiologi :
1.      Asma Bronkiale Tipe Atopik (Ekstrinsik)
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan alergen. Alergen yang masuk ketubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala. Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen yang masuk ketubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan input Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut (konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi bronkus yang kronik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkus dapat dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik sebagai penyakit bronkospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai suatu peradangan saluran nafas. Bronkus pada pasien asma odema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien asma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama pada cabang-cabang bronkus.
Akibat dari bronkospasme, odema mukosa dan dinding bronkus serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkus dan percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan  asma bronkiale.
     2.      Asma Bronkiale Tipe Non Atopik (Intrinsik)
Asma non alergenik (asma intrinsik) terjadi bukan karena pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi saluran nafas atas, olah raga atau kegiatan jasmani yang berat, serta tekanan jiwa atau stress psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan daripada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa diduga meningkat yang mengakibatkan bronkhokonstriksi sehingga menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga messegner kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut diaktifkan dan akan mengkatalisasi ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyclic AMP. cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkus, menghambat pelepasan mediator dari mastosit / basofil dan menghambat sekresi kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkhus sehingga menimbulkan sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (baratawidjaja, 1990).
3.      Asma Bronkiale Campuran (Mixed)
Pada tipe ini keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik maupun ekstrinsik.

PATOFISIOLOGI
Pada asma akut, obstruksi akut disebabkan oleh kontraksi otot polos bronkus, meningkatnya sekresi lender, dan radang saluran nafas serangan ini dipicu oleh stimulasi yang beragam misalnya infeksi saluran nafas menghirup tepung sari atau bahan kimia, udara dingin atau kelembapan. Penyempitan bronkus terjadi sebagai respon terhadap infeksi yang diperantai saraf vagus atau akibat dari kerja zat-zat yang dilepaskan oleh sel mast terhadap otot polos, atau sebagai akibat kedua dari mekanisme itu penyempitan bronkiolus meningkatkan resistensi saluran nafas, menurunkan kecepatan aliran gas, dan menyebabkan terperangkapnya udara. Ketidaksesuaian ventilasi/perfusi yang diakibatkannya menimbulkan hipoksemia, yang mula-mula merangsang pernafasan, mengakibatkan hiperventilasi yang ditunjukan oleh suatu PaCO2 yang rendah dan alkalosis pernafasan akut.
Suatu serangan asma timbul karena seorang yang atopi terpapar dengan alergen yang ada dalam lingkungan sehari-hari dan membentuk imunoglobulin E ( IgE ). Faktor atopi itu diturunkan. Alergen yang masuk kedalam tubuh melalui saluran nafas, kulit, dan lain-lain akan ditangkap makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cell (APC). Setelah alergen diproses dalan sel APC, alergen tersebut dipresentasikan ke sel Th. Sel Th memberikan signal kepada sel B dengan dilepaskanya interleukin 2 ( IL-2 ) untuk berpoliferasi menjadi sel plasma dan membentuk imunoglobulin E (IgE).
IgE yang terbentuk akan diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalan sirkulasi. Bila proses ini terjadi pada seseorang, maka orang itu sudah disensitisasi atau baru menjadi rentan. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat oleh Ig E yang sudah ada dalam permukaan mastoit dan basofil. Ikatan ini akan menimbulkan input Ca++ kedalam sel dan perubahan didalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Penurunan pada kadar cAMP menimbulkan degranulasi sel. Degranulasi sel ini akan menyebabkan dilepaskanya mediator-mediator kimia yang meliputi : histamin, slow releasing suptance of anaphylaksis ( SRS-A), eosinophilic chomotetik faktor of anaphylacsis (ECF-A) dan lain-lain. Hal ini akan menyebabakan timbulnya tiga reaksi utama yaitu : kontraksi otot-otot polos baik saluran nafas yang besar ataupun yang kecil yang akan menimbulkan bronkospasme, peningkatan permeabilitas kapiler yang berperan dalam terjadinya edema  mukosa yang menambah semakin menyempitnya saluran nafas , peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan peningkatan produksi mukus. Tiga reaksi tersebut menimbulkan gangguan ventilasi, distribusi ventilasi yang tidak merata dengan sirkulasi darah paru dan gangguan difusi gas ditingkat alveoli, akibatnya akan terjadi hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis pada tahap yang sangat lanjut, (Barbara C.L,1996, Karnen B. 1994, William R.S. 1995 )

FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkiale atau sering disebut sebagai faktor pencetus adalah :
a.       Alergen
Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.

b.      Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influenza merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkiale. Diperkirakan dua pertiga penderita asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi saluran nafas (Sundaru, 1991).
c.       Stress
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk merealisis sel radang menjadi menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk inflamasi pada bronkus sehingga menimbulkan  asma bronkiale.
d.      Olah raga / kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronkiale akan mendapatkan serangan asma bila melakukan olah raga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan jasmani (Exercise induced asthma /EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olah raga.
e.       Obat-obatan
Beberapa pasien asma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
f.       Polusi udara
Pasien asma  sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan, asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang tajam.
g.      Lingkungan kerja
Diperkirakan 2 – 15% pasien asma bronkiale pencetusnya adalah lingkunagn kerja (Sundaru, 1991).

 
TANDA DAN GEJALA
Keluhan yang biasanya dirasakan saat terjadi asma, yaitu :
a.       Nafas pendek
b.      Nafas terasa sesak dan yang paling khas pada penderita asma adalah terdengar bunyi 
      wheezing  yang timbul saat menghembuskan nafas.
c.   Kadang-kadang batuk kering menjadi salah  satu  penyebabnya
d.   Pada kehamilan, biasanya serangan asma akan timbul pasa usia kehamilan 24  
      minggu sampai 36 minggu dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi.

PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah.
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal.
Penelitian Shiliang Liu terhadap 2193 wanita dengan asma dibandingkan dengan 8772 wanita yang dipilih secara random sebagai kelompok kontrol di Canada, menemukan bahwa asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar. Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%.
Efek pada ibu :
Komplikasi untuk ibu pada asma yang tidak terkontrol adalah kemungkinan :
1)      Abortus
2)      Perdarahan vagina
3)      Persalinan premature
4)      Solusio plasenta 2,5%
5)      Korioamnionitis 10,4%

Efek pada janin :
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
1)      Menurunnya aliran darah pada uterus
2)      Menurunnya venous return ibu
3)      Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri
Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi :
1)      Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2)      Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3)      Menurunnya cardiac output
Asma yang tidak ditangani dapat menyebabkan BBLR (Berat badan Lahir rendah). Jika ibu sering mengalami serangan asama selama hamil, maka dapat menyebabkan suplai oksigen ke janin yang sangat diperlukan sel darah merah untuk mengangkut nutrisi ke janin menjadi teganggu sehingga janin dapat mengalami hipoksia dan pertumbuhannya menjadi terhambat (IUGR). Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma.
PEMERIKSAAN
a.       Riwayat
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
b. Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara.
Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.
c.   Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru seringkali normal dalam masa remisi. Selama masa serangan akut dan kadang-kadang ketika tidak ada simptom, volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV1) berkurang dan juga kapasitas vital paksa (FVC) mengalami penurunan yang secara proporsional lebih kecil sehingga perbandingan FEV1 terhadap FVC menjadi berkurang (< 0,75). Dapat juga dijumpai hiperinflasi dengan kenaikan volume residual (FRC).
d.   Pemeriksaan-pemeriksaan Laboratorium
1)         Spirometri
Pengukuran yang objektif terhadap aliran udara sangat penting dalam evaluasi dan terapi terhadap serangan. Perawatan di rumah sakit dianjurkan bila FEV1 inisial kurang dari 30% dari harga normal atau tidak meningkat hingga paling sedikit 40% dari harga normal setelah diberikan terapi kuat selama 1 jam.
2)      Gas-gas Darah Arteri (GDA)
Ketimpangan ventilasi dan perfusi (ketimpangan V/Q) akibat obstruksi jalan nafas akan menimbulkan peningkatan selisih tekanan oksigen alveolar-arterial [P(A-a) O2] yang berkorelasi secara kasar dengan keparahan serangan. Tekanan oksigen arterial (Pa O2) kurang dari 60 mmHg bisa merupakan tanda suatu serangan akut atau keadaan yang menyulitkan.
Hampir semua pasien asma yang mengalami serangan ringan hingga sedang-berat akan mengalami hiperventilasi dan mempunyai tekanan CO2 arterial (Pa CO2) kurang dari 35 mmHg. Pada serangan berat atau yang berlangsung lama Pa CO2 bisa meninggi sebagai akibat dari kombinasi obstruksi berat jalan nafas, perbandingan V/Q yang tinggi menyebabkan peningkatan ventilasi, dan kelelahan otot-otot pernafasan. Pa CO2 yang meninggi bisa merupakan tanda bagi kegagalan pernafasan yang sedang mengancam.
Pa CO2 lebih besar dari 40 mmHg yang berkelanjutan dan disertai tanda-tanda lain asma berat, hendaknya dikelola dalam unit perawatan intensif dengan evaluasi yang seksama untuk mengetahui perlu tidaknya diberikan intubasi atau ventilasi mekanik.


3)      Foto Thorax
Foto Thorax perlu dilakukan ringan. Pertimbangkan usia kehamilan

PENATALAKSANAAN
a.       Mencegah timbulnya stres
b.      Mencegah penggunaan obat seperti aspirin  semacamnya yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan
c.       Pada penderita asma ringan dapat digunakan obat local yang berbentuk inhalasi atau peroral seperti isoproterenol
d.      Serangan asma yang ringan diatasi dengan pemberian bronkodilator hirup misalnya isoproterenol yang akan memperlebar penyempitan saluran udara pada paru-paru. Tetapi obat ini tidak boleh terlalu sering digunakan.
e.       Serangan asma yang lebih berat biasanya diatasi dengan infus aminofilin.
     Serangan asma yang sangat berat (status asmatikus) diatasi dengan pemberian infus    kortikosteroid. Jika terdapat infeksi, diberikan antibiotik.
f.       Setelah suatu serangan, bisa diberikan tablet yang mengandung teofilin untuk mencegah serangan lanjutan. Bronkodilator dan kortikosteroid banyak digunakan oleh ibu hamil dan tidak menimbulkan masalah yang berat.

          PENGOBATAN
Obat asma dibedakan menurut fungsinya, yaitu obat untuk melebarkan saluran nafas (bronkodilator) mengurangi bengkak saluran nafas (anti inflamasi), dan untuk memudahkan pengeluaran lender. Selain itu obat dapat diberiakan melalui peroral, inhaler, infuse, suntikan dan melalui rectal. Namun bagi ibu hamil yang paling aman digunakan adalah melalui inhaler (Alupen efeknya paling keras, Ventolin, Bereotech, Inflamide efeknya paling lembut), karena efeknya tidak terlalu berdampak dan langsung focus pada saluran nafas, selain itu dosisnya lebih kecil, sehingga relative tidak akan mempengaruhi janin dalam kandungan.
 
Pengobatan asma secara garis besar dibagi dalam pengobatan non farmakologik dan pengobatan farmakologik
1.      Pengobatan non farmakologik
a.  Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asthma sehinggan klien secara sadar menghindari faktor-faktor pencetus, serta menggunakan obat secara benar dan berkonsoltasi pada tim kesehatan.
b. Menghindari faktor pencetus
Klien perlu dibantu mengidentifikasi pencetus serangan asthma yang ada pada lingkungannya, serta diajarkan cara menghindari dan mengurangi faktor pencetus, termasuk pemasukan cairan yang cukup bagi klien.
c. Fisioterapi
Fisioterpi dapat digunakan untuk mempermudah pengeluaran mukus. Ini dapat dilakukan dengan drainage postural, perkusi dan fibrasi dada.
2.   Pengobatan farmakologik
a. Agonis beta
Bentuk aerosol bekerja sangat cepat diberika 3-4 kali semprot dan jarak antara semprotan pertama dan kedua adalan 10 menit. Yang termasuk obat ini adalah metaproterenol ( Alupent, metrapel ).
b. Metil Xantin
Golongan metil xantin adalan aminophilin dan teopilin, obat ini diberikan bila golongan beta agonis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada orang dewasa diberikan 125-200 mg empatkali sehari.
c. Kortikosteroid
Jika agonis beta dan metil xantin tidak memberikan respon yang baik, harus diberikan kortikosteroid. Steroid dalam bentuk aerosol ( beclometason dipropinate ) dengan disis 800  empat kali semprot tiap hari. Karena pemberian steroid yang lama mempunyai efek samping maka yang mendapat steroid jangka lama harus diawasi dengan ketat.
d. Kromolin
Kromolin merupakan obat pencegah asma, khususnya anak-anak . Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.

 DAFTAR PUSTAKA
( Http : // www. Uptodate / Pregnancy and asthm.com )  diakses tanggal 10 april 2011 pukul  15.45 WIB
( Http://asma-dalam-kehamilan.htm ) diakses tanggal 10 april 2011 pukul 16.10 WIB
Mochtar, Rustam, Prof. Dr. M. Ph,1998. Synopsis Obstetri, Jilid I, Edisi 2, EGC: Jakarta
Price, Sylivia A, dkk. Patofisiologi konsep klinis proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
R. H. H Nelwan. 1995. Ilmu Penyakit dalam jilid 1 edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Varney, Hellen dkk. 2003. Asuhan Kebidanan Volume 1. Jakarta : EGC


Citomegalo Virus atau CMV


Pengertian
Infeksi Virus Sitomegalo (Citomegalo Virus atau CMV) adalah infeksi yang tejadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan. Dari semua herpesvirus yang menyerang manusia, sitomegalovirus (CMV) merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas paling besar dan paling penting. Meskipun infeksi primer dengan penyakit ini umumnya tidak menimbulkan gejala pada orang dewasa sehat, beberapa kelompok berisiko tinggi, termasuk penerima organ transplantasi immunocompromised dan individu terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV) dapat mengancam jiwa. Selain itu, sitomegalovirus telah muncul dalam beberapa tahun terakhir sebagai penyebab paling penting dari infeksi kongenital di negara maju, umumnya menyebabkan keterbelakangan mental dan cacat bawaan.
Pada tahun 1904, Ribbert pertama kali diidentifikasi bukti histopatologi sitomegalovirus, mungkin di jaringan dari bayi yang terinfeksi kongenital. Ribbert keliru menganggap bahwa masuknya sel-bantalan besar ia mengamati pada otopsi berasal dari protozoa (Entamoeba mortinatalium). Pada tahun 1920, Goodpasture benar mendalilkan etiologi virus ini secara inklusi. Goodpasture menggunakan cytomegalia istilah untuk merujuk pada pembengkakkan sel yang terinfeksi. Sitomegalovirus Manusia (HCMV) pertama kali diisolasi pada kultur jaringan pada tahun 1956, dan kecenderungan organisme untuk menginfeksi kelenjar ludah menyebabkan penunjukan awal sebagai virus kelenjar ludah. Pada tahun 1960, Weller meneliti sitomegalovirus virus selama tahun 1970 dan 1980-an, pengetahuan tentang peran sitomegalovirus sebagai patogen penting dengan manifestasi klinis yang beragam meningkat terus. Meskipun kemajuan besar baru-baru ini telah dibuat dalam mendefinisikan dan karakteristik. biologi molekuler, imunologi, dan target terapi antivirus untuk sitomegalovirus, banyak yang masih dalam merancang strategi untuk pencegahan infeksi sitomegalovirus dan dalam memahami peran gen virus spesifik dalam pathogenesis

 Patofisiologi
Sitomegalovirus (CMV) adalah salah satu anggota kelompok virus herpes, yang meliputi virus herpes simpleks tipe 1 dan 2, virus varicella zoster (penyebab cacar air), dan virus Epstein-Barr (penyebab mononucleosis yang menular). kira-kirai 10% dari penderita CPV ini memiliki gejala awal seperti demam, kerusakan pada limpa, danterlihat lelah/malaise.
Seperti halnya keluarga herpes lainnya, virus CMV dapat tinggal secara laten dalam tubuh dan CMV merupakan salah satu penyebab infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi yang berbahaya bagi janin bila infeksi terjadi saat ibu sedang hamil karena virus Cytomegalo dapat melewati plasenta dan merusak hati janin.
Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Cytomegalo biasanya ditemukan pada kelenjar saliva. Pasien dapat mengalami infeksi kapan saja selama kehamilan, Jika selama kehamilan menimbulkan gelala, maka kemungkinN 90 % bayinya akan mengalami komplikasi. Pemeriksaan laboratorium sangat bermanfaat untuk mengetahui infeksi akut atau infeski berulang, dimana infeksi akut mempunyai risiko yang lebih tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi Anti CMV IgG dan IgM, serta Aviditas Anti-CMV IgG.
Transmisi vertikal dari ibu ke bayi melalui transplacental. Infeksi CMV pada ibu hamil bisa secara primer atau rekuren. Infeksi primer pada ibu hamil ditandai dengan terjadinya serokonversi dari IgG antibodi CMV selama kehamilan atau didapatkan IgG dan IgM CMV bersama-sama selama kehamilan. Sedangkan infeksi rekuren ditandai adanya antibodi CMV pada fase sebelum terjadinya pembuahan. Pada infeksi primer, transmisi infeksi ke bayi sebesar 40%. Adanya IgG anti CMV pada ibu hamil tidak memberi perlindungan kepada bayi, sehingga kelainan kongenital mungkin terjadi.
Infeksi sitomegalovirus (CMV) kongenital terjadi sekitar 30.000-40.000 bayi dilahirkan dengan infeksi kongenital sitomegalovirus setiap tahun di Amerika Serikat, membuat sitomegalovirus yang paling umum dan penting dari semua infeksi kongenital. Kemungkinan infeksi kongenital dan luasnya penyakit pada bayi baru lahir tergantung pada status kekebalan ibu. Jika infeksi primer ibu terjadi selama kehamilan, tingkat rata-rata transmisi ke janin adalah 40%, sekitar 65% dari bayi ini memiliki penyakit sitomegalovirus saat lahir. Dengan infeksi ibu berulang yaitu, cytomegalovirus infeksi yang terjadi dalam konteks kekebalan prakonseptual, risiko penularan pada janin lebih rendah, berkisar 0,5-1,5%, sebagian besar bayi tampak normal saat lahir .
Virus menular dari seorang ke orang lain melalui kontak dengan cairan tubuh seperti urine, air ludah, darah dan produk darah, ASI, juga bisa menular melalui hubungan seksual dari semen dan sekresi cairan vagina. Bila seorang dewasa tertular, penderita menderita penyakit mirip mononukleosis. Dengan tanda-tanda sakit menelan, demam, dan sakit seluruh badan. Bisa juga menimbulkan sakit badan serius seperti pneumonia, dan konjunctifitis terutama pada seorang yang menderita infeksi HIV/AIDS. Penularan dapat melalui membrane mukosa, melalui transmisi seksual atau virus ini dapat bersembunyi, dan dapat mengalami reaktivasi.
Dampak Pada Janin
1.       Resiko penularan lebih tinggi, bila ibu tertular virus pada trimester 3 kehamilan. Resiko menjadi 44% bila ibu terinfeksi virus pada trimester kedua dan 36% resiko janin dalam kandungan tertular, bila ibu mendapat infeksi virus pada trimester pertama. Laporan peneliti lain, resiko janin tertular paling tinggi, apabila ibu hamil tertular virus pada umur kehamilan di bawah 20 minggu.
2.       Lebih dari 90% bayi lahir tanpa gejala namun 5-15% akan mengalami kerusakan visual atau auditory, biasanya dalam 2 tahun. Gejalanya meliputi restriksi pertumbuhan intrauterine, hepatitis, dengan atau tanpa ikterus, trombositopenia dan meningoensefalitis. Untuk bayi-bayi ini, kematian karena penyebaran koagulasi intravascular, sepsis atau masalah hati adalah 20-30%. Sebagian besar sisa bayi yang bertahan akan mengalami morbiditas nerologis yang hebat. Bayi-bayi ini masih akan infeksius selama beberapa bulan, mengeluarkan virus melalui urinenya, dan dapat beresiko bagi ibu hamil.
Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Pada Ibu
  1. Keluhan seseorang yang tertular virus sitomegalo, berupa demam yang lama, dan sedikit gangguan pada hati. Secara klinik, infeksi virus sitomegalo tidak merupakan masalah yang menarik perhatian. Anak-anak yang terinfeksi virus sitomegalo dapat menularkan virus kepada anggota keluarga yang lain. Juga sekali tertular virus, selama hidup virus ini tetap hidup di dalam tubuh.
  2. Gejala klinis pada ibu hamil: Pyrexia, malaise, lethargy, seperti gejala influenza, Kerusakan pada limpa, Keabnormalan pada  Limphosit, Anorexia atau sulit makan dan Leucorrhea keputihan seperti susu
Manifestasi Klinis Pada Janin
1.       Cytomegalic inclusion disease (CID) Sekitar 10% bayi dengan infeksi kongenital memiliki bukti klinis penyakit saat lahir. Bentuk yang paling parah dari infeksi CMV kongenital disebut sebagai CID. CID hampir selalu terjadi pada wanita yang memiliki infeksi sitomegalovirus primer selama kehamilan, meskipun kasus yang jarang dijelaskan pada wanita dengan kekebalan yang sudah ada sebelumnya yang mungkin memiliki reaktivasi infeksi selama kehamilan.
2.       CID ditandai dengan retardasi pertumbuhan intrauterin, hepatosplenomegali, abnormalitas hematologi (trombositopenia), dan manifestasi kulit berbagai, termasuk petechiae dan purpura (blueberry muffin bayi). Namun, manifestasi paling signifikan dari CID melibatkan SSP. Mikrosefali, ventrikulomegali, atrofi otak, korioretinitis, dan gangguan pendengaran sensorineural konsekuensi neurologis yang paling umum dari CID.
3.       Kalsifikasi intraserebral biasanya menunjukkan distribusi periventricular dan yang biasa ditemui menggunakan CT scan . Temuan kalsifikasi intrakranial adalah prediksi defisit kognitif dan audiologic di kemudian hari dan memprediksi prognosis perkembangan buruk persarafan.
4.       Jika ibu hamil terinfeksi. maka janin yang dikandung mempunyai risiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran hati, kuning, pekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Bayi akan kehilangan pendengaran (tuli).
5.       Sekitar 20%  dijumpai pada bayi yang terinfeksi virus adalah Limpa atau hati membesar disertai gejala kuning pada kulit atau mata.
6.       90% bayi yang masih bertahan akan mengalami gangguan saraf berat seperti keterlambatan perkembangan mental.
7.       Bila seorang ibu hamil didiagnosa tertular virus sitomegalo, janin dalam kandungan bisa diperiksa dengan melakukan pemeriksaan amniosintesa. Cara pemeriksaan ini hampir 80% dapat mendeteksi bayi apakah juga terinfeksi virus atau tidak. Tetapi tetap belum dapat diketahui apakah bayi menderita penyakit berat atau tidak. Namun demikian, periksaan USG pada janin dalam kandungan, bisa mengetahui kelainan otak dan organ lain.
8.       Pada bayi baru lahir, 10% diantaranya akan menunjukkan gejala klinik berupa: IUGR, Ikterus (kuning), Hepatosplenomegali (pembesaran liver dan limpa), Ptekie sampai purpura (perdarahan bawah kulit), Pneumonia.
9.       Biasanya juga dijumpai kelainan kongenital lain seperti: penyakit jantung bawaan (defek septal), atresia bilier, hernia inguinalis dan abnormalitas muskuloskeletal
10.    Kebanyakan bayi yang bertahan hidup gejala CID memiliki gejala sisa neurologis dan perkembangan saraf jangka panjang yang signifikan .
11.    Memang, telah diperkirakan bahwa sitomegalovirus kongenital mungkin terjadi pada kasus  sindrom Down sebagai diketahui penyebab keterbelakangan mental pada anak.
Sitomegalovirus bawaan Asimtomatik
  1. Kebanyakan bayi dengan infeksi sitomegalovirus kongenital yang lahir dari ibu yang telah ada sebelumnya kekebalan terhadap sitomegalovirus. Bayi-bayi ini muncul secara klinis sehat pada waktu lahir, namun, meskipun bayi dengan infeksi sitomegalovirus kongenital muncul dengan baik, mereka mungkin memiliki gangguan pertumbuhan halus dibandingkan dengan bayi yang tidak terinfeksi. Meskipun tanpa gejala saat lahir, bayi ini, bagaimanapun, beresiko untuk gejala sisa perkembangan saraf.
  2. Konsekuensi utama dari infeksi tanpa gejala sitomegalovirus bawaan adalah gangguan pendengaran sensorineural.
  3. Sekitar 15% dari bayi ini akan memiliki ketulian unilateral atau bilateral. skrining audiologic rutin baru lahir mungkin tidak mendeteksi kasus sitomegalovirus terkait gangguan pendengaran karena defisit ini dapat berkembang berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah kelahiran.
Pemeriksaan dan diagnosis
  1. Anamnesis: Bayi tidak bergerak aktif dan malas minum
  2. Pemeriksaan fisik: Letargi, hiper/hipotoni, mikrosefali, chorioretinitis dan tuli neural sensorik.
 
Pemeriksaan laboratorium: Diagnosis pasti infeksi CMV dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada:
  1. Urine dan saliva pada 3 minggu pertama kelahiran. Pemeriksaan sesegera mungkin harus dilakukan, jika virus didapatkan pada bayi usia >3 minggu, infeksi yang terjadi mungkin didapatkan selama kehamilan (kongenital), perinatal atau postnatal.
  2. Pemeriksaan IgG dan IgM anti CMV. Pemeriksaan serologi ini sering dilakukan untuk menegakkan diagnosis infeksi CMV kongenital tetapi kadang-kadang membingungkan. Dikatakan infeksi CMV kongenital positif jika didapatkan IgM anti CMV (+) pada saat lahir tetapi hasil IgM anti CMV (-) tidak menyingkirkan diagnosis infeksi CMV kongenital. Titer IgG anti CMV penderita yang meningkat signifikan dibandingkan dengan titer ibu menunjukkan kemungkinan bayi tersebut menderita infeksi kongenital aktif, tetapi untuk lebih memastikan lakukan pemeriksaan ulang pada bulan I, III dan VI. Kemungkinan infeksi CMV kongenital bisa disingkirkan jika terdapat penurunan titer IgG anti CMV. Apabila pada pemeriksaan cairan serebrospinal dijumpai DNA CMV maka hal tersebut menunjukkan telah terjadi proses kerusakan di otak.
  3. Antigenemia CMV. Kuantifikasi antigenemia dapat digunakan untuk memprediksikan penyakit CMV, level antigenemia tinggi memberikan nilai prediksi positif yang tinggi penyakit CMV. Level antigenemia akan menurun seiring dengan pengobatan anti virus yang dilakukan, sehingga dapat digunakan untuk memonitor pengobatan.
  4. Pemeriksaan lain meliputi: SGOT meningkat >300 IU, bilirubin direk meningkat >30 mg/dl, trombositopenia minggu pertama berkisar antara 2000-125.000/mm3
Pemeriksaan radiologi:
CT scan kepala: tampak leukomalasia periventrikuler, atrofi kortikal,  pembesaran ventrikel uniteral/bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak. Adanya kalsifikasi intrakranial biasanya disertai gangguan kognisi dan pendengaran.
 
Diagnosis Banding
1.       Infeksi rubela kongenital
2.       Toksoplasmosis kongenital
3.       Enteroviral Infections
4.       Herpes Simplex Virus Infection
5.       Herpesvirus 6 Infection
6.       Lymphocytic Choriomeningitis Virus
Penatalaksanaan
Penanganan Pada bayi
  1. Gancyclovir 6 mg/KgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan setiap 12 jam selama 6 minggu. Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi asimptomatik karena resiko ESO, antara lain supresi sumsum tulang dan atrofi testis
  2. Evaluasi bayi dengan infeksi CMV kongenital meliputi:
    1. Klinis: Tinggi badan, Berat Badan, Lingkar Kepala, Hepar dan lien, Mata
    2. Laboratorium: darah lengkap, hapusan darah tepi, trombosit, SGPT/SGOT, bilirubin direk/indirek, CMV urine dan CSS
    3. Lainnya: CT Scan kepala dan BERA
Penanganan
  1. Perawatan medis  Perawatan medis sitomegalovirus (CMV) terdiri dari dukungan nutrisi yang baik, perawatan dukungan kuat sindromorgan tertentu terutama pneumonia pada pasien immunocompromised, dan terapi antivirus dalam keadaan tertentu.
  2. Perawatan Bedah  Beberapa anak dengan sitomegalovirus kongenital memerlukan intervensi ortopedi (cerebral palsy) dan penempatan gastrostomy untuk nutrisi enteral.
  3. Konsultasi Tergantung pada pasien dan faktor risiko terkait, penyakit sitomegalovirus ditemui oleh dokter kandungan, dokter anak, spesialis penyakit infeksi, onkologi, dokter perawatan kritis, dan penyedia perawatan kesehatan lainnya. Konsultasi yang tepat dengan dokter bedah, spesialis perkembangan, patolog, otolaryngologists, dokter mata, ahli saraf, dan ahli Pencernaan mungkin diperlukan.
 Penanganan Pada Anak
Pengalaman pemberian obat antivirus untuk sitomegalovirus (CMV) profilaksis dan terapi sitomegalovirus dalam anak-anak masih belum banyak dan sangat terbatas. Pemberian terapi anti sitomegalovirus diberikan hanya setelah berkonsultasi dengan seorang ahli yang berpengalaman dengan dosis dan efek samping. Obat antivirus dapat diberikan terapi untuk penyakit sitomegalovirus sevagai  profilaktik (terapi preemptive) ketika risiko pengembangan penyakit sitomegalovirus tinggi misalnya, dalam penerima transplantasi.
Antivirus
1.      Nukleosida adalah agen antivirus hanya benar aktif terhadap cytomegalovirus, meskipun imunoglobulin dapat memberikan beberapa efek antivirus, khususnya dalam kombinasi dengan agen-agen. Agen ini berbagi target molekul umum, yaitu polimerase DNA virus. Biokimiawi, gansiklovir adalah analog nukleosida asiklik sedangkan sidofovir adalah fosfonat nukleosida asiklik. Masing-masing senyawa harus terfosforilasi ke bentuk trifosfat sebelum dapat menghambat polimerase sitomegalovirus. Sebuah produk virus gen, UL97 phosphotransferase, memediasi langkah monophosphorylation untuk gansiklovir. Berbeda dengan 2 agen, foskarnet bukan analog nukleosida benar tetapi juga bisa langsung menghambat polimerase virus.
2.      Gansiklovir umumnya digunakan sebagai terapi pencegahan pada penerima transplantasi pada risiko tinggi penyakit berkembang misalnya, penerima sitomegalovirus-negatif dari transplantasi organ dari donor seropositif virus sitomegalo. Oral dan intravena asiklovir juga telah berhasil digunakan sebagai profilaksis untuk transplantasi organ padat (penerima seronegatif), namun, tidak pernah menggunakan asiklovir untuk terapi sitomegalovirus pada penyakit aktif. Formulasi oral telah disetujui untuk digunakan pada pasien dewasa terinfeksi HIV yang memiliki sitomegalovirus retinitis, namun, bioavailabilitas yang miskin, dan tidak ada dukungan data penggunaan pada anak.
3.      Relatif sedikit informasi mengenai penggunaan gansiklovir dalam pengaturan infeksi sitomegalovirus bawaan. Karena beberapa dari gejala sisa neurologis sitomegalovirus bawaan, gangguan pendengaran sensorineural khususnya, kemajuan postnatal, penyajian hasil dari uji coba dihentikan kolaboratif nasional yang menarik. Gansiklovir suntikan mengakibatkan perbaikan atau stabilisasi pendengaran pada sejumlah besar 6-bulan-tua bayi. Laporan kasus telah menunjukkan kemanjuran gansiklovir untuk neonatus akut yang mengancam jiwa penyakit sitomegalovirus (misalnya pneumonia). Alternatif untuk gansiklovir termasuk trinatrium phosphonoformate (PFA) dan sidofovir. Pengalaman anak dengan agen-agen terbatas. Meskipun berpotensi berguna dalam pengaturan resistensi gansiklovir, toksisitas dari antivirus cukuop bermakna. Penggunaan obat  ini hanya pada pasien anak dalam keadaan luar biasa. Meskipun mereka hanya memiliki tingkat sederhana aktivitas terhadap cytomegalovirus, tinggi dosis oral asiklovir dan valasiklovir telah digunakan untuk profilaksis sitomegalovirus pada individu yang berisiko tinggi tetapi tidak cocok untuk terapi penyakit aktif. Terapi oral dengan valgansiklovir pada anak sudah beberapa kali diungkapkan dalam penelitian.
4.      Gansiklovir (Cytovene) Senyawa pertama lisensi untuk pengobatan infeksi CMV. Sebuah asiklik sintetis nukleotida struktural mirip dengan guanin. Strukturnya mirip dengan asiklovir, seperti asiklovir, memerlukan fosforilasi untuk aktivitas antivirus. Enzim bertanggung jawab untuk fosforilasi adalah produk dari gen UL97 virus, kinase protein. Resistensi dapat terjadi dengan penggunaan jangka panjang, biasanya karena mutasi pada UL97. Dinyatakan pada anak-anak immunocompromised (misalnya, infeksi HIV, posttransplant, negara immunocompromised lainnya) ketika bukti klinis dan virologi yang spesifik organ akhir penyakit (misalnya, pneumonitis, enteritis) hadir. Pada bayi, terapi antivirus dengan gansiklovir mungkin bermanfaat dalam mengurangi prevalensi gejala sisa perkembangan saraf, dalam gangguan pendengaran sensorineural tertentu. Sebuah penelitian yang disponsori oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Infeksi menunjukkan perbaikan pendengaran yang berhubungan dengan hasil pada bayi dengan CMV bawaan gejala diobati dengan gansiklovir (Kimberlin, 2003). Oleh karena itu, terapi pada bayi baru lahir dengan infeksi didokumentasikan harus dipertimbangkan, namun, hubungi ahli.
5.      Sidofovir (Vistide) Nukleotida analog yang selektif menghambat produksi DNA virus di CMV dan herpes virus lainnya.Lihat informasi obat penuhFoskarnet (Foscavir) Organik analog pirofosfat anorganik yang menghambat replikasi virus herpes dikenal, termasuk CMV, HSV-1, dan HSV-2. Menghambat replikasi virus pada situs-pirofosfat mengikat spesifik virus DNA polimerase.
Imunoglobulin Obat ini digunakan sebagai imunisasi pasif untuk pencegahan penyakit sitomegalovirus gejala. Strategi ini telah berguna dalam pengendalian penyakit sitomegalovirus pada pasien immunocompromised di era antivirus prenucleoside. Bukti dalam kehamilan menunjukkan bahwa infus globulin sitomegalovirus kekebalan pada wanita dengan bukti infeksi sitomegalovirus primer dapat mencegah penularan dan memperbaiki hasil pada bayi baru lahir.
Immune globulin intravena (Carimune, Gamimune, Gammagard S / D, Gammar-P, Polygam S / D) Pengamatan secara acak donor IVIG tampaknya sama efektifnya dengan hyperimmunoglobulin CMV menunjukkan bahwa manfaat yang mungkin berasal dari efek imunomodulator tidak terkait dengan netralisasi virus.Lihat informasi obat penuhCMV Ig (CytoGam) Sebuah hyperimmunoglobulin CMV telah terbukti menurunkan prevalensi penyakit CMV bila diberikan posttransplant untuk berisiko tinggi penerima transplantasi bila diberikan sendiri atau dalam kombinasi dengan antivirus nukleosida. Dapat diberikan terapi untuk penyakit CMV dalam kombinasi dengan gansiklovir.
Pencegahan
  1. Ibu atau pengasuh hendaknya memelihara kebersihan perorangan, mencuci tangan yang bersih bila kontak dengan air seni atau air ludah bayi. Tisu pembersih dan pampers hendaknya dibuang. Kebiasaan tidak minum dari gelas bekas orang lain sebaiknya tetap dipelihara.
  2. Laporan dari satu penelitian menyabutkan bahwa 70% bayi yang tertular virus sewaktu di dalam kandungan masih mengeluarkan virus melalui air seni mereka sampai berusia 1-3 tahun.
  3. Demikian juga pada perawat ibu hamil yang mungkin terinfeksi virus tetap memelihara kesehatan perorangan dengan baik.
  4. Pemberian vaksi sitomegalo dapat memberikan perlindungan bagi yang beresiko tertular virus.
  5. Perawat bayi perlu diberi penyuluhan mengenai infeksi virus sitomegalo.
  6. Perawat yang tidak sedang hamil, tidak selalu bisa menularkan virus pada bayi yang diasuhnya.
  7. Selama hamil, cuci tangan yang bersih dengan sabun dan air mengalir setelah melakukan kontak dengan popok dan cairan sekresi mulut.
  8. Ibu hamil yang mencurigakan tertular virus sitomegalo, sebaiknya diperiksa dan perlu perhatian pada bayinya apakah juga sudah tertular virus.
  9. Periksaan dengan tes anti body terhadap virus sitomegalo.
  10. Menemukan virus pada cairan serviks, bukan merupakan indikasi melakukan operasi section caesar.
  11. Menemukan virus pada ASI, juga bukan halangan untuk menyusui bayinya, mengingat keuntungan menyusui, lebih utama dibanding kerugian tertular virus sitomegalo.
  12. Pemeriksaan skrening virus sitomegalo, juga tidak perlu dilakukan pada anak-anak sekolah.
 
DAFTAR PUSTAKA
  1. Bale JF, ed. Congenital infections of the central nervous system. Semin pediatr neurol, September, 1994 ; 1.
  2. Boppana SB, Fowler KB, vaid Y, et al. Neuroradiographic finding in the newborn period and longterm outcome in children with symptomatic cytomegalovirus infection. Pediatr 1997 ; 99 : 409.
  3. Weller TH. The cytomegaloviruses: ubiquitous agents with protean clinical manifestations. I. N Engl J Med. Jul 22 1971;285(4):203-14.
  4. Schleiss MR, McVoy MA. Overview of congenitally and perinatally acquired cytomegalovirus infections: recent advances in antiviral therapy. Expert Rev Anti Infect Ther. 2004;2 (3):389-403.
  5. Kimberlin DW, Lin CY, Sanchez PJ. Effect of ganciclovir therapy on hearing in symptomatic congenital cytomegalovirus disease involving the central nervous system: a randomized, controlled trial. J Pediatr. 2003;143(1):16-25.
  6. Hamele M, Flanagan R, Loomis CA, Stevens T, Fairchok MP. Severe morbidity and mortality with breast milk associated cytomegalovirus infection. Pediatr Infect Dis J. Oct 30 2009;
  7. Fowler KB, Pass RF. Risk factors for congenital cytomegalovirus infection in the offspring of young women: exposure to young children and recent onset of sexual activity. Pediatrics. 2006;118:e286-92.
  8. Kaplan JE, Masur H, Holmes KK. Guidelines for preventing opportunistic infections among HIV-infected persons–2002. Recommendations of the U.S. Public Health Service and the Infectious Diseases Society of America. MMWR Recomm Rep. Jun 14