Welcome Comments Pictures
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG MUDAH-MUDAHAN BISA BERMANFAAT

Perjuangan Seorang Ibu dan Anak Jalanan dalam Mencari Kehidupan




A.    Identitas Buku
                                                    Judul    :           Sepuluh “Perjuangan Tragis Anak Jalanan Jakarta”
Penulis :           Ruwi Meita
Penerbit           :          Gagas Media
Edisi    :           I, 2009
Tebal   :          vi + 218 halaman ; 11.5 x 29 cm
ISBN     :         979-780-309-0 

B.     Isi Buku 
1.      Sinopsis Buku
  “Aku mati bukan karena aku putus asa. Aku bersedia mati untuk nyawa-nyawa lain yang berhak hidup. Berikan ginjalku untuk David, anakmu dan jantungku untuk Maria. Katakan pada Maria kalau aku sangat mencintainya dan tak pernah bermaksud menyia-nyiakannya”
Begitulah surat Yanti sebelum Ia mengakhiri hidupnya, surat itu ditujukan pada Thomas, bekas pacarnya dahulu. Sebelum mengambil keputusan itu, Yanti telah berpikir banyak dan Ia merasa itu adalah jalan terbaik bagi semuanya. Terutama untuk Maria, anaknya.
12 tahun sudah Yanti kehilangan Maria, dan Ia baru bisa mencari Maria setelah 10 tahun karena sebelumnya Ia harus mendekam dibalik jeruji besi, Ia difitnah sebagai Bandar narkoba karena dulu polisi menemukan serbuk putih yang ternyata adalah sejenis narkoba didalam lemarinya. Narkoba tersebut bukanlah milik Yanti, melainkan narkoba itu milik Aditya, suaminya. Hilangnya Maria juga bukan karena Yanti yang menelantarkannya, tetapi karena Aditya yang membawanya pergi. Sebelum Yanti meninggal, Aditya sudah terlebih dahulu meninggal karena ketergantunganya pada narkoba. Sewaktu Aditya meninggal, Yanti kebetulan berada disisinya, saat itu  Ia sedang mencari tahu tentang anaknya pada Aditya.
Beruntung, sebelum Aditya meninggal, Aditya memberikan petunjuk pada Yanti mengenai dimana dulu Aditya membawa pergi Maria, meskipun petunjuknya tidak lengkap tetapi itu sangat berarti bagi Yanti, Aditya hanya memberitahukan tentang lokalisasi dan Darg. Darg adalah nama bos ditempat lokalisasi dimana lebih lengkapnya Dargo.
Dargo bukan hanya bos ditempat lokalisasi, tetapi dia juga bos anak jalanan, salah satu anak jalanannya adalah Mongky, yang ternyata adalah anak Yanti yang bernama Maria. Yanti baru mengetahui hal itu setelah Ia pergi ke lokalisasi dan membuat keributan demi mencari anaknya Maria, saat Yanti membuat keributan, datanglah Mongky dengan kondisi babak belur karena sebelumnya dihajar oleh Dargo akibat memberitahukan tempatnya pada Yanti. Saat itu Yanti melihat tanda lahir Mongky yang sama pada yang terdapat pada anaknya juga kalung yang dipakai oleh Mongky.
Hari berikutnya, Yanti datang kelokalisasi untuk mencari anaknya, tetapi kedatanganya terlambat, Mongky atau Maria telah dibawa pergi kerumah sakit, bukan untuk diobati, melainkan karena organnya dijual oleh bosnya. Memang akhir-akhir itu, anak jalanan di tempat bos Dargo banyak yang menghilang, salah satunya adalah Darius, anak laki-laki yang sudah Mongky anggap adiknya, dan si Bogel yang pernah muncul dikoran karena tewas dimutilasi.
Yanti buru-buru menuju rumah sakit setelah diberikan alamat oleh Danang, teman Mongky juga. Dirumah sakit, Ia bertemu Thomas, yang sedang khawatir juga karena keadaan anaknya yang harus segera mendapatkan ginjal. Sayang pertemuan mereka tidak tepat, mereka langsung pergi menuju urusan masing-masing. Saat sampai dirumah sakit, Yanti langsung menanyakan keadaan Maria pada suster, dari situ, Ia mengetahui Maria mengalami kelainan jantung dan Thomas berada dirumah sakit karena David, anaknya, sedang membutuhkan ginjal.
Yanti bingung apa yang harus Ia lakukan, Ia mulai mengingat kembali kenangan saat bersama Mongky, sebelum Ia mengetahui Mongky adalah anaknya. Kenangan bersama Thomas pun Ia ingat kembali, Thomas yang dulunya adalah bekas pacarnya yang sangat Ia cintai, Ia putus dengannya karena Ia minder dengan keluarga Thomas yang kaya.
Yanti kemudian menulis surat, sebagai ungkapan hatinya dan ia mulai menggoreskan silet di tangannya. Setelah kejadian itu, Maria atau Mongky dan David bisa hidup lagi karena keduanya mendapat bantuan dari Yanti. Maria kemudian tinggal bersama Thomas. Sementara Dargo dan anak buahnya ditangkap oleh polisi dengan segala kejahatannya.
 
2.      Kelebihan dan kekurangan buku

Novel karya Ruwi Meita ini, benar-benar menyajikan cerita yang menarik, penuh perjuangan, dimana tokoh utama, Yanti, selalu mengalami masa-masa sulit bahkan sampai Ia bertemu anaknya, Ia masih mengalami masa-masa sulit, sehingga ceritanya tidak terkesan seperti biasa. Novel ini juga mampu membuat indra pembaca terbawa kedalam bacaan sehingga pembaca mungkin akan melupakan sejenak apa yang harusnya Ia lakukan, bahasa yang digunakan dalam novelnya mudah dipahami, penulis mungkin menyesuaikan dengan pembaca. Sayang novel Ruwi Meita ini ditulis dalam kertas yang buram, sehingga membuat mata lebih cepat lelah, dan dalam ceritanya ada beberapa hal yang tidak dijelaskan, misalnya tentang bagaimana Aditya bisa ada dirumah orang tuanya, apakah Thomas dipenjara atau tidak akibat kesalahannya, ending ceritanya tentang bagaimana perasaan Maria setelah mengetahui Ibunya telah meninggal.


3.      Kepengarangan

Ruwi Meita memulai karier sebagai penulis dengan novel-novel yang diadaptasi dari layar lebar. Sudah ada 8 judul novel adaptasi yang telah dia hasilkan dan hamper semuanya didominasi oleh novel horror. Novel-novel itu diantaranya Dara Manisku (dua), Missing, Rumah Pondok Indah, Hantu Bangku Kosong, Terowongan Casablanca, Angker Batu, Pocong 2, Kekasih, dan Rumah Lebah.
Rumah lebah adalah novel mandiri perdananya, yang tidak diadaptasi dari film, dengan nuansa thriller. Dan, Sepuluh ini adalah novelnya yang kesepuluh

4.      Kesimpulan

Buku Karya Ruwi Meita merupakan buku nonfiksi, dimana isinya sangat bagus sehingga layak dibaca, cerita dalam buku ini bisa menjadi teladan bagi kita karena mengisahkan tentang perjuangan yang tidak pernah habis dari seorang ibu untuk mencari anaknya dan mengisahkan tentang anak jalanan, dimana dari situ kita bisa mengetahui kehidupan anak jalanan lebih dalam, yang akan membuat hati kita terenyuh untuk menolong/ membantu mereka.

Resensi Novel "Hurt" (Cinta Itu Datang untuk Pergi)

A. Judul Resensi
Cinta yang Kekal Adalah Cinta yang Berasal dari Hati
B. Identitas Buku
Judul          : Hurt (cinta itu datang untuk pergi)
Pengarang   :Heri Putra (@Tweetnesian)
Penerbit      : Wahyumedia
Penyunting  : Andri Agus Fabianto
Tahun terbit  : 2013
Tebal           : 176 hal
Panjang       : 12,7 x 19 cm
ISBN            : 979-795-7268
Harga           : Rp. 25.500
C. Isi Resensi
1. Pendahuluan
  • Identitas pengarang
Novel Hurt ditulis oleh heri Putra,pria asal dari Kota Samarinda dan lahir pada 10 September 1993. Ia memiliki hobi membaca, menulis, menonton film, dan mendengarkan music. Selain itu, ia juga suka berpetualang dalam imajinasi dan berkicau dalam twiiter karena dia admin @tweetnesian.
  • Membandingan dengan karangan lain
Heri Putra pernah menulis novel lain yang berjudul Telatih Sakit Hati. Di buku pertamanya lebih detail dan penjelasan sudut pandanganya, berbeda dengan novel Hurt ini terjadi kesalahan penulisan sudut pandang.
  • Kekhasan sosok penulis
Sesorang siswa dari SMKN 4 Samarinda yang memliki imajinasi tinggi karena kekuatan berpetualang dalam imajinasi, dengan imajinasinya itu ia mampu menulis sebuah novel remaja yang sangat bagus ini. Heri aktif di komunitas penulis di daerahnya, cerita yang dia tulis kebanyakan berdasarkan riset.
  • Keunikan novel
Novel ini sepertinya memiliki daya tarik untuk dibaca, dilihat dari cover dan synopsis yang ada pada sampul belakang novel sudah menarik.
  • Tema novel
Novel Hurt karangan heri Putra ini memliki tema percintaan.
  • Kritik terhadap Kelamahan novel
Terdapat kesalahan dalam penulisan pada novel tersebut, yang semula menggunakan sudut padang orang ketiga, pada suatu kalimat berubah menggunakan sudut pandang orang pertama. Ada beberapa kata yang salah dalam pengetikan
  • Kesan setelah membaca novel
Setelah membaca novel ini dapat memberikan pemahaman bahwa persahabatan itu melebihi segalanya, dan cinta yang tidak semestinya dapat merubah segalanya, persahabatan mungkin akan musnah jika seluruh mata memandang cinta.
2. Isi
  • Synopsis
Nabila kini hidup hanya berdua dengan ibunya, karena ayahnya telah meninggal pda saat ia berumur satu tahun. Sekarang Nabila duduk dibangku kelas 12 IPA 1 bersama dua orang sahabtanya yaitu Laura dan Nico yang kerap dipanggil bule karena ibunya berasal dari Amerika. Pada suatu hari Nabila pergi kesekolah di antar ibunya, sesampainya dikelas ia mencari-cari Laura. Bel masuk telah berbunyi namun Laura belum kelihatan juga, tiba-tiba ia di kagetkan oleh kedatangan Nico dan ia memberitahu bahwa Laura tidak berangkat. Pada saat jam istirahat Nabila pergi ke kantin bersama Nico, tanpa disadari disana ia bertemu dengan pria yang ada pada mimpinya semalam, pria yang disukainya. Dari situlah Nabila mengetahui nama pria itu, yaitu Malik. Nabila pun merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Pelajaran akhirnya berakhir, karena Laura hari ini tidak berangkat Nico pun mengajak Nabila untuk pulang bersama dengan jalan kaki. Pada saat diperjalanan Nabila merasakan getaran perhatian yang diberikan oleh Nico. Ia merasa juga kagum kepada Nico karena Nico sangat perduli pada lingkungan. Dalam hati, Nabila berkata bahwa  tidak boleh jatuh cinta pada Nico, ia harus focus pada Malik orang yang disukainya lebih dulu.
Semakin hari Nabila dan Malik semakin dekat. Malik pun memberanikan diri untuk mengajak Nabila jalan. Malik sudah memiliki rencana untuk menyatakan cinta kepada Nabila. Pada sisi lain Nico merasa cemburu dengan kedekatan Nabila dan Malik, sebenarnya Nico juga mencintai Nabila. Karena tidak ingin Nabila berada pada cinta Malik, pada hari yang sama Nico mengirim surat untuk Nabila yang isinya mengajak Nabila jalan dan Nico juga akan menyatakan cintanya. Namun semua terlambat, Nabila lebih dulu menjadi pacar Malik. Nico diberitahu Laura bahwa Nabila dan Malik sudah jadian. Hujan lebat mengguyur Nico yang bergegas kerumah Nabila untuk mengambil surat itu kembali. Hati Nico terasa amat sakit, lalu Nico pergi kerumah Laura untuk bercerita bahwa ia mencintai Nabila, pada saat itu juga hati Laura merasakan sakit, Laura memberanikan diri untuk jujur kepada Nico, bahwa ia mencintai Nico.
Laura menceritkan tentang keadaan Malik kepada Nico, bahwa Malik sekarang mengidap penyakit HIV. Hati Nico pun terbakar dan bepikiran bahwa Malik laki-laki yang tidak benar, karena ia tidak mau Nabila dirusak oleh Malik, Nico menghampiri Malik di kelasnya dan langsung memukul Malik sambil berkata agar dia menjauhi Nabila. Nabila pun dating untuk memisahkan mereka, Nabila marah kepada Nico karena telah memukul Malik. Nico memberitahukan yang sebenarnya bahwa Malik mengidap penyakit HIV, Nabila merasa kecewa lalu pergi.
Hubungan Nabila dengan Malik pun renggang, bahkan untuk saat ini Nabila enggan bertemu dengan Malik. Akan tetapi Nabila merasa kasihan kepada Malik yang mau menunggu Nabila dan ia menemui Malik. Nabila tersadar bahwa Malik selama ini sangat mencintai Nabila,Malik bersandar di bahu Nabila, ia pun pergi untuk selamanya karena penyakit yang ada pada tubuhnya. Disisi lain Nico juga pergi ke Amerika entah sampai kapan ia akan kembali. Kini Nabila harus jauh dari raga kedua pria yang mencintainya tetapi tidak untuk cintanya.
  • Keunggulan
Ceritanya menarik, dapat membawa si pembaca ke suasana di dalamnya. Selain itu bahasa yang digunakan tidak terlalu baku jadi mudah untuk dipahami.
  • Kelemahan
Akhir cerita dalam novel ini masih kurang jelas, sehingga membuat si pembaca masih bertanya bagiama akhir kisah cinta Nabila, cerita tentang kisah cinta Laura pun ceritannya juga kurang jelas(menggantung). Penggunaan sudut pandang juga tidak tetap, di awal menggunakan sudut pandang orang ketiga tetapi di tengah cerita menggunakan sudut pandang ora pertama dan di akhir menggunakan sudut pandang orang pertama lagi. Terdapat beberapa kata yang salah dalam pengetikan.
  • Rumusan kerangka novel(cerita perbab)
Pada bab prolog, menceritakan tentang keluarga seorang gadis yang bernama Nabila. Ia sekarang tinggal hanya dengan ibunya, karena ayahnya telah meninggal apada saat ia masih berusia satu tahun. Ibunya bekerja sebagai wirausaha yang emeneruskan usaha toko besi peninggalan ayahnya.
Kedua pada bab dia, bercerita pada saat Nabila disekolah dan tiba-tiba ia melihat seorang pria yang ada pada mimpinya. Nabila pun jatuh cinta pada pandangan pertama. Saat ia sedang melamunkan pria itu, ia pun di kagetkan kadatangan sahabatnya yang bernama nico yang kerap dipanggil bule.
Pada bab Getaran Pertama menceritakan Nabila bertemu dan berkenalan dengan seseorang yang disukainya saat ia sedang makan di kantin bersama Nico. Nama pria itu adalah Malik.
Bab Nico oh Nico bercerita saat saat pulang sekolah. Nico pun mengajak Nabilan untuk pulang jalan kaki bersama. Pada saat itu ia terkagum pada Nico karena ia perhatian kepadanya dan peduli pada lingkungan karena setiap ada sampah yang dibuang sembarangan ia memungutnya. Akan tetapi ia harus tetap focus pada malik, pria yang sudah disukainya lebih dulu.
Pada bab romantika sang sahabat, bercerita ketika Nico menghantar Nabila pulang kerumah dengan di boncengkan sepeda. Keringat Nico terkucur membasahi wajahnya dan Nabila mengusap. Nico juga sangat perhatian pada Laura pada malam harinya, Nico mau menyelesaikan catatan sejarah Laura karena Laura tertidur pulas.
Selanjutnya bab semakin dekat, menceritakan kedekatan Nabila dengan Malik. Mereka bertemu kembali di sekolah, dan mengobrol bersama. Malik mengajak Nabila untuk jalan-jalan nanti malam.
Pada bab malam yang tak terduga, bercerita tentang kegelisahan Nabila yang menunggu Malik yang tak kunjung dating, Nabila kecewa karena merasa dibohongi, Malik sampai dirumah Nabila sudah larut malam karena ban sepeda Malik bocor dan ia hrus mendorong, Nabila merasa tidak enak hati karena sudah berpransangka buruk. Tiba-tiba Laura dating karena ia ingin bertanya tentang Malik, karena sudah larut malam Malik dan Laura pulang bersama.
Pada bab antara Nabila, Malik dan Nico berecerita tentang Nabila dan Malik yang sudah berpacaran. Pada hari yang sama Nico juga ingin mengungkapkan perasaannya pada Nabila, namun ia sudah terlambat.
Bab kesedihan yang lain, menceritakan tentang kesedihan Nico. Kemudian Nico menceritakan kekecewaannya pada Laura. Dan Laura pun sakit hati juga, karena ia juga mencintai Nico. Sesampainya dirumah Nico diberitahu ayahnya bahwa ia harus ikut pindah ke Amerika. Nico tidak sanggup meninggalkan cintanya yang masih mengambang.
Bab menjelang, Nico memberitahu Laura bahwa ia akan segera pindah ke Amerika. Laura sedih, ia juga bercerita kepada Nico bahwa Malik mengidap HIV. Hati Nico memanas, ia menghampiri Malik dan memukulnya. Nabila menghampiri tak marah pada Nico, dan akhirnya Nabila tahu yang sebenarnya.
Bab pergi, bercerita tentang Nico yang meminta maaf kepada Malik karena ia salah paham tentang penyakitnya. Ia juga bepamitan untuk pergi ke Amerika. Disisi lain Nabila masih merasa berat untuk bertemu Malik, tetapi mau tidak mau ia harus menemuinya. Mereka bertemu di taman, Malik mengungkap bahwa ia benar-benar mencintai Nabila, sampai akhirnya Malik bersandar di bahu Nabila dan pergi untuk selamanya.
Akhir bab epilog, Nabila kembali bangkit dari keterpurukan, dan di sekolah ia dikejutkan oleh rencana Laura yang menyuruh semua laki-laki untuk bersekolah menaiki sepeda.
  • Tinjauan bahasa
Pengarang menggunakan gaya bahasa yang kurang baku dan beberapa kalimat menggunakan bahasa asing
  • Adanya kesalahan cetak
Terdapat beberapa kata yang salah dalam pengetikan (typo).
3. Penutup
Novel Hurt in berisikan tentang kisah cinta empat remaja dan mereka ini bersahabat. Bahwa cinta itu tidak harus memiliki, bersikap setia dan perhatian kepada sahabat sudah menunjukan bahwa kita memberikan cinta. Dari novel ini kita dapat mengetahui cinta yang sebenarnya dan merasakan kehilangan orang yang mencintai kita. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, siapa dan apa saja menjadi bisa peran dalam perpisahan itu.
Novel ini dapat dibaca oleh remaja, karena di dalam novel ini menceritakan percintaan dikalangan remaja

RESENSI NOVEL DEWI KAWI

Judul               : Dewi Kawi
Penulis             : Arswendo Atmowiloto
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal               : 136 hlm
ISBN               : 978-979-22-4064-1

Arswendo Atmowiloto adalah seorang penulis yang telah melahirkan puluhan karya terindah nya. Ia sudah belasan kali memenangkan sayembara penulisan, memenangkan sedikitnya dua kali hadiah buku Nasional, dan mendapatkan beberapa penghargaan, baik tingkat Nasional maupun tingkat ASEAN.
Dalam Novel ini Arswendo Atmowiloto mengangkat kisah tentang kehidupan seseorang yang sukses yang memulai karirnya dari sisa-sisa daun kol yang membusuk, dia adalah Juragan Eling. Rekan bisnis nya mengenalnya sebagai tokoh usahawan yang jenius dan keras kepala. Bagi karyawan-karyawatinya juragan Eling adalah sosok yang baik hati , sebaik hati orangtua pada anak-anaknya, dan seakrab sahabat.
Pada awal pemunculan tokoh Eling dan Podo adiknya, pembaca dibuat iba dan salut atas perjuangan keduanya. Juragan Eling memulai bekerja setelah selesai sekolah menengah atas, dan tak mempunyai biaya untuk melanjutkan kuliah. Di sebuah pasar, ia memunguti daun kol yang berceceran dan telah membusuk. Daun kol busuk itu diperas, dan airnya sebagai pengganti kol. Sulit dijual atau bahkan diberikan orang saja tak ada yang mau, karena daun kol sendiri sangat murah dan bukan sayur yang membanggakan. Tapi itulah permulaan membuat yang lain. Juragan Eling mengolah air kelapa dari pasar yang dibuang begitu saja membasahi tanah. Kemudian juragan Eling tampung. Dalam satu-dua hari sudah membusuk, lalu dihangatkan tidak sampai mendidih, hanya sekedar jangan busuk. Olahan air kelapa ini laku keras karena bisa membuat daging ayam menjadi empuk dan gurih.
Dari sini, Eling muda membuat sari buah: jeruk yang dikenal dengan nama sitrun, bengkoang, dan segala dagangan yang ada di pasar tradisional.
Juragan Eling mulai menjadi penampung. Sukses terbesarnya diawali dengan menjual biji srikaya. Anak-anak kecil menyukainya karena harganya murah, rasanya aneh. Itulah loncatan perubahan terbesar dalam hidupnya. Permintaan akan Srikaya Cracker menembus berbagai kota, berbagai terminal, stasiun, depan sekolah, sehingga berapa pun produksinya akan terserap kepasar.
Dari hanya satu KOL, kendaraan niaga merek Colt yang disewa, sampai belasan truk datang dan pergi.
Layaknya manusia biasa Eling muda pun jatuh cinta dengan seorang wanita tunasusila yaitu Kawi. Eling dan Kawi bertemu pertama kali disebuah tempat lokalisasi, Eling sebagai tamunya kawi dari saat itu Eling menjadi dekat dengan Kawi dan bahkan menjadi tamu tetapnya. Eling dan kawi semakin akrab. Semakin terlibat emosi satu sama lain. Eling mulai merasa cemburu dengan tamu tetapnya Kawi, yang ternyata kekasihnya, dan mereka tengah merencanakan untuk menikah. Tetapi kekasihnya Kawi adalah orang yang kasar, dan suka marah-marah. Eling pun berncana untuk menikahi kawi, namun Eling merasa ragu dan cemas akan pernikahannya dengan Kawi. Hingga akhirnya mereka pun berpisah. Eling telah menikah dan dikarunia anak dan cucu, sementara Kawi menghilang entah kemana. Eling merasa dirinya banyak berhutang budi kepada Kawi, karna berkat semangat dan dorongannya lah Eling bisa berhasil. Eling meminta bantuan Podo adiknya untuk mencari Kawi, Eling ingin mengucapkan terima kasih kepada Kawi.
Podo pun meninggal karena penyakitnya sebelum bisa menemukan Kawi. Namun sebelum meninggal Podo sempat membawa 15 nama dan profil wanita yang bernama Kawi kepada kakaknya. Namun Eling merasa ragu kalau misalkan ada pertemuan, malah membuat Kawi merasa sesuatu yang salah, atau kalah, atau rendah. Ia ragu karna sebenarnya ia hanya ingin mengatakan bahwa ia pernah mencintai, pernah beercinta dengan Kawi dan ingatan itu ternyata masih bisa ada dan membuatnya bahagia.
Kemampuan Penulis memaparkan alur nya sangat baik, alur yang digunakan dalam Novel ini adalah alur campuran. Alur berjalan maju pada saat menceritakan Eling, dan Alur berjalan mundur pada saat menceritakan Kawi sebagai masa lalunya.
Setting dalam Novel ini juga sangat jelas, Penulis mampu membuat pembaca terhanyut kedalam cerita dalam Novel ini.
Pemaparan watak tokoh Eling dalam novel sangat jelas yaitu pekerja keras, humoris, baik hati, Jenius dan akrab kepada karyawan-karyawatinya.
Sudut pandang orang pertama dalam novel ini mendukung keseluruhan cerita, menjadikan cerita ini seolah-olah hidup dan diceritakan oleh tokoh utama.
Amanat dalam Novel ini adalah kita tidak boleh sombong dan merasa puas akan sesuatu yang telah dicapai atau dihasilkan. Karena Realitas itu tidak satu. Realitas selalu berubah. Bukan hanya maknanya, melainkan realitas itu sendiri. Realitas terbangun dalam peristiwa, dan sesuai dengan perjalanan waktu, peristiwa itu diubah. Menjadi lebih cantik, atau menjadi lebih seram. Penyempurnaan terus terjadi, ketika seseorang itu meninggal.
Kekuatan dari novel ini secara keseluruhan, novel ini memberikan manfaat bagi pembaca. Novel ini teramat sayang jika dilewatkan. Novel ini mengajarkan untuk mensyukuri hidup.
Kelemahan dari Novel ini karena pada akhir ceritanya mengambang. Eling belum bisa bertemu dengan Dewi kawi.

RESENSI CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO


RESENSI
Oleh: Sri Nurjanik
CANTING KARYA ARSWENDO ATMOWILOTO

Judul novel                  :   Canting
Pengarang                   :   Arswendo Atmowiloto
Jumlah halaman            :  408 Halaman
Penerbit                       :  Gramedia Pustaka Utama
Kota terbit                   :  Jakarta
Tahun terbit                 : 1986
Uraian

Sinopsis
Keputusan yang sangat mengejutkan dibuat oleh Raden Ngabehi Satrokusumo untuk keluarganya. Raden Ngabehi Satrokusumo mencintai seorang gadis yang bernama Tuginem yang tak lain adalah seorang buruh batik di tempat kerjanya. Pengusaha batik tradisional merk Canting di Solo tersebut ingin menikah dengan Tuginem yang bukan berasal dari kalangan keraton. Pernikahannya mendapat tentangan dari keluarga besar Raden Ngabehi Satrokusumo. Namun pernikahan itu tetap berlangsung dan walaupun tanapa persetujuan dari keluarga besarnya.
Pernikahan tersebut mendapat banyak tentangan dari keluarga besar Ngabei tetapi pernikahan tetap bahagia dan harmonis. Setelah menikah dengan Ngabehi gadis yang menjadi buruh batik itu dipanggil Bu Bei. Kemudian Bu Bei membantu usaha batik yang didirikan oleh suaminya. Selama menjadi istri Ngabehi, Bu Bei menjadi istri yang berbakti lahir dan batin.
Ketika Bu Bei sudah menjadi seorang wanita karir yang sukses, ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang baik bagi keluarga. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai enam orang anak. Mereka bernama Wahyu Dewabrata, Lintang Dewanti, Bayu Dewsunu, Ismaya Dewakusuma, Wening Dewa murti, dan si bungsu Subandini Dewa Putri. Tugas Bu Bei sebagai seorang istri priyayi menjadi semakin berat karena beliau harus mengurusi keenam anak.
Bu bei mulai belajar menjadi wanita karier yang memiliki keberaniaan memutuskan masalah-masalah yang sulit dan menagambil keputusan yang penting. Ia membesarkan anaknya hingga mereka menikah dan mempunyai anak. Anaknya bernama Wahyu Dewabrata menjadi dokter, Lintang Dewanti menjadi istri kolonel, Bayu Dewasunu menjadi dokter gigi, Ismaya Dewakusuma manjadi insinyur, Wening Dewamurti menjadi menjadi dokter yang kemudian menjadi kontraktor yang sukses, serta si bungsu Subandini Dewaputri menjadi sarjana farmasi. Karena faktor usia yang sudah semakin tua, kekuatan Bu Bei dalam menangani usaha batiknya serta dalam mengurus rumah tangganya semakin berkurang. Kekuatannya dalam menangani para pedagang di pasar Klewer Solo, tempat usaha menjajakan batik Canting produk buatannya mulai menurun.
Ni dicurigai sebagai anak hubungan gelap. Sebagai bapak yang bijaksana Pak Bei tampil meyakinkan, untuk menyelesaikan masalah. Namun diantara anak-anaknya yang lain mulai timbul persaingan yang tidak sehat, antara keluarga itu terjadi pertikaian yang terselubung. Mereka tidak setuju jika Ni melanjutkan usaha batik ibunya. Akan tetapi Ni tetap bersikukuh ingin melanjutkan batik milik ibunya. Meskipun sudah diganti merk tetap saja batik Canting itu tetap tenggelam, karena bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Sampai pada akhirnya Ni jatuh sakit dan hampir saja meninggal.
Akhirnya Ni melahirkan pemikiran dan sikap baru bahwa canting tidak perlu diangkat tinggi-tinggi. Canting sekarang bukanlah Canting yang dianggap adi luhung oleh sebagaian besar pemakainya. Dengan bantuan keluarga dan buruh pabriknya usaha batiknya berangsur-angsur pulih. Salah satu penyebab kemunduran usaha batiknya adalah mesalah merk, kemudian ia mengganti nama Canting dengan Canting Daryono.
Batik yang dijalankan Ni perlahan-lahan mulai pulih, keputusan mengganti merk Canting menjadi Canting Daryono merupakan keputusan yang sangat tepat. Kemudian Subandini menikah dengan Hermawan, tepat pada hari selamatan setahun sepeninggal ibunya. Sampai akhirnya dia melahirkan anak pertamanya yang diberi nama sama dengan merk batiknya yaitu Canting Daryono. Hermawan pria yang setia, dia rela menunggu Ni selama menangani usaha keluarganya.
Usaha batik yang dirintis keluarga Subandini akhirnya dapat tertolong dari kemunduran. Sekarang batiknya mulai berkembang pesat dan maju. Canting daryono tidak hanya terkenal dalam negeri saja tetapi juga di luar negeri. Akhirnya semua hidup berbahagia dengan rasa syukur dan suka cita.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo, 26 November 1948. Ia mulai menulis dalam bahasa Jawa. Sampai kini karya yang telah diterbitkan sudah puluhan judul yang salah satunya Canting. Ia pernah memenangkan sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional dan mendapatkan beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN.
Karya-karya yang pernah terkenal seperti Kiki, Imung, Keluarga Cemara, Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku, dan Canting diangkat sebagai drama serial di televisi. Arswendo Atmowiloto juga menulis buku Telaah tentang Televisi serta Mengarang Itu Gampang dan Mengarang Novel Itu Gampang yang belasan kali cetak ulang
Arswendo Atmowiloto dalam novel Canting ingin memperlihatkan kebudayaan Jawa melalui batik. Ceritanya cukup menarik yang menceritakan mengenai kebuayaan Jawa dengan mengangkat batik sebagai simbol budaya dan berbagai konflik yang menyertai di dalamnya. Novel Canting juga memberikan pengetahuan kepada kita tentang tradisi-tradisi kebudayaan Jawa.
Realitasnya zaman sekarang peminat karya sastra sangatlah minim, khususnya karya sastra berupa novel. Perkembangan novel saat ini lebih banyak mengupas tentang cinta dan remaja, novel yang bersifat serius sudah jarang peminatnya. Namun disini Arswendo Atmowiloto berani membuat sebuah karya yang mengangkat kebudayaan, yaitu kebudayaan Jawa. Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastra menyajikan kehidupan yang tersaji dalam teks sastra sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial.
Kelebihan dari novel Canting Arswendo ingin menceritakan tentang seorang perempuan Jawa bernama Ni, yang merupakan sarjana farmasi yang demi mempertahankan perusahaan batiknya melawan keterpurukan arus batik print, Ni harus berbuat banyak hal termasuk “tidak menjadi Jawa”. Budaya Jawa, merupakan pemegang kuat dari alur cerita ini dan menimbulkan konflik-konflik pada cerita ini. Pada novel ini, kental terasa adanya stratifikasi sosial antara kaum bangsawan Jawa dengan kaum rakyat yang pada novel ini diposisikan sebagai buruh batik.
Novel ini menceritakan kenyataan sosial dalam suatu etnis, yakni etnis Jawa. Arswendo Atmowiloto dalam Canting ingin memperlihatkan kebudayaan Jawa melalui batik. Canting merupakan novel yang berlatar belakang kebudayaan Jawa kental dengan lingkungan kraton Surakarta. Canting adalah nama cap batik yang sukses diproduksi Ngabean. Batik sendiri merupakan ciri khas budaya kota Solo, namun seiring perjalanan waktu canting tidak bertahan lagi karena munculnya jenis batik printing. Arswendo melihat hal tersebut sebagai suatu kemunduran budaya, sehingga ia mencoba mengangkat kembali batik melalui novel Canting.
Dalam novel ini pengarang menceritakan tradisi daerah Solo pada masa itu dimana kebanyakan wanitalah yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di pasar klewer dengan menjual batik. Suami hanya menerima hasilnya saja, wanita lebih berperan dalam mencari nafkah. Perempuan dalam cerita ini digambarkan sama dengan laki-laki mampu bekerja keras.
Arswendo Atmowiloto lahir di Solo dan memiliki latar belakang sebagai orang Jawa, sehingga dalam novel Canting bahasa yang digunakan kurang umum. Kelemahan novel ini terletak pada penggunaan bahasanay, ada beberapa percakapan yang menggunakan campur kode antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa, disisi lain pembaca novel Canting tidaklah semua mengerti bahasa Jawa, sehingga untuk mengerti jalan cerita cukup sulit.
Dari segi kemenarikan cover novel Canting memiliki cover yang sederhana. Cover hanya digambarkan dengan sebuah alat yang digunakan untuk membatik yaitu canting, walaupun itu mewakili judul nover tetapi isi dari novel itu sendiri tidak hanya menceritakan mengenai canting akan tetapi mengenai kehidupan sosial masyarakat Solo.

Profil Sastrawan Arswendo Atmowiloto






ARSWENDO ATMOWILOTO lahir di Surakarta, 26 November 1948. Ia mulai menulis dalam bahasa Jawa. Mempunyai nama asli Sarwendo. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan ngepop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkannyalah nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang. Sampai kini karyanya yang telah diterbitkan sudah puluhan judul. Ia sudah belasan kali pula memenangi sayembara penulisan, memenangkan sedikitnya dua kali Hadiah Buku Nasional, dan mendapatkan beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN. Tahun 1979 ia mengikuti program penulisan kreatif di University of Iowa, Iowa City, USA. Dalam karier jurnalistik, ia sempat memimpin tabloid Monitor, sebelum terpaksa menghuni penjara (1990) selama lima tahun karena tulisannya dianggap subversi dan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 157 KUHP.
Pengalamannya dalam penjara telah melahirkan sejumlah novel—termasuk Projo dan Brojo ini, buku-buku rohani, puluhan artikel, dan catatan lucu-haru, Menghitung Hari. Judul tersebut telah disinetronkan dan memperoleh penghargaan utama dalam Festival Sinetron Indonesia, 1995. Tahun berikutnya, sinetron lain yang ditulisnya, Vonis Kepagian, juga memperoleh penghargaan serupa. Dunia pertelevisian memang sudah menarik perhatiannya sejak ia memimpin tabloid Monitor. Karya-karyanya yang pernah terkenal seperti Kiki, Imung, Keluarga Cemara, Saat-Saat Kau Berbaring di Dadaku, dan Canting diangkat sebagai drama serial di televisi. Ia juga menulis buku Telaah tentang Televisi serta Mengarang Itu Gampang dan Mengarang Novel Itu Gampang yang belasan kali cetak ulang. Ia kini masih tetap menulis skenario dan novel, sering tampil dalam seminar dan diundang ceramah, serta memproduksi sinetron dan film, termasuk film Anak-Anak Borobudur (2007). Selain buku, televisi, dan film, ia mengaku menyukai komik dan humor, dan sangat tertarik untuk terlibat dalam dunia anak-anak.
Arswendo Atmowiloto menganut agama Kristen dan menikah dengan wanita yang seiman dengannya Agnes Sri Hartini pada tahun 1971.
Dari pernikahannya itu, mereka memperoleh tiga orang putra, yaitu Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara.
Ia tinggal di Jakarta dengan istri yang itu-itu juga, tiga anak yang
sudah dewasa dan berkeluarga, lima cucu, ratusan lukisan “kapas berwarna” yang dibuatnya waktu di penjara, seperti juga sandal tato.
“Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini mendekati benar, karena
kalau tidak menulis saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya
menulis.” Wendo, yang pernah mengikuti program penulisan kreatif di Iowa, AS, 1979, dikenal juga sebagai pengamat televisi. Dipedulikan atau tidak, kritik dan komentarnya tentang pertelevisian terus mengalir. Akhirnya, Dewan Kesenian Jakarta mengundangnya untuk menjadi pembicara dalam diskusi tentang televisi. Pemilik rumah produksi PT Atmochademas Persada ini telah membuat sejumlah sinetron. Sinetronnya Keluarga Cemara memperoleh Panasonic Award 2000 sebagai acara anak-anak favorit. Tiga kali ia menerima Piala Vidya untuk Pemahat Borobudur, Menghitung Hari, dan Vonis Kepagian.Kalau sekarang ia juga merangkap menjadi sutradara sinetron, “Karena iseng saja. Sutradara honornya juga bagus, ya sudah,” ujar Wendo.
MASA MUDA
Ayahnya, pegawai balai kota Surakarta, sudah meninggal ketika Arswendo duduk di bangku sekolah dasar. Ibunya, meninggal pada 1965. Arswendo pun yatim piatu di usia 17 tahun, ketika masih duduk di bangku SMA. Bahkan ketika ia diterima di Akademi Postel Bandung yang berikatan dinas, setelah lulus SMA, anak ketiga dari enam bersaudara ini tak bisa berangkat ke Bandung karena tak punya ongkos. Kalaupun ia sempat kuliah di IKIP Negeri Solo (sekarang Universitas Negeri Sebelas Maret), itu karena: “Saya cuma ingin menyandang jaket perguruan tinggi.” Setelah tiga bulan kuliah, ia mangkir untuk seterusnya. Ndo, panggilannya, dari kecil senang mendalang. ”Dari situ saya berkenalan dengan seni,” katanya. Tetapi, cita-cita semula jadi dokter, ”gagal karena masalah ekonomi”. Lalu, lulus tes Akademi Postel di Bandung, tetapi urung berangkat, ”karena tidak ada ongkos”. Toh, keinginannya jadi mahasiswa terpenuhi di IKIP Surakarta (sekarang Universitas Negeri Sebelas Maret), walau cuma tiga bulan. ”Saya ingin memiliki jaket universitas,” alasannya masuk perguruan tinggi.
Wendo, pernah kerja macam-macam; di pabrik bihun, jaga sepeda di apotek, tukang pungut bola di lapangan tenis. Cikal bakal jadi sastrawan dengan menulis di majalah berbahasa Jawa, Dharma Kanda, 1969. Sebetulnya nama aslinya bukan Arswendo, tetapi Sarwendo. Anehnya, kalau ia menuliskan nama aslinya, ”tulisan saya malah tidak dimuat,” katanya. Itu dahulu. Sekarang toh ia keasyikan dengan nama tidak asli itu setelah ”sukses” di Jakarta. Selain sastrawan dan wartawan ia pemimpin redaksi Hai dan merangkap wartawan Kompas. Arswendo sangat meminati masalah televisi. Ia tidak pernah bosan melempar saran dan kritik kepada TVRI, tidak peduli ditanggapi atau tidak. Bahkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 1982, ia menelanjangi media pemerintah itu lewat ceramahnya, Menjadi Penonton Televisi yang Baik. Ia tahu betul liku-liku pertelevisian. Bukan cuma televisi, Ndo juga pengamat komik yang baik. Koleksi komiknya cukup lengkap, terutama yang pernah terbit di Indonesia. Ia kesal sekali, ketika di suatu zaman, komik dianggap merusak. ”Tahun 1955, komik dibakar, tahun 1977 komik dirazia bersama razia rambut gondrong,” tuturnya. Ndo penasaran dan ia meneliti komik, 1977. Ternyata, komik tidak seburuk yang disangka. Bahkan PT Pustaka Jaya, penerbit yang pernah menyatakan tidak menerbitkan komik, 1972 pada tahun 1977 mulai menerbitkan komik.
Arswendo (nama yang semula diciptakannya untuk tulisan-tulisannya tapi akhirnya menjadi nama resminya) memang suka berkelakar. Terkesan seenaknya hampir dalam segala hal, kadang ia pun mengikuti arus. Misalnya, rambutnya dipanjangkan dan diikat ke belakang bergaya ekor kuda, ini pun cuma ikut-kutan dengan arus, katanya. Ia pun mengaku hidupnya santai, tak pernah basa-basi, dan juga tak pernah memikirkan hari esok. Untuk soal terakhir itu, inilah contohnya. Suatu hari, di awal tahun 70-an, ia menerima honorarium dari Dharma Kandha sebanyak Rp 1.500. Di dekat kantor tampak sejumlah orang, antara lain sopir becak, berjudi. Ia bergabung, dan kontan uang itu ludes.
Ia menjadi wartawan ketika di Solo muncul harian berbahasa Jawa Dharma Kandha dan Dharma Nyata. Sambil bekerja di media tersebut, ia pun menjadi koresponden lepas majalah TEMPO. Tahun 1972 Arswendo pindah ke Jakarta, bekerja sebagai redaktur pelaksana di majalah humor Astaga. Majalah ini tak hidup lama, dan ia pun masuk menjadi wartawan di kelompok Kompas-Gramedia.
DIPENJARA
Di tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad SAW (Nabi umat Muslim) yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara. Selama dalam tahanan, Arswendo menghasilkan tujuh buah novel, puluhan artikel, tiga naskah skenario dan sejumlah cerita bersambung. Sebagian dikirimkannya ke berbagai surat kabar, seperti KOMPAS, Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. Semuanya dengan menggunakan alamat dan identitas palsu.
Untuk cerita bersambungnya, “Sudesi” (Sukses dengan Satu Istri), di harian “Kompas”, ia menggunakan nama “Sukmo Sasmito”. Untuk “Auk” yang dimuat di “Suara Pembaruan” ia memakai nama “Lani Biki”, kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng ia pungut sekenanya. Nama-nama lain pernah dipakainya adalah “Said Saat” dan “B.M.D Harahap”. Pribadinya yang santai dan senang humor, membantu Arswendo menjalani hidup di penjara. Ia misalnya, menghabiskan waktu di penjara dengan memanfaatkan keterampilannya membuat tato–yang ditato adalah sandal. Sandal yang semula seharga Rp 500, setelah ditato bisa ia lego seharga Rp 2.000. Lewat usaha itu, ia punya 700 anak buah. Tentu, ia tetap menulis. Tujuh novel lahir di LP Cipinang, antara lain: Kisah Para Ratib, Abal-Abal, Menghitung Hari (sekeluar dari penjara Menghitung Hari dibuat sinetron dan memenangi Piala Vidya). Lalu puluhan artikel, tiga naskah skenario, beberapa cerita bersambung. Sebagian di antaranya ia kirimkan ke Kompas dan Suara Pembaruan dengan menggunakan nama samaran.
Setelah menjalani hukuman 5 tahun ia dibebaskan dan kemudian kembali ke profesi lamanya. Ia menemui Sudwikatmono yang menerbitkan tabloid Bintang Indonesia yang sedang kembang-kempis. Di tangannya, Arswendo berhasil menghidupkan tabloid itu. Namun Arswendo hanya bertahan tiga tahun di situ, karena ia kemudian mendirikan perusahaannya sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah, yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina (kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV. Saat ini selain masih aktif menulis ia juga memiliki sebuah rumah produksi sinetron. Kakaknya, Satmowi Atmowiloto, adalah seorang kartunis.
Arswendo Atmowiloto mengaku menyesal melakukan perbuatan yang dinilai melukai umat Islam dengan membuat sebuah “pooling” atau survey kontroversial di tabloid Monitor yang pernah dipimpinnya waktu itu. “Saya menyesal karena saat itu membuat umat Islam terluka,” kata Arswendo. Arswendo mengemukakan hal itu ketika ditanya apakah terdapat rasa penyesalan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan yang hadir dalam persidangan tersebut sebagai pihak terkait. Sedangkan Arswendo dihadirkan oleh pihak pemohon uji materi sebagai salah seorang korban yang pernah dijerat hukum karena terkait dengan pasal-pasal tentang penodaan agama. Ia menegaskan, sama sekali tidak ada niat untuk menodai atau menistakan agama tertentu terkait dengan survey tersebut. Arswendo pada saat itu bahkan telah meminta maaf baik melalui media cetak dan media elektronik dan Monitor juga telah menuliskan permintaan maaf yang memenuhi halaman pertama dari tabloid tersebut. Untuk saat ini, ia hanya ingin agar setidaknya terdapat penjelasan tentang perbuatan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai penodaan agama agar hal yang menimpanya tak terulang di masa mendatang.
KARYA-KARYA ARSWENDO
1. Sleko (1971)
2. Ito (1973)
3. Lawan Jadi Kawan (1973)
4. Bayiku yang Pertama: Sandiwara Komedi dalam 3 Babak (1974)
5. Sang Pangeran (1975)
6. Sang Pemahat (1976)
7. Bayang-Bayang Baur (1976)
8. 2 x Cinta (1976)
9. The Circus (1977)
10. Semesta Merapi Merbabu (1977)
11. Surat dengan Sampul Putih (1979)
12. Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980)
13. Dua Ibu (1981)
14. Saat-Saat (1981)
15. Pelajaran Pertama Calon Ayah (1981)
16. Serangan Fajar: diangkat dari film yang memenangkan 6 piala Citra pada Festival Film Indonesia (1982)
17. Airlangga (1985)
18. Anak Ratapan Insan (1985)
19. Pacar Ketinggalan Kereta (skenario dari novel "Kawinnya Juminten" (1985)
20. Pengkhianatan G30S/PKI (1986)
21. Dukun Tanpa Kemenyan (1986)
22. Akar Asap Neraka (1986)
23. Garem Koki (1986)
24. Canting: sebuah roman keluarga (1986)
25. Indonesia from the Air (1986)
26. Telaah tentang Televisi (1986)
27. Lukisan Setangkai Mawar: 17 cerita pendek pengarang Aksara (1986)
28. Tembang Tanah Air (1989)
29. Menghitung Hari (1993)
30. Oskep (1994)
31. Abal-abal (1994)
32. Berserah itu Indah: kesaksian pribadi (1994)
33. Auk (1994)
34. Projo & Brojo (1994)
35. Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi (1994)
36. Khotbah di Penjara (1994)
37. Sudesi: Sukses dengan Satu Istri (1994)
38. Suksma Sejati (1994)
39. Surkumur, Mudukur dan Plekenyun (1995)
40. Kisah Para Ratib (1996)
41. Darah Nelayan (2001)
42. Dewa Mabuk (2001)
43. Kadir (2001)
44. Keluarga Bahagia (2001)
45. Keluarga Cemara 1
46. Keluarga Cemara 2 (2001)
47. Keluarga Cemara 3 (2001)
48. Pesta Jangkrik (2001)
49. Senja yang Paling Tidak Menarik (2001)
50. Dusun Tantangan (2002)
51. Mencari Ayah Ibu (2002)
52. Mengapa Bibi Tak ke Dokter? (2002)
53. Senopati Pamungkas (1986/2003)
54. Fotobiografi Djoenaedi Joesoef: Senyum, Sederhana, Sukses (2005)
Dari semua karyanya, Arswendo banyak mendapatkan penghargaan, diantaranya yaitu:
Penghargaan :
·         Hadiah Zakse untuk esainya Buyung-Hok dalam Kreativitas Kompromi”(1972),
·         Hadiah Harapan dan Hadiah Perangsang dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk drama Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama memperoleh (1972 dan 1973),
·         Hadiah Harapan dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ untuk drama Sang Pangeran (1975),
·         Hadiah Harapan 1 Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara Anak-anak DKJ untuk drama Sang Pemahat” memperoleh (1976),
·         ”  Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P&K“untuk karya Dua Ibu (1981),
·         “Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P&K untuk karya Keluarga Bahagia (1985),
·         “Hadiah Yayasan Buku”
·         Utama Departemen P&K Mendoblang (1987),
·         Hadiah Sastra ASEAN (1987)

Salah satu puisi karya arswendo atmowiloto :
Damba Domba
Aku Mendamba Romo Yang.....
aku mendamba Romo yang penuh kasih- bukan yang pilih kasih
aku mendamba Romo yang bajunya kadang kekecilan, kadang kegedean itu berarti pemberian umat sebagai tanda cinta, tanda hormat
aku mendamba Romo, yang galak tapi sumanak
kaku pada dogma, tapi lucu kala canda yang lebih sering memegang rosario dibandingkan bb warna hijau
aku mendamba Romo yang lebih banyak mendengar dibandingkan berujar
aku mendamba Romo yang menampung air mataku- tanpa ikut menangisi
yang mengubah putus asa menjadi harapan
yang mengajarkan ritual sekaligus spiritual
duuuuh, damba dan inginku banyak, banyak sekalitapi aku percaya tetap terpenuhi karena Romoku mau dan mampu selalu memberi- inilah damba dan doaku, Romokueee,
masih ada satu lagi
sekali mengenakan jubah, jangan berubah-jangan pernah mengubah, walau godaan mewabah bahkan sampai ada laut terbelah kenakan terus jubahmu
itulah khotbah yang hidup
agar aku bisa menjamah
seperti perempuan Samaria pada Yesus Allah Tuhanku aku mendamba Romo yang menatapku kalem bersuara adem"Berkah Dalem