ARSWENDO
ATMOWILOTO lahir di Surakarta, 26 November 1948. Ia mulai menulis dalam bahasa
Jawa. Mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo
karena dianggapnya kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya
itu ditambahkannyalah nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa
yang dikenal luas sekarang. Sampai kini karyanya yang telah diterbitkan sudah
puluhan judul. Ia sudah belasan kali pula memenangi sayembara penulisan, memenangkan
sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional, dan mendapatkan beberapa penghargaan
baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN. Tahun 1979 ia mengikuti program
penulisan kreatif di University of Iowa, Iowa City, USA. Dalam karier
jurnalistik, ia sempat memimpin tabloid Monitor, sebelum terpaksa menghuni
penjara (1990) selama lima tahun karena tulisannya dianggap subversi dan
melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP.
Pengalamannya
dalam penjara telah melahirkan sejumlah novel—termasuk Projo dan Brojo ini,
buku-buku rohani, puluhan artikel, dan catatan lucu-haru, Menghitung Hari.
Judul tersebut telah disinetronkan dan memperoleh penghargaan utama dalam
Festival Sinetron Indonesia, 1995. Tahun berikutnya, sinetron lain yang
ditulisnya, Vonis Kepagian, juga memperoleh penghargaan serupa. Dunia
pertelevisian memang sudah menarik perhatiannya sejak ia memimpin tabloid
Monitor. Karya-karyanya yang pernah terkenal seperti Kiki, Imung, Keluarga
Cemara, Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku, dan Canting diangkat sebagai drama
serial di televisi. Ia juga menulis buku Telaah tentang Televisi serta
Mengarang Itu Gampang dan Mengarang Novel Itu Gampang yang belasan kali cetak
ulang. Ia kini masih tetap menulis skenario dan novel, sering tampil dalam
seminar dan diundang ceramah, serta memproduksi sinetron dan film, termasuk
film Anak-Anak Borobudur (2007). Selain buku, televisi, dan film, ia mengaku
menyukai komik dan humor, dan sangat tertarik untuk terlibat dalam dunia
anak-anak.
Arswendo
Atmowiloto menganut agama Kristen dan menikah dengan wanita yang seiman
dengannya Agnes Sri Hartini pada tahun 1971.
Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh tiga orang putra, yaitu Albertus
Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara.
Ia tinggal di Jakarta dengan istri yang itu-itu juga, tiga anak yang
sudah dewasa dan berkeluarga, lima cucu, ratusan lukisan “kapas berwarna” yang
dibuatnya waktu di penjara, seperti juga sandal tato.
“Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini mendekati benar, karena
kalau tidak menulis saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya
menulis.” Wendo, yang pernah mengikuti program penulisan kreatif di Iowa, AS,
1979, dikenal juga sebagai pengamat televisi. Dipedulikan atau tidak, kritik
dan komentarnya tentang pertelevisian terus mengalir. Akhirnya, Dewan Kesenian
Jakarta mengundangnya untuk menjadi pembicara dalam diskusi tentang televisi.
Pemilik rumah produksi PT Atmochademas Persada ini telah membuat sejumlah
sinetron. Sinetronnya Keluarga Cemara memperoleh Panasonic Award 2000 sebagai
acara anak-anak favorit. Tiga kali ia menerima Piala Vidya untuk Pemahat
Borobudur, Menghitung Hari, dan Vonis Kepagian.Kalau sekarang ia juga merangkap
menjadi sutradara sinetron, “Karena iseng saja. Sutradara honornya juga bagus,
ya sudah,” ujar Wendo.
MASA MUDA
Ayahnya,
pegawai balai kota Surakarta, sudah meninggal ketika Arswendo duduk di bangku
sekolah dasar. Ibunya, meninggal pada 1965. Arswendo pun yatim piatu di usia 17
tahun, ketika masih duduk di bangku SMA. Bahkan ketika ia diterima di Akademi
Postel Bandung yang berikatan dinas, setelah lulus SMA, anak ketiga dari enam
bersaudara ini tak bisa berangkat ke Bandung karena tak punya ongkos. Kalaupun
ia sempat kuliah di IKIP Negeri Solo (sekarang Universitas Negeri Sebelas
Maret), itu karena: “Saya cuma ingin menyandang jaket perguruan tinggi.”
Setelah tiga bulan kuliah, ia mangkir untuk seterusnya. Ndo, panggilannya, dari
kecil senang mendalang. ”Dari situ saya berkenalan dengan seni,” katanya.
Tetapi, cita-cita semula jadi dokter, ”gagal karena masalah ekonomi”. Lalu,
lulus tes Akademi Postel di Bandung, tetapi urung berangkat, ”karena tidak ada
ongkos”. Toh, keinginannya jadi mahasiswa terpenuhi di IKIP Surakarta (sekarang
Universitas Negeri Sebelas Maret), walau cuma tiga bulan. ”Saya ingin memiliki
jaket universitas,” alasannya masuk perguruan tinggi.
Wendo,
pernah kerja macam-macam; di pabrik bihun, jaga sepeda di apotek, tukang pungut
bola di lapangan tenis. Cikal bakal jadi sastrawan dengan menulis di majalah
berbahasa Jawa, Dharma Kanda, 1969. Sebetulnya nama aslinya bukan Arswendo,
tetapi Sarwendo. Anehnya, kalau ia menuliskan nama aslinya, ”tulisan saya malah
tidak dimuat,” katanya. Itu dahulu. Sekarang toh ia keasyikan dengan nama tidak
asli itu setelah ”sukses” di Jakarta. Selain sastrawan dan wartawan ia pemimpin
redaksi Hai dan merangkap wartawan Kompas. Arswendo sangat meminati masalah
televisi. Ia tidak pernah bosan melempar saran dan kritik kepada TVRI, tidak
peduli ditanggapi atau tidak. Bahkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1982, ia
menelanjangi media pemerintah itu lewat ceramahnya, Menjadi Penonton Televisi
yang Baik. Ia tahu betul liku-liku pertelevisian. Bukan cuma televisi, Ndo juga
pengamat komik yang baik. Koleksi komiknya cukup lengkap, terutama yang pernah
terbit di Indonesia. Ia kesal sekali, ketika di suatu zaman, komik dianggap
merusak. ”Tahun 1955, komik dibakar, tahun 1977 komik dirazia bersama razia
rambut gondrong,” tuturnya. Ndo penasaran dan ia meneliti komik, 1977.
Ternyata, komik tidak seburuk yang disangka. Bahkan PT Pustaka Jaya, penerbit
yang pernah menyatakan tidak menerbitkan komik, 1972 pada tahun 1977 mulai
menerbitkan komik.
Arswendo
(nama yang semula diciptakannya untuk tulisan-tulisannya tapi akhirnya menjadi
nama resminya) memang suka berkelakar. Terkesan seenaknya hampir dalam segala
hal, kadang ia pun mengikuti arus. Misalnya, rambutnya dipanjangkan dan diikat
ke belakang bergaya ekor kuda, ini pun cuma ikut-kutan dengan arus, katanya. Ia
pun mengaku hidupnya santai, tak pernah basa-basi, dan juga tak pernah memikirkan
hari esok. Untuk soal terakhir itu, inilah contohnya. Suatu hari, di awal tahun
70-an, ia menerima honorarium dari Dharma Kandha sebanyak Rp 1.500. Di dekat
kantor tampak sejumlah orang, antara lain sopir becak, berjudi. Ia bergabung,
dan kontan uang itu ludes.
Ia
menjadi wartawan ketika di Solo muncul harian berbahasa Jawa Dharma Kandha dan
Dharma Nyata. Sambil bekerja di media tersebut, ia pun menjadi koresponden
lepas majalah TEMPO. Tahun 1972 Arswendo pindah ke Jakarta, bekerja sebagai
redaktur pelaksana di majalah humor Astaga. Majalah ini tak hidup lama, dan ia
pun masuk menjadi wartawan di kelompok Kompas-Gramedia.
DIPENJARA
Di
tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia
ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor
memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo
terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW (Nabi
umat Muslim) yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim
marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses
secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara. Selama dalam tahanan,
Arswendo menghasilkan tujuh buah novel, puluhan artikel, tiga naskah skenario
dan sejumlah cerita bersambung. Sebagian dikirimkannya ke berbagai surat kabar,
seperti KOMPAS, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Semuanya dengan
menggunakan alamat dan identitas palsu.
Untuk
cerita bersambungnya, “Sudesi” (Sukses dengan Satu Istri), di harian “Kompas”,
ia menggunakan nama “Sukmo Sasmito”. Untuk “Auk” yang dimuat di “Suara
Pembaruan” ia memakai nama “Lani Biki”, kependekan dari Laki Bini Bini Laki,
nama iseng ia pungut sekenanya. Nama-nama lain pernah dipakainya adalah “Said
Saat” dan “B.M.D Harahap”. Pribadinya yang santai dan senang humor, membantu
Arswendo menjalani hidup di penjara. Ia misalnya, menghabiskan waktu di penjara
dengan memanfaatkan keterampilannya membuat tato–yang ditato adalah sandal.
Sandal yang semula seharga Rp 500, setelah ditato bisa ia lego seharga Rp
2.000. Lewat usaha itu, ia punya 700 anak buah. Tentu, ia tetap menulis. Tujuh
novel lahir di LP Cipinang, antara lain: Kisah Para Ratib, Abal-Abal,
Menghitung Hari (sekeluar dari penjara Menghitung Hari dibuat sinetron dan memenangi
Piala Vidya). Lalu puluhan artikel, tiga naskah skenario, beberapa cerita
bersambung. Sebagian di antaranya ia kirimkan ke Kompas dan Suara Pembaruan
dengan menggunakan nama samaran.
Setelah
menjalani hukuman 5 tahun ia dibebaskan dan kemudian kembali ke profesi
lamanya. Ia menemui Sudwikatmono yang menerbitkan tabloid Bintang Indonesia
yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil menghidupkan
tabloid itu. Namun Arswendo hanya bertahan tiga tahun di situ, karena ia
kemudian mendirikan perusahaannya sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah, yang
memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina (kemudian
jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Saat ini selain masih aktif menulis ia juga
memiliki sebuah rumah produksi sinetron. Kakaknya, Satmowi Atmowiloto, adalah
seorang kartunis.
Arswendo
Atmowiloto mengaku menyesal melakukan perbuatan yang dinilai melukai umat Islam
dengan membuat sebuah “pooling” atau survey kontroversial di tabloid Monitor
yang pernah dipimpinnya waktu itu. “Saya menyesal karena saat itu membuat umat
Islam terluka,” kata Arswendo. Arswendo mengemukakan hal itu ketika ditanya
apakah terdapat rasa penyesalan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Amidhan yang hadir dalam persidangan tersebut sebagai pihak terkait. Sedangkan
Arswendo dihadirkan oleh pihak pemohon uji materi sebagai salah seorang korban
yang pernah dijerat hukum karena terkait dengan pasal-pasal tentang penodaan
agama. Ia menegaskan, sama sekali tidak ada niat untuk menodai atau menistakan
agama tertentu terkait dengan survey tersebut. Arswendo pada saat itu bahkan
telah meminta maaf baik melalui media cetak dan media elektronik dan Monitor
juga telah menuliskan permintaan maaf yang memenuhi halaman pertama dari
tabloid tersebut. Untuk saat ini, ia hanya ingin agar setidaknya terdapat
penjelasan tentang perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penodaan
agama agar hal yang menimpanya tak terulang di masa mendatang.
KARYA-KARYA ARSWENDO
1.
Sleko (1971)
2. Ito (1973)
3. Lawan Jadi Kawan (1973)
4. Bayiku yang Pertama: Sandiwara Komedi dalam 3 Babak (1974)
5. Sang Pangeran (1975)
6. Sang Pemahat (1976)
7. Bayang-Bayang Baur (1976)
8. 2 x Cinta (1976)
9. The Circus (1977)
10. Semesta Merapi Merbabu (1977)
11. Surat dengan Sampul Putih (1979)
12. Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980)
13. Dua Ibu (1981)
14. Saat-Saat (1981)
15. Pelajaran Pertama Calon Ayah (1981)
16. Serangan Fajar: diangkat dari film yang memenangkan 6 piala Citra pada
Festival Film Indonesia (1982)
17. Airlangga (1985)
18. Anak Ratapan Insan (1985)
19. Pacar Ketinggalan Kereta (skenario dari novel "Kawinnya
Juminten" (1985)
20. Pengkhianatan G30S/PKI (1986)
21. Dukun Tanpa Kemenyan (1986)
22. Akar Asap Neraka (1986)
23. Garem Koki (1986)
24. Canting: sebuah roman keluarga (1986)
25. Indonesia from the Air (1986)
26. Telaah tentang Televisi (1986)
27. Lukisan Setangkai Mawar: 17 cerita pendek pengarang Aksara (1986)
28. Tembang Tanah Air (1989)
29. Menghitung Hari (1993)
30. Oskep (1994)
31. Abal-abal (1994)
32. Berserah itu Indah: kesaksian pribadi (1994)
33. Auk (1994)
34. Projo & Brojo (1994)
35. Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi (1994)
36. Khotbah di Penjara (1994)
37. Sudesi: Sukses dengan Satu Istri (1994)
38. Suksma Sejati (1994)
39. Surkumur, Mudukur dan Plekenyun (1995)
40. Kisah Para Ratib (1996)
41. Darah Nelayan (2001)
42. Dewa Mabuk (2001)
43. Kadir (2001)
44. Keluarga Bahagia (2001)
45. Keluarga Cemara 1
46. Keluarga Cemara 2 (2001)
47. Keluarga Cemara 3 (2001)
48. Pesta Jangkrik (2001)
49. Senja yang Paling Tidak Menarik (2001)
50. Dusun Tantangan (2002)
51. Mencari Ayah Ibu (2002)
52. Mengapa Bibi Tak ke Dokter? (2002)
53. Senopati Pamungkas (1986/2003)
54. Fotobiografi Djoenaedi Joesoef: Senyum, Sederhana, Sukses (2005)
|
|
Dari semua karyanya, Arswendo banyak
mendapatkan penghargaan, diantaranya yaitu:
Penghargaan :
·
Hadiah Zakse untuk
esainya Buyung-Hok dalam Kreativitas Kompromi”(1972),
·
Hadiah Harapan dan
Hadiah Perangsang dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk drama
Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama memperoleh (1972 dan 1973),
·
Hadiah Harapan dalam
Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk drama Sang Pangeran (1975),
·
Hadiah Harapan 1
Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Anak-anak DKJ untuk drama Sang Pemahat”
memperoleh (1976),
·
” Hadiah Yayasan
Buku Utama Departemen P&K“untuk karya Dua Ibu (1981),
·
“Hadiah Yayasan Buku
Utama Departemen P&K untuk karya Keluarga Bahagia (1985),
·
“Hadiah Yayasan Buku”
·
Utama Departemen P&K
Mendoblang (1987),
·
Hadiah Sastra ASEAN
(1987)
Salah satu puisi karya arswendo
atmowiloto :
Damba Domba
Aku Mendamba Romo Yang.....
aku mendamba Romo yang penuh kasih- bukan yang pilih kasih
aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean itu berarti
pemberian umat sebagai tanda cinta, tanda hormat
aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak
kaku pada dogma, tapi lucu kala canda yang lebih sering memegang rosario
dibandingkan bb warna hijau
aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar dibandingkan berujar
aku mendamba Romo yang menampung air mataku- tanpa ikut menangisi
yang mengubah putus asa menjadi harapan
yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual
duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekalitapi aku percaya tetap terpenuhi
karena Romoku mau dan mampu selalu memberi- inilah damba dan doaku, Romokueee,
masih ada satu lagi
sekali mengenakan jubah, jangan berubah-jangan pernah mengubah, walau godaan
mewabah bahkan sampai ada laut terbelah kenakan terus jubahmu
itulah khotbah yang hidup
agar aku bisa menjamah
seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku aku mendamba Romo yang
menatapku kalem bersuara adem"Berkah Dalem