RESENSI CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO
RESENSI
Oleh: Sri Nurjanik
CANTING KARYA ARSWENDO
ATMOWILOTO
Judul novel : Canting
Pengarang :
Arswendo Atmowiloto
Jumlah halaman : 408 Halaman
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit :
Jakarta
Tahun terbit : 1986
Uraian
Sinopsis
Keputusan yang sangat mengejutkan
dibuat oleh Raden Ngabehi Satrokusumo untuk keluarganya. Raden Ngabehi Satrokusumo
mencintai seorang gadis yang bernama Tuginem yang tak lain adalah seorang buruh
batik di tempat kerjanya. Pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo
tersebut ingin menikah dengan Tuginem yang bukan berasal dari kalangan keraton.
Pernikahannya mendapat tentangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Satrokusumo.
Namun pernikahan itu tetap berlangsung dan walaupun tanapa persetujuan dari
keluarga besarnya.
Pernikahan tersebut mendapat banyak
tentangan dari keluarga besar Ngabei tetapi pernikahan tetap bahagia dan
harmonis. Setelah menikah dengan Ngabehi gadis yang menjadi buruh batik itu
dipanggil Bu Bei. Kemudian Bu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh
suaminya. Selama menjadi istri Ngabehi, Bu Bei menjadi istri yang berbakti
lahir dan batin.
Ketika Bu Bei sudah menjadi seorang
wanita karir yang sukses, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu
rumah tangga yang baik bagi keluarga. Dari pernikahan tersebut mereka
dikaruniai enam orang anak. Mereka bernama Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti,
Bayu Dewsunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewa murti, dan si bungsu Subandini
Dewa Putri. Tugas Bu Bei sebagai seorang istri priyayi menjadi semakin berat
karena beliau harus mengurusi keenam anak.
Bu bei mulai belajar menjadi wanita
karier yang memiliki keberaniaan memutuskan masalah-masalah yang sulit dan
menagambil keputusan yang penting. Ia membesarkan anaknya hingga mereka menikah
dan mempunyai anak. Anaknya bernama Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang
Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya
Dewakusuma manjadi insinyur, Wening Dewamurti menjadi menjadi dokter yang
kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu Subandini Dewaputri
menjadi sarjana farmasi. Karena faktor usia yang sudah semakin tua, kekuatan Bu
Bei dalam menangani usaha batiknya serta dalam mengurus rumah tangganya semakin
berkurang. Kekuatannya dalam menangani para pedagang di pasar Klewer Solo,
tempat usaha menjajakan batik Canting produk buatannya mulai menurun.
Ni dicurigai sebagai anak hubungan
gelap. Sebagai bapak yang bijaksana Pak Bei tampil meyakinkan, untuk
menyelesaikan masalah. Namun diantara anak-anaknya yang lain mulai timbul persaingan
yang tidak sehat, antara keluarga itu terjadi pertikaian yang terselubung.
Mereka tidak setuju jika Ni melanjutkan usaha batik ibunya. Akan tetapi Ni
tetap bersikukuh ingin melanjutkan batik milik ibunya. Meskipun sudah diganti
merk tetap saja batik Canting itu tetap tenggelam, karena bersaing dengan
perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Sampai pada akhirnya Ni jatuh sakit dan
hampir saja meninggal.
Akhirnya Ni melahirkan pemikiran dan
sikap baru bahwa canting tidak perlu diangkat tinggi-tinggi. Canting sekarang
bukanlah Canting yang dianggap adi luhung oleh sebagaian besar pemakainya.
Dengan bantuan keluarga dan buruh pabriknya usaha batiknya berangsur-angsur
pulih. Salah satu penyebab kemunduran usaha batiknya adalah mesalah merk,
kemudian ia mengganti nama Canting dengan Canting Daryono.
Batik yang dijalankan Ni
perlahan-lahan mulai pulih, keputusan mengganti merk Canting menjadi Canting
Daryono merupakan keputusan yang sangat tepat. Kemudian Subandini menikah
dengan Hermawan, tepat pada hari selamatan setahun sepeninggal ibunya. Sampai
akhirnya dia melahirkan anak pertamanya yang diberi nama sama dengan merk
batiknya yaitu Canting Daryono. Hermawan pria yang setia, dia rela menunggu Ni
selama menangani usaha keluarganya.
Usaha batik yang
dirintis keluarga Subandini akhirnya dapat tertolong dari kemunduran. Sekarang
batiknya mulai berkembang pesat dan maju. Canting daryono tidak hanya terkenal
dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Akhirnya semua hidup berbahagia
dengan rasa syukur dan suka cita.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, 26
November 1948. Ia mulai menulis dalam bahasa Jawa. Sampai kini karya yang telah
diterbitkan sudah puluhan judul yang salah satunya Canting. Ia pernah
memenangkan sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional dan mendapatkan beberapa
penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN.
Karya-karya yang pernah terkenal seperti
Kiki, Imung, Keluarga Cemara, Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku, dan Canting
diangkat sebagai drama serial di televisi. Arswendo Atmowiloto juga menulis
buku Telaah tentang Televisi serta Mengarang Itu Gampang dan Mengarang Novel
Itu Gampang yang belasan kali cetak ulang
Arswendo
Atmowiloto dalam novel Canting ingin memperlihatkan kebudayaan Jawa melalui
batik. Ceritanya cukup menarik yang menceritakan mengenai kebuayaan Jawa dengan
mengangkat batik sebagai simbol budaya dan berbagai konflik yang menyertai di
dalamnya. Novel Canting juga memberikan pengetahuan kepada kita tentang
tradisi-tradisi kebudayaan Jawa.
Realitasnya zaman sekarang peminat karya sastra
sangatlah minim, khususnya karya sastra berupa novel. Perkembangan novel saat
ini lebih banyak mengupas tentang cinta dan remaja, novel yang bersifat serius
sudah jarang peminatnya. Namun
disini Arswendo Atmowiloto berani membuat sebuah karya yang mengangkat
kebudayaan, yaitu kebudayaan Jawa. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati,
dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang
tersaji dalam teks sastra sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.
Kelebihan dari novel Canting Arswendo ingin menceritakan
tentang seorang perempuan Jawa bernama Ni, yang merupakan sarjana farmasi yang
demi mempertahankan perusahaan batiknya melawan keterpurukan arus batik print,
Ni harus berbuat banyak hal termasuk “tidak menjadi Jawa”. Budaya Jawa,
merupakan pemegang kuat dari alur cerita ini dan menimbulkan konflik-konflik
pada cerita ini. Pada novel ini, kental terasa adanya stratifikasi sosial
antara kaum bangsawan Jawa dengan kaum rakyat yang pada novel ini diposisikan
sebagai buruh batik.
Novel ini menceritakan kenyataan sosial
dalam suatu etnis, yakni etnis Jawa. Arswendo Atmowiloto dalam Canting ingin memperlihatkan
kebudayaan Jawa melalui batik. Canting merupakan novel yang berlatar belakang kebudayaan Jawa
kental dengan lingkungan kraton Surakarta. Canting adalah nama cap batik yang
sukses diproduksi Ngabean. Batik sendiri merupakan ciri khas budaya kota
Solo, namun seiring perjalanan waktu canting tidak bertahan lagi karena
munculnya jenis batik printing. Arswendo melihat hal tersebut sebagai suatu
kemunduran budaya, sehingga ia mencoba mengangkat kembali batik melalui novel
Canting.
Dalam novel ini pengarang
menceritakan tradisi daerah Solo pada masa itu dimana kebanyakan wanitalah yang
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di pasar klewer dengan
menjual batik. Suami hanya menerima hasilnya saja, wanita
lebih berperan dalam mencari nafkah. Perempuan dalam cerita ini digambarkan
sama dengan laki-laki mampu bekerja keras.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo dan memiliki latar
belakang sebagai orang Jawa, sehingga dalam novel Canting bahasa yang digunakan
kurang umum. Kelemahan novel ini terletak pada penggunaan bahasanay, ada
beberapa percakapan yang menggunakan campur kode antara bahasa Indonesia dengan
bahasa Jawa, disisi lain pembaca novel Canting tidaklah semua mengerti bahasa
Jawa, sehingga untuk mengerti jalan cerita cukup sulit.
Dari segi kemenarikan cover novel Canting memiliki cover
yang sederhana. Cover hanya digambarkan dengan sebuah alat yang digunakan untuk
membatik yaitu canting, walaupun itu mewakili judul nover tetapi isi dari novel
itu sendiri tidak hanya menceritakan mengenai canting akan tetapi mengenai
kehidupan sosial masyarakat Solo.