Welcome Comments Pictures
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG MUDAH-MUDAHAN BISA BERMANFAAT

MAKALAH AGAMA NIKAH SIRIH,POLIGAMI,POLIYANDRI


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri,Poligami,Poliandri meningkat berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audiovisual) tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri.
Poligami atau pernikahan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap wanita. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi peraturan secara ketat akan  menimbulkan  hal-hal negatif  dalam menegakkan  rumah  tangga. Biasanya hubungan dengan  istri muda menjadi tegang, anak-anak yang berlainan ibu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Hal ini bisa terjadi jika sang ayah  meninggal dunia.
Agar hal ini tidak terjadi, maka Undang-Undang membatasi secara ketat dengan alasan –alasan dan syarat-yarat tertentu. Undang-Undang perkawinan  memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanakan itu betul-betul bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya, dan tidak ada yang merugikan ataupun yang dirugikan.

B. Rumusan Masalah
1.      Nikah Sirih
2.      Poligami
3.      Poliandri

 BAB II
PEMBAHASAN
A. Nikah Sirih
      Nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).            Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :
1.    Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
2.      pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. 
3.   pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

         Pandangan presfektif hukum , baik hukum islam maupun  hukum positif indonesia.
Dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yg menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaan adalah Anda tak mempunyai bukti otentik bila telah menikah atau dgn kata lain tak mempunyai surat sah sebagai seorang warga negara yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum.Namun perlu dipikirkan dgn sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin melakukan nikah siri. Tidak ada salah Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin utk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara formal.

Walaupun diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai persoalan dgn sang suami sehingga harus berpisah misal sedangkan anda tak mempunyai kuat secara hukum. Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yg nanti memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya.
Oleh karena jangan jadikan nikah sirri‘ hanya sebagai jalan pintas utk keluar dgn mudah dalam mengatasi persoalan. Tetapi coba dulu utk berjuang dan melakukan sebagaimana umumnya.
Nikah Siri Menurut Hukum Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
            Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni
(1) hukum pernikahannya, dan
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
            Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
            Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
            Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut: 
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT.  Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut;
(1) wali,
(2) dua orang saksi, dan
(3) ijab qabul. 
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

 pandangan Islam tentang Nikah Siri
Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi, rahasia, pelan-pelan. ( Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356 )
Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan seksual, sebagaimana dalam firman Allah swt :
وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
“ Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina ( atau melakukan hubungan seksual ) dengan mereka  “ ( Qs Al Baqarah : 235 )
Sirran pada ayat di atas  menurut pendapat sebagian ulama berarti : berzina atau lakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan Imam Thobari.  ( Tafsir al Qurtubi : 3/126 ) . Pendapat ini dikuatkan dengan salah satu syi’ir yang disebutkan oleh Imru al Qais :
ألا زعمت بسباسة اليوم أنني      كبرت و لا أحسن السر أمثالى
“ Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang sepertiku ini tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik.  “
Nikah Siri dalam pandangan masyarakat  mempunyai  tiga pengertian :
Pengertian Pertama : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi –sembunyi  tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al Umm  5/ 23,
أخبرنا مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت
“ Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata : “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam ( pelakunya ) “
Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نكاح السر‏
“ Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri “ ( HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama, adapaun rawi-raiwi lainnya semuanya tsiqat ( terpecaya ) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid ( 4/ 62 ) hadist  8057 )
Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.
Pengertian Kedua : Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khayalak ramai.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini :
Pendapat Pertama : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’,  Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi,  : 7/ 434-435 ) .  Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa  Rasulullah saw bersabda:

لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل
“ Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “  ( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (  al-Muhalla : 9/465)
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap  sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak ramai.
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah ( akad timbal balik yang saling menguntungkan ), maka tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana  biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.
Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat Kedua : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah ( Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/ 95 ) . Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut.  ( Al Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji,  Beirut, Dar al Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401)  Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
فَصْل بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ والصوت
“Pembeda antara  yang halal  ( pernikahan ) dan yang haram  ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara  “ ( HR an Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain )
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد، واضرِبُوا عليه بالدُّفِّ
“ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi  berkata : Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.

Pengertian Ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini  tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .
Kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk ini ? Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke lembaga pencatatan resmi ?  Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di sini, diantaranya adalah :
a.       Faktor biaya, yaitu sebagian masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari biaya resmi.
b.      Faktor tempat kerja atau sekolah, yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.
c.       Faktor sosial, yaitu masyarakat sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari satu, maka untuk menghindari stigma negatife tersebut, seseorang tidak mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
d.      Faktor – faktor lain yang memaksa seseorang untuk tidak mencatatkan  pernikahannya.
Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini
Pertama : Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.
Kedua : Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan sangsi hukum.
Pertanyaannya adalah kenapa Negara memberikan sangsi kepada para pelaku nikah siri dalam katagori ketiga ini ? Apakah syarat sah pernikahan harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan ? Bagaimana status  lembaga pencatatan pernikahan dalam kaca mata Syari’at ?
Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata tidak  ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada orang yang menikah dan belum melaporkan kepada Negara. Hal itu, mungkin saja belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah urusan Negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah Rasulullah saw.
Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan masyarakat semakin komplek, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap hubungan antar individu di dalam masyarakat. Maka, secara umum Negara berhak membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan Negara berhak memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
تصرف الراعي منوط بمصلحة الرعية
“ Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat masyarakat “ ( As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama,  hlm : 121  )
Maka, dalam ini, pada dasarnya Negara berhak untuk membuat peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.
Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya Negara tidak mempersulit proses pencatatan pernikahan tersebut, diantaranya adalah mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
a.       Memberikan keringanan biaya bagi masyarakat yang tidak mampu, bukan malah memintah bayaran lebih, dengan dalih bekerja di luar jam kantor.
b.      Membuka pelayanan pada hari-hari dimana banyak diselenggarakan acara pernikahan.
c.       Tidak mempersulit orang-orang yang hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak dan istri mereka.
Tetapi jika ada tujuan – tujuan lain yang  tersembunyi dan tidak diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai, khususnya jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil, jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta telah mengumumkan perang tehadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak di negri Indonesia ini. Wallahu A’lam.

Landasan Terkait Catatan Pernikahan.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.

Dampak yang di timbulkan akibat nikah siri
Nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut situs LBH Apik, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan. Risiko yang ditanggung, jika menikah siri:
1.       Anda bisa kehilangan atau tidak dapat sepenuhnya hak-hak yang seharusnya bila jadi istri sah secara hukum, seperti hak nafkah lahir dan batin, hak nafkah dan penghidupan untuk anak Anda kelak.
2.      Seandainya terjadi perpisahan, Anda tidak berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono gini.
3.      Seandainya pasangan meninggal dunia, Anda tidak berhak mendapatkan warisan, begitu juga anak Anda. Karena, anak yang dilahirkan dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.
4.      Anda pun dapat dikenakan pidana. Istri sah dari kekasih Anda bisa saja melaporkan Anda dan suaminya (kekasih Anda) telah melakukan tindak pidana kejahatan dalam perkawinan (pasal 279 (1) KUHP) atau tindak pidana perzinaan (pasal 284 ayat (1) KUHP).

Dampak positif :
1.  Meminimalisasi adanya sex bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun  penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung jawab seorang wanita yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Dampak Negatif :
1.      Berselingkuh merupakan hal yang wajar
2.      Akan ada banyak kasus Poligami yang akan terjadi.
3.      Tidak adanya kejelasan status isteri dan anak baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.
4.      Pelecehan sexual terhadap kaum hawa karena dianggap sebagai Pelampiasan Nafsu sesaat bagi kaum Laki-laki.

maka dengan demikian jika dilihat dari dampak – dampak yang ada, semakin terlihat bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negatif di banding dampak positifnya. Serta Akibat hukum dari nikah siri itu sendiri :

1.    Sebagai seorang istri kita tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik  lahir maupun batin.
2.    Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. “seperti nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan terkatung-katung.Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran. Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3.   Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan suaminya tersebut.


B. POLIGAMI
     Pengertian Poligami
Secara etimologi poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu polus artinya banyak dan gamos artinya perkawinan. artinya perkawinan yang banyak atau lebih dari satu.
Menurut bahasa Indonesia artinya system perkawinan yang salah satu pihak memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempinyai lebih dari seorang istri dengan istilah poligini (gune artinya perempuan). jadi kata yang tepat untuk menyebut laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu disebut poligini bukan poligami.
Dalil-Dalil
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 4
وإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم  ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا 
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[2], maka (kawinilah) seorang saja[3], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
وَقَالَ وَهْبٌ الأَسَدِيِّ قَالَ أَسْلَمْتُ وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٌ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ للنبي صلى الله وسلم اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًاً
“ Wahb al-Asadi berkata “aku masuk islam dan memiliki delapan orang istri, maka aku katakana hal itu pada Nabi Saw, lalu nabi bersabda “pilihlah empat di antara mereka” (H.R Abu  Daud).
   Poligami Dalam Islam
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak mengharuskan ummatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian seorang laki-laki yang boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apapun.
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat tertentu, baik jumlah maupun persyaratan yang lain.
1.      Jumlah istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah satu di antaranya ada yang meninggal atau diceraikan , suami dapat mencari ganti yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada waktu yang bersamaan.
2.      Laki-laki itu dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika pembagian nafkah, dan hal-hal yang menyangkut masalah lahir.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً
”Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[6] atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[7], dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir[8]. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[9]
تُرْجِي مَن تَشَاء مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي إِلَيْكَ مَن تَشَاء وَمَنِ ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ ذَلِكَ أَدْنَى أَن تَقَرَّ أَعْيُنُهُنَّ وَلَا يَحْزَنَّ وَيَرْضَيْنَ بِمَا آتَيْتَهُنَّ كُلُّهُنَّ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيماً حَلِيماً
“Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Islam membolehkan laki-laki tertentu  melaksanakan poligamin sebagai alternative ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinahan maupun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang islam dengan mencari jalan yang halal dengan syarat bisa berlaku adil.
Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 4
وإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم  ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا 
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”  (Q.S Annisa: 3)
          Asbabun nuzul ayat di atas adalah menurut tafsir Aisyah r.a. ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah Bin Zubair kepada Aisyah istri nabi tentang ayat ini. lalu beliau menjawabnya, “Wahai anak saudara perempuanku,yatim di sini maksudnya adalah anak yatim yang berada dibawah asuhan walinya mempunyai harta kekayaan yang bercampur dengan harta kekayaannya serta kecantikannya yang membuat anak itu suka diasuh olehnya, lalu dia ingin menjadikannya istri, tetapi tidak mau memberi maskawin dengan adil,yaitu memberi maskawin yang sama dengan yang diberikan kepada wanita lain. Karena itu, pengasuh anak yatim seperti ini dilarang menikahi mereka kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memeberikan maskawin lebih tinggi dari biasanya.
Maksud ayat tersebut adalah jika seorang laki-laki merasa yakin tidak dapat berbuat adil kepada anak perempuan yatim maka carilah perempuan yang lain.
Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain.

Dampak apabila poligami tidak diperbolehkan
1.      Kejahatan dan pelacuran terjadi dimana-mana
2.      Banyak anak yang lahir diluar nikah
3.      Munculnya berbagai macam penyakit badan, kegoncangan mental, dan gangguan syaraf.
4.      Mengakibatkan keruntuhan mental
5.      Merusak hubungan sehat antara suami dan istri
6.      Merusak keturunan
      Prosedur Poligami
Mengenai tata cara atau prosedur poligami yang sah diatur oleh islam memang tidak diatur secara pasti namun di Indonesia diatur dalam kompilasi agama islam sebagai berikut:
a.    Suami yang hendak beristri lebih dari satu harus mendapat izin dari pengadilan agama,
b.    Poligami yang tidak mendapat izin tidak mempunyai kekuatan hukum
Pengadilan agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.       Istri tidak menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Disamping syarat-syarat di atas, maka untuk memperoleh izin dari PA harus memenuhi syarat-syarta sebagai berikut
a.       Adanya persetujuan istri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperlusn istri-istri dan anak-anaknya.
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat UU Perkawinan). Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu jika:
a.       Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.       isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.        isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat UU Perkawinan):
a.       Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c.       Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU Perkawinan).

Sebab-Sebab Poligami
Sebab-sebab khusus terjadinya poligami
a.       Kelemahan istri, misalnya mandul dll
b.      Suami jatuh cinta kepada orang lain
c.       Suami benci kepada istrinya
d.      Istri yang telah diceraikan ingin kembali
e.       Hubungan kekeluargaan


Sebab umumnya adalah banyak wanita yang belum menikah, janda dan yang diceraikan.
Yang Diharamkan Dalam Berpoligami
a.       Berpoligami dengan kedok mut’ah
b.      Berpoligami dengan bibik istri
c.       Berpoligami dengan saudara kandung istri
d.      Berpoligami dengan istri kelima
e.       Tidak selayaknya istri menyuruh suami menceraikan madunya

  C. POLIANDRI
            Poliandri yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang di waktu yang bersamaan. Islam melarang tegas bentuk perkawinan poliandri. 2 ALLAH SWT berfirman “ Dan diharamkan juga kamu (para laki-laki) mengawini wanita-wanita yang bersuami .....................” (QS. An-Nisa’, 24). 3 Sementara dalam undang-umdang nomor 1 tahun 1974 , terdapat pula larangan poliandri yang tercantum dalam pasal 3 ayat 1yang menentukan bahwa pada asasnya seorang wanita harus hanya boleh memiliki seorang suami. Larangan ini bersifat mutlak mutlak, karena tidak ada alasan –alasan lain yang ditentukan dalam undang-undang perkawinan ini yang memboleh kan poliandri. 4
Sejauh ini penulis baru menemukan satu ayat al-Qur’an yang secara tegas melarang poliandri.
Surat An-Nisa’ Ayat 24

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا.

Sabab al-Nuzul

عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ أَصَابُوا سَبْيًا يَوْمَ أَوْطَاسَ لَهُنَّ أَزْوَاجٌ فَتَخَوَّفُوا فَأُنْزِلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ : وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ  .
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ يَوْمَ حُنَيْنٍ بَعْثًا إِلَى أَوْطَاسَ فَلَقُوا عَدُوَّهُمْ فَقَاتَلُوهُمْ فَظَهَرُوا عَلَيْهِمْ وَأَصَابُوا لَهُمْ سَبَايَا فَكَأَنَّ أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَرَّجُوا مِنْ غِشْيَانِهِنَّ مِنْ أَجْلِ أَزْوَاجِهِنَّ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ  أَيْ فَهُنَّ لَهُمْ حَلَالٌ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهُنَّ
Sabab nuzul di atas menegaskan dilarangnya menikahi wanita yang telah bersuami. Larangan itu memperoleh pengecualian bagi wanita yang menjadi budak. Namun demikian, menikahi wanita budak yang telah bersuami itu diperbolehkan setelah berlalunya masa iddah. Dari sini bisa dipahami bahwa wanita, baik ia sebagai wanita merdeka maupun sebagai budak, tidak diperkenankan memiliki suami lebih dari satu orang, atau yang disebut dengan poliandri.
Dalam bidang hukum Musthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarak menyebutkan bahwa bangsa arab pra islam menjadikan adab sebagai hokum dengan berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan. Diantaranya:
1.      Istibda’ yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjima’ dengan laki-laki lainyang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian dan kecerdasan. Selama istri “ bergaul” dengan laki-laki tersebut, suami menahan diri dengan tidak berjima’ dengan istrinya sebelum terbukti bahwa istrinya hamil. Tujuan perkawinan seperti ini adalah agar istri melahirkan anak yang memiliki sifat yang dimiliki laki-laki yang menyetubuhinya, yang tidak dimiliki oleh suaminya.
2.      Poliandri , yaitu beberapa laki-laki berjima’ dengan seorang perempuan. Setelah hamil  melahirkan anak, perempuan tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk berkumpul dirumahnya. Setelah semua hadir, perempuan itu memberitahukan bahwa ia telah dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka, lalu menunjuk salah satu dari mereka yang pernah menyetubuhinya menjadi bapak dari yang dilahirkannya. Laki-laki yang ditunjuk tidak boleh menolaknya.
3.      Maqthu’, yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia. Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, ia melemparkan kain kepada ibunya, sebagai tanda bahwa ia menginginkannya, sementara ibu tirinya tidak boleh untuk menolaknya. Jika anak tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan menunggu istri atau tidak.
4.      Badal, yaitu tukar menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5.      Shighar, yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang laki-laki tanpa mahar.(Musthafa Sa’id Al-Khinn, 1984:18-19).

 Selain beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim dalam buku Kasf Al-Gumma, menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi pada bangsa Arab sebelum datangnya islam, sebagai berikut:
1.      Bentuk perkawinan yang diberi sanksi oleh islam, yakni seorang meminta kepada orang lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu(mirip kawin kontrak)
2.      Prostitusi, sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para pendatang(tamu) ditenda-tenda dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda memenggil. Jika wanitanya hamil, ia akan memilih diantara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak-bapak dari anak yang dikandung.
3.      Bentuknya semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan waktunya dan syaratnya. Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis berdasarkan syarat yang ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan, perkawinan semacam ini haram hanyaa saja Syi’ah Istna Ashari yang masih menghalalkannya.

Larangan Poliandri
Ayat ke-24 di atas melarang seorang laki-laki menikahi wanita yang telah bersuami. Dengan demikian, ayat itu menutup kemungkinan berlakunya perkawinan poliandri dalam Islam.  Atau, dilihat dari sudut pandang perempuan, ini berarti larangan kawin poliandri atau bersuami lebih dari satu.
            Wanita-wanita Yang Dilarang untuk Didekati
a)    Ada beberapa keadaan dimana seorang wanita tidak boleh dipinang, apalagi dinikahi, yaitu:Wanita yang telah bersuami
Wanita yang telah bersuami tidak boleh dipinang, meskipun dengan syarat akan dinikahi pada waktu dia telah boleh dikawini. Seperti, “Bila kamu dicerai oleh suamimu saya akan mengawini kamu.” Atau dengan bahasa sindiran, “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu.”
b)   Wanita yang sedang menjalani iddah raj‘i
Wanita yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‘i sama keadaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang, baik dengan bahasa terus-terang atau bahasa sindiran. Alasannya bahwa perempuan dalam iddah talak raj‘i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.
c)    Wanita yang dalam iddah karena kematian suaminya
Wanita yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus-terang, namun dibolehkan meminangnya dengan bahasa sindiran.
d)   Wanita yang telah dipinang orang lain
Wanita yang telah dipinang oleh orang lain tidak boleh dipinang. Hal ini dijelaskan oleh Nabi Saw.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ .
.
Pembatalan Nikah Poliandri
Apabila seorang wanita mempraktekkan poliandri, maka Pengadilan Agama dapat membatalkannya. Namun demikian, batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
             Hikmah Larangan Poliandri
Hikmah utama dalam hal ini adalah untuk menjaga kemurnian keturunan dan kepastian hukum seorang anak. Anak yang sejak berada dalam kandungan telah memiliki hak, harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Wallahu a’lam.

 BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Pernikah siri adalah nikah dibawah tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena tidak dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau catatan sipil non muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada yang tidak lengkap secara administrasi.
            Pada dasarnya bentuk perkawinan poligami itu diperbolehkan dalam agama islam, demikian juga Undang – Undang perkawinan di Indonesia juga melegalkannya dengan syarat-syarat dan prosedur yang ada di Indonesia. Poligami juga memiliki sisi negatif yang sering dilontarkan oleh orang – orang yang menentangnya, namun dibalik itu sebenarnya banyak hikmah dari berpoligami yang tidak disadari oleh kebanyakan manusia.
            Sedangkan poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan yang benar-benar di larang oleh agama islam. Karena, jika ada seorang perempuan yang menikah dengan seorang lelaki lebih dari satu orang atau lebih, niscaya dunia akan rusak, keturunan akan terlantarkan, antara satu suami dengan suami yang lainnya akan saling berebut untuk menghindar dari kewajibannya, membunuh, bencana merajalela, dan api peperangan akan terys menyala. Bagaimana mungkin urusan seorang wanita bisa stabil apabila dia dimiliki orang banyak dan bagaimana mungkin mereka (laki-laki) akan bisa bersama satu perempuann ??.5Oleh sebab itu, bentuk pernikahan  poliandri sangat lah ditentang oleh banyak kalangan, begitu juga Allah dan Rosulullah SAW.

 B. Kritik dan Saran
            Banyak sekali orang menentang adanya poligami, namun mereka justru sebenarnya tidak puas dengan satu istri yang akhirnya mereka melakukan perzinahan yang dilarang agama. Tidak perlu menentang poligami, masih banyak perempuan – perempuan malang terlantar. Kalau bisa memenuhi persyaratan-persyaratan dan prosedur poligami baik dalam hukum Negara ataupun Hukum agama, kenapa tidak ??
            Dan sebaik-baik istri yang bisa menjaga rumah tangganya, pastinya dia tidak akan pernah melakukan poliandri dikarenakan suatu alasan tertentu ataupun tidak ada kecocokan dalam mengaruni hidupnya bersama suaminya. Daripada harus melakukan poliandri yang merupakan pernikahan yang sudah jelas-jelas nya Allah dan Rosululloh membencinya . termasuk juga Undang-Undang Negara Indonesia juga melarangnya.

 DAFTAR PUSTAKA

Attahir, Abdul Nasir Taufik. Poligami Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang. Jakarta: Bulan Bintang
Fuad, Isnaeni. Berpoligami Dengan Aman. jombang: Lintas Media
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. 2009. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tihami dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat. 2009. Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada




MAKALAH AGAMA TUNTUNAN AGAMA TERHADAP IBU NIFAS



BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dan lain-lain.
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama 6-8 minggu. Periode nifas merupakan masa kritis bagi ibu, diperkirakan 60 % kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah persalinan  yang mana 50%  dari kematian ibu tersebut terjadi 24 jam pertama setelah persalinan dan ada suatu hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama masa nifas, termasuk beribadah, bersetubuh dengan suami dan lain-lain. Untuk itu perawatan saat masa nifas merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.
Perawatan masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari pengaturan dalam kesehatan, anjuran untuk kebersihan, menghindari hal-hal yang tidak diperbolehkan. Selain perawatan nifas dengan memanfaatkan sistem pelayanan biomedical ada juga ditemukan sejumlah pengethun dan perilaku budaya dalam perawatan masa nifas.

B.                 Rumusan Masalah
1.      Pengertian Nifas
2.      Persetubuhan
3.      Kebersihan Mandi
4.      Ibadah

BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan. Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti rasa sakit, dan lain-lain. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran bayi, maka itu bukan darah nifas.
Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari shalat, puasa dan ibadah lainnya.Perlu kita ketahui bahwa waktu tersingkat janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama hamil.
sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu ,bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula.
Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa. Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.” (Kitab Syarhul Iqna’)
B.  Persetubuhan (Jima’)
1.    Pengertian Jima’ dan Pembagiannya
Jima’ menurut bahasa adalah mengumpulkan bilangan. Seperti ungkapan ungkapan “mengumpulkan” perkara seperti ini, maksudnya telah terkumpul bersamanya. Arti bahasa yang lain adalah persetubuhan atau persenggamaan.
Menurut istilah jima’ adalah memasukkan dzakar (penis) laki-laki ke dalam farji (vagina) perempuan.
Dan bisa dikatakan jima’ walaupun yang masuk hanya kepala dzakar saja, ataupun hanya sentuhan antara kepala dzakar dengan farji. Adapun aktifitas antara seorang suami dan istrinya sebelum memasukkan ini disebut sebagai pendahuluan jima’.
Dikatakan jima’ apabila memasukkannya adalah ke dalam farji (vagina) perempuan. Seandainya penis masuk ke dalam dubur (anus) atau lubang di tubuh yang bukan farji maka ia bukan dinamakan jima’. Bahkan hal itu termasuk penyimpangan yang biasa dikenal sebagai liwath (sodomi).
 Walaupun pengertian bentuk jima’ itu satu, tetapi dari sisi hukum terbagi menjadi beberapa hukum:
a.       Jima’ yang halal
Jima’ yang halal adalah yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah,, atau dilakukan oleh seorang laki-laki dengan amat (budak perempuan)-nya (dikala masih ada amat). Tetapi zaman sekarang sudah tidak ada lagi amat. Jadi bersenggama dengan istri sendiri itu hukumnya halal, bahkan suami istri yang melakukan jima’ mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah SWT. Hal itu dalam rangka menunaikan (memenuhi) syahwatnya. Firman Allah yang menggambarkan keadaan orang mukmin dalam surat al-Mukminun:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Mukminun: 5-7).
Maksud ayat tersebut adalah tidak ada dosa atas seorang mukmin yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya yang ia miliki secara sah. Disinilah kelebihan orang mukmin yang benar-benar mukmin, dimana ia sanggup dan busa menahan syahwat kecuali terhadap istrinya.
b.      Jima’ yang haram
Jima’ yang haram ini adalah yang dilakukan dengan cara zina, yaitu mereka yang melakukannya dengan selain istrinya. Zina adalah termasuk dosa besar, karena Allah SWT sangat membenci orang-orang yang melakukan perbuatan zina. Banyak sekali keterangan-keterangan di dalam Al-Qur’an dan dalam hadist yang menerangkan hukuman keras bagi yang melakukan zina, dimana mereka dihukum cambuk seratus kali, dan ada yang dihukum rajam (dilempari dengan batu), yakni Muhsan (pezina yang sudah mempunyai suamu atau istri) hingga mati.
Jima’ bisa berubah menjadi haram jika yang melakukan jima’ pada saat waktu dan tata cara yang diharamkan oleh agama, maka jima’ yang seharusnya memperoleh pahala berubah menjadi dosa.
·         Jima’ dari belakang
Yang dimaksud jima’ dari belakang adalah bukan jalan yang ditentukan oleh Allah SWT. Melainkan ia menjima’ istri lewat jalan anus, dan ini jelas dilarang oleh agama dan ilmuwan. Dialah jenis orang yang tidak menjaga kehormatan, sebab orang yang melakukan sesuatu diluar yang sudah ditentukan oleh Allah SWT disebut melampaui batas.
·         Mengingat bayangan selain istri
Jika pada saat-saat suami haram melakukan persetubuhan tetapi pada saat halal tersebut suami membayangkan wanita lain selain istrinya ketika jima’ berlangsung, maka jima’ seperti itu haram hukumnya. Sebab dipelupuk hatinya tidak istri sah, akan tetapi wanita lain hasil perselingkuhan.
·         Homosex atau lesbian
Perilaku homosex untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan, dimana arti homosex ialah hubungan sex laki-laki dengan laki-laki. Sedangkan lesbian ialah hubungan sex perempuan dengan perempuan.
Libido sexual seperti ini jelas-jelas hukumnya haram. Sebenarnya mereka menyadari tentang diri yang tidak mampu dan puas bila berhubungan dengan lawan jenisnya. Ini tingkat yang sudah tinggi sekali. Yang jelas mereka telah melakukan penyimpangan sexual yang diharamkan Allah SWT.
·         Sunnat
Kebiasaan jima’ sunnat dalam senggama atau jima’ ialah mencakup seluruh tata karma jima’ yang nanti dibahas secara khusus mengenai praktek jima’ yang akhlaki. Semua membahas kesunnatan-kesunnatan dalam jima’, misal: (1) pakai wangi-wangian, (2) pada tempat yang remang-remang, (3) menahan tidak melakukan jima’ bilamana istri menstruasi atau nifas sampai mereka suci, (4) membersihkan bekas-bekas noda jima’ bilamana ingin mulai kembali, (5) mencukur bulu-bulu sekitarnya, (6) yang penting ialah doa yang nanti akan dijabarluaskan pada babnya sendiri.
Pendahuluan Jima’
Agar aktifitas bersenggama itu benar-benar siap bagi pasangan suami istri, maka perlu diperhatikan hal-hal seperti, pendahuluan dan persiapan (pemanasan) untuk bersenggama terlebih dahulu, dan saling membantu untuk mendapatkan kenikmatan yang puncak bagi pasangannya. Sebab pemanasan dalam jima’ itu bisa menjadi tolak ukur kebahagiaan suami istri.
Ada beberapa cara untuk pemanasan dan menimbulkan gairah dalam berkumpul antara suami istri. Diantara yang terpenting adalah:
a.       Bersolek dan memakai wangi-wangian
b.      Membuka pakaian
c.       Bercumbu rayu
1.  Ciuman. Maksudnya adalah saling berciuman antara suami istri, paling bagus adalah beradu bibir dan diperbolehkan menghisap bibir.
2.  Meraba dua buah dada. Maksudnya suami memainkan dua buah dada istrinya, menciuminya dan menyusunya. Saling bercumbu pada anggota tubuh pasangan bisa dilakukan dengan sentuhan anggota tangan, kaki dan anggota tubuh lainnya.
3.    Berpelukan. Ini adalah tahapan suami istri saling menempelkan kulitnya masing-masing dengan cara saling memeluk dan merangkul sehingga akan menambah kenikmatan.

Etika Jima’
Adapun beberapa etika jima’ yang terpenting adalah sebagai berikut:
a.       Membaca basmalah dan doa sebelum jima’
b.      Melakukan pendahuluan (pemanasan) jima’
c.       Dengan cara yang lembut dan suami tidak tergesa-gesa
d.      Hanya berduaan saja
e.       Lepaskanlah semua pakaian yang menutupi suami dan istri

Tata Cara Jima’
Yang dimaksud dengan tata cara jima’ yaitu bagaimana seorang suami menggauli istrinya.
a.       Niat yang saleh
b.      Berdoalah sebelum engkau memasukkan
c.       Pertama-tama mengusap-usapkan ujung sama ujung
d.      Jangan di-Azl
e.       Melanggengkan dalam faraj sampai istri orgasme
 C.   Kebersihan Mandi
Setelah selesai nifas seorang wanita diwajibkan untuk mandi wajib untuk menghilangkan hadast besar (darah nifas) tersebut dengan cara membasuh seluruh tubuh mulai dari puncak kepala hingga ujung kaki.
1)      Fardhu Mandi
1.      Niat : bersama-sama dengan mula-mula membasuh tubuh.
Lafadzh niat :
ﻧﻮ ﻴﺖ ﺍﻠﻐﺳﻞ ﻠﺮ ﻔﻊ ﺍﻠﺤﺪ ﺚ ﺍﻻ ﻜﺑﺮ ﻔﺮﻀﺎ ﷲ ﺘﻌﺎﻠﻰ
“Aku niat mandi wajib untuk menghilangkan hadast besar fardhu karena Allah.”
2.      Membasuh seluruh badannya dengan air, yakni meratakan air ke semua rambut dan kulit.
3.      Menghilangkan najis.

2)      Sunnat Mandi :
1.      Mendahulukan membasuh segala kotoran dan najis dari seluruh tubuh.
2.      Membaca basmallah pada permulaan mandi.
3.      Menghadap kiblat sewaktu mandi dan mendahulukan bagian kanan daripada kiri.
4.      Membasuh badan samapai tiga kali.
5.       Membaca doa sebagaimana membaca doa sesudah berwudhu.
6.      Mendahulukan mengambil air wudhu yakni sebelum mandi disunnatkan berwudhu terlebih dahulu.
 D.  Ibadah
Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla)
Shalat sebagaimana yang kita ketahui, sahnya juga suci dari hadast besar. Cara menghilangkan hadast besar tersebut yaitu dengan cara mandi wajib.

Ibadah (عبادة) secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain :
1.       Ibadah ialah taat kepada Allah  dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya (yang digariskan) melalui lisan para Rasul-Nya,
2.             Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,
3.             Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, Allah  berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah  memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
Makna Ibadah Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah :
Ibadah adalah segala sesuatu yang mencakup semua hal yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala, baik berupa ucapan dan amalan, yang nampak dan yang tersembunyi.
Maka shalat, zakat, puasa, hajji, berkata benar, menyampaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, silaturrahim, menepati janji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad menghadapi orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak, hewan piaran, berdoa, berzikir, membaca al Quran, dan yang semisalnya termasuk ibadah.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran anak. Hukum yang berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid, baik mengenai hal-hal yang diperbolehkan, diharamkan, diwajibkan maupun di hapuskan. Karena nifas adalah darah haid yang tertahan karena proses kehamilan. Takaran maksimal bagi keluar darah nifas ini adalah 40 hari.
Seorang suami diharamkan untuk menyetubuhi istrinya selama dia masih nifas. Apabila darah nifas seorang wanita telah terhenti maka dia wajib mandi, sesuai dengan kesepakatan ulama umat ini sehingga wanita itu menjadi suci dari nifasnya, setelah itu suami diperbolehkan untuk menyetubuhinya.
Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah sebelum ia melakukan mandi wajib.

B.   Saran
Untuk dosen mata kuliah agama Islam diharapkan dapat memberikan bimbingan untuk tiap tenaga medis tentang cara islami menghadapi ibu yang mengalami nifas.
DAFTAR PUSTAKA

·         Kaderisasi UKKI Unsoed 2002. Silabus Materi PPAI Unsoed 2002
·         Forum Pendamping PAI MIPA 2002. Silabus Materi PAI MIPA 2002
·         Dr. Yusuf Qardhawi, Konsep Ibadah Dalam Islam
Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyah