MAKALAH AGAMA NIKAH SIRIH,POLIGAMI,POLIYANDRI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri,Poligami,Poliandri meningkat berlalunya waktu. Terutama pasca
beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan
audiovisual) tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat
pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses
adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi
namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat
dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu
sendiri.
Poligami
atau pernikahan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti
oleh setiap wanita. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi peraturan secara ketat
akan menimbulkan hal-hal negatif dalam menegakkan rumah
tangga. Biasanya hubungan dengan
istri muda menjadi tegang, anak-anak yang berlainan ibu menjurus pada
pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Hal ini bisa terjadi jika
sang ayah meninggal dunia.
Agar hal
ini tidak terjadi, maka Undang-Undang membatasi secara ketat dengan alasan
–alasan dan syarat-yarat tertentu. Undang-Undang perkawinan memberikan suatu harapan bahwa perkawinan
yang dilaksanakan itu betul-betul bermanfaat bagi mereka yang melaksanakannya,
dan tidak ada yang merugikan ataupun yang dirugikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Nikah Sirih
2.
Poligami
3.
Poliandri
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nikah Sirih
Nikah siri, yaitu
pernikahan yang dilakukan oleh wali pihak perempuan dengan seorang laki-laki
dan disaksikan oleh dua orang saksi, tetapi tidak dilaporkan atau tidak
dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Istilah nikah siri atau nikah yang dirahasiakan memang
sudah dikenal di kalangan para ulama. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada
masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada saat ini. Dahulu yang
dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan sesuai dengan rukun-rukun
perkawinan dan syaratnya menurut syari’at, hanya saja saksi diminta tidak
memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada
masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada walimatul-’ursy. Adapun nikah siri
yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sekarang ini adalah pernikahan yang
dilakukan oleh wali atau wakil wali dan disaksikan oleh para saksi, tetapi
tidak dilakukan di hadapan Petugas Pencatat Nikah sebagai aparat resmi
pemerintah atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama
Islam atau di Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam.
Pernikahan siri sering diartikan
oleh masyarakat umum dengan :
1. Pernikahan
tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri)
dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah
pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat
belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat;
2.
pernikahan
yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan
negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena
faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang
disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri
nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
3.
pernikahan
yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena
takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri, atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa
seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Pandangan
presfektif hukum , baik hukum islam maupun
hukum positif indonesia.
Dalam pandangan agama diperbolehkan sepanjang hal-hal yg
menjadi rukun terpenuhi. Namun perbedaan adalah Anda tak mempunyai bukti
otentik bila telah menikah atau dgn kata lain tak mempunyai surat sah sebagai
seorang warga negara yg mempunyai kedudukan yg kuat di dalam hukum.Namun perlu
dipikirkan dgn sungguh-sungguh dan tak tergesa-gesa bila Anda memang ingin
melakukan nikah siri. Tidak ada salah Anda berjuang dahulu semaksimal mungkin
utk memberikan pengertian kepada keluarga agar Anda dapat menikah secara
formal.
Walaupun
diperbolehkan oleh agama namun banyak kekurangan dan kelemahan menikah
siri antara lain bagi pihak wanita akan sulit bila suatu saat mempunyai
persoalan dgn sang suami sehingga harus berpisah misal sedangkan anda tak
mempunyai kuat secara hukum. Di samping itu bagi anak-anak kita kelak yg nanti
memerlukan kartu identitas dan surat-surat keterangan lain akan mengalami
kesulitan bila orang tua tak mempunyai surat-surat resminya.
Oleh
karena jangan jadikan nikah sirri‘ hanya sebagai jalan pintas utk keluar
dgn mudah dalam mengatasi persoalan. Tetapi coba dulu utk berjuang dan melakukan
sebagaimana umumnya.
Nikah Siri Menurut Hukum
Negara
RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil
oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi
atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi
ditengah-tengah masyarakat.
Pasal 143 Rancangan Undang-Undang
Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam
ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan
tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman
bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6
juta hingga Rp 12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah
atau kawin kontrak.
Pasal 144 Rancangan Undang-Undang
Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan
perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal
karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang
berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang
berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri
melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Adapun
fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut
ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;
sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni
(1) hukum pernikahannya, dan
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga
pencatatan negara
Dari
aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak
dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan
berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut
terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang
wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia
telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah
ditetapkan oleh syariat.
Begitu
pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum
sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah
melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di
akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada
orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan
perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang
baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut:
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang
tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai
tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di
dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun
pernikahan yang digariskan oleh Allah SWT. Adapun rukun-rukun pernikahan
adalah sebagai berikut;
(1) wali,
(2) dua orang saksi, dan
(3) ijab qabul.
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan
seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam
pencatatan sipil.
pandangan Islam tentang Nikah Siri
Siri secara etimologi berarti sesuatu yang tersembunyi,
rahasia, pelan-pelan. ( Ibnu al Mandhur, Lisan al Arab : 4/ 356 )
Kadang Siri juga diartikan zina atau melakukan hubungan
seksual, sebagaimana dalam firman Allah swt :
وَلَـكِن لاَّ تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا
“ Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian untuk berzina (
atau melakukan hubungan seksual ) dengan mereka “ ( Qs Al Baqarah : 235 )
Sirran pada ayat di atas menurut pendapat sebagian
ulama berarti : berzina atau lakukan hubungan seksual. Pendapat ini dipilih
Jabir bin Zaid, Hasan Bashri, Qatadah, AnNakh’i, Ad Dhohak, Imam Syafi’i dan
Imam Thobari. ( Tafsir al Qurtubi : 3/126 ) . Pendapat ini dikuatkan
dengan salah satu syi’ir yang disebutkan oleh Imru al Qais :
ألا زعمت بسباسة اليوم
أنني كبرت و لا أحسن السر أمثالى
“ Basbasah hari ini mengklaim bahwa aku sudah tua dan orang
sepertiku ini tidak bisa lagi melakukan hubungan seksual dengan baik. “
Nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai
tiga pengertian :
Pengertian Pertama : Nikah Siri adalah pernikahan yang
dilakukan secara sembunyi –sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah
pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al Umm
5/ 23,
أخبرنا مَالِكٌ عن أبي الزُّبَيْرِ
قال أتى عُمَرُ بِنِكَاحٍ لم يَشْهَدْ عليه إلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ فقال هذا
نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْت تَقَدَّمْت فيه لَرَجَمْت
“ Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar
dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan
seorang perempuan, maka beliau berkata : “ Ini adalah nikah sirri, dan saya
tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (
pelakunya ) “
Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :
أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن
نكاح السر
“ Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri “ ( HR at
Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang
belum pernah disinggung oleh para ulama, adapaun rawi-raiwi lainnya semuanya
tsiqat ( terpecaya ) (Ibnu Haitami, Majma’ az-Zawaid wal Manbau al Fawaid ( 4/
62 ) hadist 8057 )
Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak
sah.
Pengertian Kedua : Nikah Siri adalah pernikahan yang
dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khayalak ramai.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini
:
Pendapat Pertama : menyatakan bahwa nikah seperti ini
hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya adalah Umar
bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam
Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/
434-435 ) . Dalilnya adalah hadist Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw
bersabda:
لا نِكاحَ إلا بوَلِيّ وشاهِدَيّ عَدْل
“ Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua
saksi yang adil “ ( HR Daruqutni dan al Baihaqi ) Hadits ini dishohihkan
oleh Ibnu Hazm di dalam ( al-Muhalla : 9/465)
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah
dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi
diumumkan kepada khayalak ramai.
Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah
sebuah akad mu’awadhah ( akad timbal balik yang saling menguntungkan ), maka
tidak ada syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan
tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga tidak
mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.
Adapun perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam
beberapa hadist menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat Kedua : menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya
tidak sah. Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab
Hanabilah ( Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh
al-Mumti’ ’ala Zaad al Mustamti’, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/
95 ) . Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan
istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib
ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan
hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang
sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. ( Al
Qarrafi, Ad Dzakhirah, tahqiq : DR. Muhammad al Hajji, Beirut, Dar al
Gharb al Islami, 1994, cet : pertama : 4/ 401) Mereka berdalil dengan apa
yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
فَصْل بَيْنَ الحلالِ والحرامِ الدفُّ
والصوت
“Pembeda antara yang halal ( pernikahan ) dan
yang haram ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara “ ( HR an
Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain )
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
أعلنوا النكاح، واجعلوه في المساجد،
واضرِبُوا عليه بالدُّفِّ
“ Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana
untuk mengumumkannya." ( HR Tirmidzi, Ibnu Majah ) Imam Tirmidzi
berkata : Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini.
Pengertian Ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA .
Kenapa sebagian masyarakat melakukan pernikahan dalam bentuk
ini ? Apa yang mendorong mereka untuk tidak mencatatkan pernikahan mereka ke
lembaga pencatatan resmi ? Ada beberapa alasan yang bisa diungkap di
sini, diantaranya adalah :
a. Faktor biaya, yaitu sebagian
masyarakat khususnya yang ekonomi mereka menengah ke bawah merasa tidak mampu
membayar administrasi pencatatan yang kadang membengkak dua kali lipat dari
biaya resmi.
b. Faktor tempat kerja atau sekolah,
yaitu aturan tempat kerjanya atau kantornya atau sekolahnya tidak membolehkan
menikah selama dia bekerja atau menikah lebih dari satu istri.
c. Faktor sosial, yaitu masyarakat
sudah terlanjur memberikan stigma negatif kepada setiap yang menikah lebih dari
satu, maka untuk menghindari stigma negatife tersebut, seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya kepada lembaga resmi.
d. Faktor – faktor lain yang memaksa
seseorang untuk tidak mencatatkan pernikahannya.
Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga ini
Pertama : Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam
katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena
syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.
Kedua : Menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan
merujuk pada RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan
sangsi hukum.
Pertanyaannya adalah kenapa Negara memberikan sangsi kepada
para pelaku nikah siri dalam katagori ketiga ini ? Apakah syarat sah pernikahan
harus dicatatkan kepada lembaga pencatatan ? Bagaimana status lembaga
pencatatan pernikahan dalam kaca mata Syari’at ?
Kalau kita menengok sejarah Islam pada masa lalu, ternyata
tidak ditemukan riwayat bahwa pemerintahan Islam memberikan sangsi kepada
orang yang menikah dan belum melaporkan kepada Negara. Hal itu, mungkin saja
belum ada lembaga pemerintahan yang secara khusus menangani pencatatan masalah
pernikahan, karena dianggap belum diperlukan. Dan memang pernikahan bukanlah
urusan Negara tetapi merupakan hak setiap individu, serta merupakan sunah
Rasulullah saw.
Namun, beriring dengan perkembangan zaman dan permasalahan
masyarakat semakin komplek, maka diperlukan penertiban-penertiban terhadap
hubungan antar individu di dalam masyarakat. Maka, secara umum Negara berhak
membuat aturan-aturan yang mengarah kepada maslahat umum, dan Negara berhak
memberikan sangsi kepada orang-orang yang melanggarnya. Hal itu sesuai dengan
kaidah fiqhiyah yang berbunyi :
تصرف الراعي منوط بمصلحة الرعية
“ Kebijaksanaan pemimpin harus mengarah kepada maslahat
masyarakat “ ( As Suyuti, al Asybah wa An-Nadhair, Bierut, Dar al Kutub al
Ilmiyah, 1993, Cet. Pertama, hlm : 121 )
Maka, dalam ini, pada dasarnya Negara berhak untuk membuat
peraturan agar setiap orang yang menikah, segera melaporkan kepada lembaga
pencatatan pernikahan. Hal itu dimaksudkan agar setiap pernikahan yang
dilangsungkan antara kedua mempelai mempunyai kekuatan hukum, sehingga
diharapkan bisa meminimalisir adanya kejahatan, penipuan atau kekerasan di
dalam rumah tangga, yang biasanya wanita dan anak-anak menjadi korban utamanya.
Oleh karenanya, jika memang tujuan pencatatan pernikahan
adalah untuk melindungi hak-hak kaum wanita dan anak-anak serta untuk
kemaslahatan kaum muslimin secara umum, maka mestinya Negara tidak mempersulit
proses pencatatan pernikahan tersebut, diantaranya adalah mengambil
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Memberikan keringanan biaya bagi
masyarakat yang tidak mampu, bukan malah memintah bayaran lebih, dengan dalih
bekerja di luar jam kantor.
b. Membuka pelayanan pada hari-hari
dimana banyak diselenggarakan acara pernikahan.
c. Tidak mempersulit orang-orang yang
hendak menikah lebih dari satu, selama mereka bertanggung jawab terhadap anak
dan istri mereka.
Tetapi jika ada tujuan – tujuan lain yang tersembunyi
dan tidak diungkap, maka tentunya peraturan tersebut harus diwaspadai,
khususnya jika terdapat indikasi-indikasi yang mengarah kepada pelarangan orang
yang ingin menikah lebih dari satu, padahal dia mampu dan sanggup berbuat adil,
jika keadaannya demikian, maka rancangan undang-undang tersebut telah merambah
kepada hal-hal yang bukan wewenangnya, dan melarang sesuatu yang halal, serta
telah mengumumkan perang tehadap ajaran Islam, dan secara tidak langsung
memberikan jalan bagi perzinahan dan prostitusi yang semakin hari semakin marak
di negri Indonesia ini. Wallahu A’lam.
Landasan
Terkait Catatan Pernikahan.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada
lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang
lain. Sebab, bukti yang dianggap sah adalah dokumen resmi yang dikeluarkan
oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,
tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan
sebagai alat bukti di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang
berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Kedua, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya;
maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan
sanksi mukhalafat kepada pelakunya.
Dampak yang di timbulkan akibat nikah siri
Nikah siri, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh wali
pihak perempuan dengan seorang laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi,
tetapi tidak dilaporkan atau tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut situs LBH Apik, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan. Risiko yang ditanggung, jika menikah siri:
Menurut situs LBH Apik, secara agama, perkawinan tersebut sah, namun secara hukum, perkawinan ini tidak diakui resmi oleh negara. Dengan demikian, hak Anda sebagai istri lemah secara hukum, apalagi jika status calon suami yang masih terikat perkawinan. Risiko yang ditanggung, jika menikah siri:
1.
Anda
bisa kehilangan atau tidak dapat sepenuhnya hak-hak yang seharusnya bila jadi
istri sah secara hukum, seperti hak nafkah lahir dan batin, hak nafkah dan
penghidupan untuk anak Anda kelak.
2.
Seandainya terjadi perpisahan, Anda tidak
berhak atas tunjangan nafkah sebagai mantan istri dan harta gono gini.
3.
Seandainya pasangan meninggal dunia, Anda
tidak berhak mendapatkan warisan, begitu juga anak Anda. Karena, anak yang
dilahirkan dari pernikahan siri hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.
4.
Anda pun dapat dikenakan pidana. Istri sah
dari kekasih Anda bisa saja melaporkan Anda dan suaminya (kekasih Anda) telah
melakukan tindak pidana kejahatan dalam perkawinan (pasal 279 (1) KUHP) atau
tindak pidana perzinaan (pasal 284 ayat (1) KUHP).
Dampak
positif :
1. Meminimalisasi
adanya sex bebas, serta berkembangnya penyakit AIDS, HIV maupun penyakit kelamin yang lain.
2. Mengurangi Beban atau Tanggung jawab seorang wanita
yang menjadi tulang punggung keluarganya.
Dampak
Negatif :
1.
Berselingkuh merupakan hal yang wajar
2.
Akan ada banyak kasus Poligami yang akan
terjadi.
3.
Tidak adanya kejelasan status isteri dan anak
baik di mata Hukum Indonesia.maupun di mata masyarakat sekitar.
4.
Pelecehan sexual terhadap kaum hawa karena
dianggap sebagai Pelampiasan Nafsu sesaat bagi kaum Laki-laki.
maka
dengan demikian jika dilihat dari dampak – dampak yang ada, semakin terlihat
bahwasannya nikah siri lebih banyak membawa dampak negatif di banding dampak
positifnya. Serta Akibat hukum dari nikah siri itu sendiri :
1.
Sebagai seorang istri kita tidak dapat
menuntut suami untuk memberikan nafkah baik
lahir maupun batin.
2.
Untuk hubungan keperdataan maupun tanggung
jawab sebagai seorang suami sekaligus ayah terhadap anakpun tidak ada. “seperti
nasib anak hasil dari pernikahan yang dianggap nikah siri itu, akan
terkatung-katung.Tidak bisa sekolah karena tidak punya akta kelahiran.
Sedangkan, semua sekolah saat ini mensyaratkan akta kelahiran,”
3. Dalam hal pewarisan, anak-anak yang lahir
dari pernikahan siri maupun isteri yang dinikahi secara siri, akan sulit untuk
menuntut haknya, karena tidak ada bukti yang menunjang tentang adanya hubungan
hukum antara anak tersebut dengan bapaknya atau antara isteri siri dengan
suaminya tersebut.
B. POLIGAMI
Pengertian
Poligami
Secara etimologi poligami berasal dari bahasa yunani,
yaitu polus artinya banyak dan gamos artinya perkawinan. artinya
perkawinan yang banyak atau lebih dari satu.
Menurut bahasa Indonesia artinya system perkawinan yang
salah satu pihak memiliki/ mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang
bersamaan. Para ahli membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempinyai
lebih dari seorang istri dengan istilah poligini (gune artinya perempuan). jadi
kata yang tepat untuk menyebut laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu
disebut poligini bukan poligami.
Dalil-Dalil
Firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 4
وإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي
الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُم ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil[2], maka (kawinilah) seorang saja[3], atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
وَقَالَ وَهْبٌ الأَسَدِيِّ قَالَ أَسْلَمْتُ
وَعِنْدِي ثَمَانِ نِسْوَةٌ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ للنبي صلى الله وسلم اخْتَرْ
مِنْهُنَّ أَرْبَعًاً
“
Wahb al-Asadi berkata “aku masuk islam dan memiliki delapan orang istri, maka
aku katakana hal itu pada Nabi Saw, lalu nabi bersabda “pilihlah empat di
antara mereka” (H.R Abu Daud).
Poligami Dalam
Islam
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang
terbatas dan tidak mengharuskan ummatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan
pengertian seorang laki-laki yang boleh beristri seorang wanita dalam keadaan
dan situasi apapun.
Poligami dalam islam dibatasi dengan syarat tertentu,
baik jumlah maupun persyaratan yang lain.
1. Jumlah
istri yang boleh dipoligami paling banyak empat orang wanita. Seandainya salah
satu di antaranya ada yang meninggal atau diceraikan , suami dapat mencari
ganti yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi empat orang pada waktu yang
bersamaan.
2. Laki-laki
itu dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya, yang menyangkut
masalah-masalah lahiriah seperti pembagian waktu jika pembagian nafkah, dan
hal-hal yang menyangkut masalah lahir.
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا
نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا
صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ
وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً
”Dan
jika seorang wanita khawatir akan nusyuz[6]
atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya[7],
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir[8].
Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari
nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”[9]
تُرْجِي مَن تَشَاء مِنْهُنَّ وَتُؤْوِي
إِلَيْكَ مَن تَشَاء وَمَنِ ابْتَغَيْتَ مِمَّنْ عَزَلْتَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكَ
ذَلِكَ أَدْنَى أَن تَقَرَّ أَعْيُنُهُنَّ وَلَا يَحْزَنَّ وَيَرْضَيْنَ بِمَا
آتَيْتَهُنَّ كُلُّهُنَّ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَكَانَ اللَّهُ
عَلِيماً حَلِيماً
“Kamu
boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka
(isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan
siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang
telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih
dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya
rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa
yang (tersimpan) dalam hatimu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun.
Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan
poligamin sebagai alternative ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran
kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan
batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinahan maupun pelajaran yang
jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah
menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang islam
dengan mencari jalan yang halal dengan syarat bisa berlaku adil.
Firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 4
وإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى
فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم
ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا
“ Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S Annisa: 3)
Asbabun nuzul ayat di atas adalah menurut tafsir Aisyah r.a. ayat ini turun
karena menjawab pertanyaan Urwah Bin Zubair kepada Aisyah istri nabi tentang ayat
ini. lalu beliau menjawabnya, “Wahai anak saudara perempuanku,yatim di sini
maksudnya adalah anak yatim yang berada dibawah asuhan walinya mempunyai harta
kekayaan yang bercampur dengan harta kekayaannya serta kecantikannya yang
membuat anak itu suka diasuh olehnya, lalu dia ingin menjadikannya istri,
tetapi tidak mau memberi maskawin dengan adil,yaitu memberi maskawin yang sama
dengan yang diberikan kepada wanita lain. Karena itu, pengasuh anak yatim
seperti ini dilarang menikahi mereka kecuali kalau mau berlaku adil kepada
mereka dan memeberikan maskawin lebih tinggi dari biasanya.
Maksud ayat tersebut adalah jika seorang laki-laki merasa
yakin tidak dapat berbuat adil kepada anak perempuan yatim maka carilah
perempuan yang lain.
Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil
dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain.
Dampak apabila poligami tidak diperbolehkan
1. Kejahatan
dan pelacuran terjadi dimana-mana
2. Banyak
anak yang lahir diluar nikah
3. Munculnya
berbagai macam penyakit badan, kegoncangan mental, dan gangguan syaraf.
4. Mengakibatkan
keruntuhan mental
5. Merusak
hubungan sehat antara suami dan istri
6. Merusak
keturunan
Prosedur
Poligami
Mengenai tata cara atau prosedur poligami yang sah diatur
oleh islam memang tidak diatur secara pasti namun di Indonesia diatur dalam
kompilasi agama islam sebagai berikut:
a.
Suami yang hendak beristri lebih dari satu
harus mendapat izin dari pengadilan agama,
b.
Poligami yang tidak mendapat izin tidak
mempunyai kekuatan hukum
Pengadilan
agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari
seorang apabila:
a. Istri
tidak menjalankan kewajibanya sebagai seorang istri
b. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan
Disamping syarat-syarat di atas, maka untuk memperoleh
izin dari PA harus memenuhi syarat-syarta
sebagai berikut
a. Adanya
persetujuan istri
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperlusn istri-istri dan anak-anaknya.
Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari
seorang, maka si suami wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah
tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat UU Perkawinan). Dalam Pasal 4 ayat (2) UU
Perkawinan dijelaskan lebih lanjut bahwa Pengadilan
hanya akan memberikan izin kepada si suami untuk beristeri lebih dari satu jika:
a. Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c. isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Selain
hal-hal di atas, si suami dalam mengajukan permohonan untuk beristeri lebih
dari satu orang, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Pasal 5 ayat UU
Perkawinan):
a. Adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka
c. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
Persetujuan isteri/isteri-isterinya tidak diperlukan jika
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan (Pasal 5 ayat [2] UU
Perkawinan).
Sebab-Sebab Poligami
Sebab-sebab
khusus terjadinya poligami
a. Kelemahan
istri, misalnya mandul dll
b. Suami
jatuh cinta kepada orang lain
c. Suami
benci kepada istrinya
d. Istri
yang telah diceraikan ingin kembali
e. Hubungan
kekeluargaan
Sebab
umumnya adalah banyak wanita yang belum menikah, janda dan yang diceraikan.
Yang Diharamkan Dalam Berpoligami
a. Berpoligami
dengan kedok mut’ah
b. Berpoligami
dengan bibik istri
c. Berpoligami
dengan saudara kandung istri
d. Berpoligami
dengan istri kelima
e. Tidak
selayaknya istri menyuruh suami menceraikan madunya
C. POLIANDRI
Poliandri yaitu sistem perkawinan yang
membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang di waktu yang
bersamaan. Islam
melarang tegas bentuk perkawinan poliandri. 2 ALLAH SWT berfirman “ Dan
diharamkan juga kamu (para laki-laki) mengawini wanita-wanita yang bersuami
.....................” (QS. An-Nisa’, 24). 3 Sementara dalam
undang-umdang nomor 1 tahun 1974 , terdapat pula larangan poliandri yang
tercantum dalam pasal 3 ayat 1yang menentukan bahwa pada asasnya seorang wanita
harus hanya boleh memiliki seorang suami. Larangan ini bersifat mutlak mutlak,
karena tidak ada alasan –alasan lain yang ditentukan dalam undang-undang
perkawinan ini yang memboleh kan poliandri. 4
Sejauh
ini penulis baru menemukan satu ayat al-Qur’an yang secara tegas melarang
poliandri.
Surat
An-Nisa’ Ayat 24
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء إِلاَّ مَا
مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا
وَرَاء ذَلِكُمْ أَن تَبْتَغُواْ بِأَمْوَالِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا
اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلاَ جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُم بِهِ مِن
بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا.
Sabab
al-Nuzul
عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي
الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ
أَصَابُوا سَبْيًا يَوْمَ أَوْطَاسَ لَهُنَّ أَزْوَاجٌ فَتَخَوَّفُوا فَأُنْزِلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ
: وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ يَوْمَ حُنَيْنٍ بَعْثًا إِلَى أَوْطَاسَ فَلَقُوا عَدُوَّهُمْ فَقَاتَلُوهُمْ فَظَهَرُوا عَلَيْهِمْ وَأَصَابُوا لَهُمْ سَبَايَا فَكَأَنَّ أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَرَّجُوا مِنْ غِشْيَانِهِنَّ مِنْ أَجْلِ أَزْوَاجِهِنَّ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ أَيْ فَهُنَّ لَهُمْ حَلَالٌ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهُنَّ
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ يَوْمَ حُنَيْنٍ بَعْثًا إِلَى أَوْطَاسَ فَلَقُوا عَدُوَّهُمْ فَقَاتَلُوهُمْ فَظَهَرُوا عَلَيْهِمْ وَأَصَابُوا لَهُمْ سَبَايَا فَكَأَنَّ أُنَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحَرَّجُوا مِنْ غِشْيَانِهِنَّ مِنْ أَجْلِ أَزْوَاجِهِنَّ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى فِي ذَلِكَ { وَالْمُحْصَنَاتُ مِنْ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ أَيْ فَهُنَّ لَهُمْ حَلَالٌ إِذَا انْقَضَتْ عِدَّتُهُنَّ
Sabab
nuzul di atas menegaskan dilarangnya menikahi wanita yang telah bersuami.
Larangan itu memperoleh pengecualian bagi wanita yang menjadi budak. Namun
demikian, menikahi wanita budak yang telah bersuami itu diperbolehkan setelah
berlalunya masa iddah. Dari sini bisa dipahami bahwa wanita, baik ia sebagai wanita
merdeka maupun sebagai budak, tidak diperkenankan memiliki suami lebih dari
satu orang, atau yang disebut dengan poliandri.
Dalam
bidang hukum Musthafa Sa’id Al-Khinn sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarak
menyebutkan bahwa bangsa arab pra islam menjadikan adab sebagai hokum dengan
berbagai bentuknya. Mereka mengenal beberapa macam perkawinan. Diantaranya:
1. Istibda’
yaitu seorang suami meminta kepada istrinya untuk berjima’ dengan laki-laki
lainyang dipandang mulia atau memiliki kelebihan tertentu, seperti keberanian
dan kecerdasan. Selama istri “ bergaul” dengan laki-laki tersebut, suami
menahan diri dengan tidak berjima’ dengan istrinya sebelum terbukti bahwa
istrinya hamil. Tujuan perkawinan seperti ini adalah agar istri melahirkan anak
yang memiliki sifat yang dimiliki laki-laki yang menyetubuhinya, yang tidak
dimiliki oleh suaminya.
2. Poliandri
, yaitu beberapa laki-laki berjima’ dengan seorang perempuan. Setelah
hamil melahirkan anak, perempuan
tersebut memanggil semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya untuk berkumpul
dirumahnya. Setelah semua hadir, perempuan itu memberitahukan bahwa ia telah
dikaruniai anak hasil hubungan dengan mereka, lalu menunjuk salah satu dari
mereka yang pernah menyetubuhinya menjadi bapak dari yang dilahirkannya. Laki-laki
yang ditunjuk tidak boleh menolaknya.
3. Maqthu’,
yaitu seorang laki-laki menikahi ibu tirinya setelah bapaknya meninggal dunia.
Jika seorang anak ingin mengawini ibu tirinya, ia melemparkan kain kepada
ibunya, sebagai tanda bahwa ia menginginkannya, sementara ibu tirinya tidak
boleh untuk menolaknya. Jika anak tersebut masih kecil, ibu tiri diharuskan
menunggu istri atau tidak.
4. Badal,
yaitu tukar menukar istri tanpa bercerai terlebih dahulu dengan tujuan
memuaskan hubungan seks dan terhindar dari rasa bosan.
5. Shighar,
yaitu seorang wali menikahkan anak atau saudara perempuannya kepada seorang
laki-laki tanpa mahar.(Musthafa Sa’id Al-Khinn, 1984:18-19).
Selain
beberapa tipe perkawinan di atas, Fyzee yang mengutip pendapat Abdur Rahim
dalam buku Kasf Al-Gumma, menjelaskan beberapa perkawinan lain yang terjadi
pada bangsa Arab sebelum datangnya islam, sebagai berikut:
1.
Bentuk
perkawinan yang diberi sanksi oleh islam, yakni seorang meminta kepada orang
lain untuk menikahi saudara perempuan atau budak dengan bayaran tertentu(mirip
kawin kontrak)
2.
Prostitusi,
sudah dikenal. Biasanya dilakukan kepada para pendatang(tamu) ditenda-tenda
dengan cara mengibarkan bendera sebagai tanda memenggil. Jika wanitanya hamil,
ia akan memilih diantara laki-laki yang mengencaninya sebagai bapak-bapak dari
anak yang dikandung.
3.
Bentuknya
semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan waktunya dan syaratnya.
Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis berdasarkan syarat yang
ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan, perkawinan semacam ini haram
hanyaa saja Syi’ah Istna Ashari yang masih menghalalkannya.
Larangan
Poliandri
Ayat
ke-24 di atas melarang seorang laki-laki menikahi wanita yang telah bersuami.
Dengan demikian, ayat itu menutup kemungkinan berlakunya perkawinan poliandri
dalam Islam. Atau, dilihat dari sudut pandang perempuan, ini berarti
larangan kawin poliandri atau bersuami lebih dari satu.
Wanita-wanita
Yang Dilarang untuk Didekati
a) Ada
beberapa keadaan dimana seorang wanita tidak boleh dipinang, apalagi dinikahi,
yaitu:Wanita yang telah bersuami
Wanita
yang telah bersuami tidak boleh dipinang, meskipun dengan syarat akan dinikahi
pada waktu dia telah boleh dikawini. Seperti, “Bila kamu dicerai oleh suamimu
saya akan mengawini kamu.” Atau dengan bahasa sindiran, “Jangan khawatir
dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu.”
b) Wanita
yang sedang menjalani iddah raj‘i
Wanita yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‘i sama keadaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang, baik dengan bahasa terus-terang atau bahasa sindiran. Alasannya bahwa perempuan dalam iddah talak raj‘i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.
Wanita yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj‘i sama keadaannya dengan perempuan yang sedang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang, baik dengan bahasa terus-terang atau bahasa sindiran. Alasannya bahwa perempuan dalam iddah talak raj‘i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan.
c) Wanita
yang dalam iddah karena kematian suaminya
Wanita yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus-terang, namun dibolehkan meminangnya dengan bahasa sindiran.
Wanita yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus-terang, namun dibolehkan meminangnya dengan bahasa sindiran.
d) Wanita
yang telah dipinang orang lain
Wanita
yang telah dipinang oleh orang lain tidak boleh dipinang. Hal ini dijelaskan
oleh Nabi Saw.:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَخْطُبُ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ .
.
Pembatalan
Nikah Poliandri
Apabila
seorang wanita mempraktekkan poliandri, maka Pengadilan Agama dapat membatalkannya.
Namun demikian, batalnya suatu perkawinan tidak memutuskan hubungan hukum
antara anak dengan orang tuanya.
Hikmah Larangan Poliandri
Hikmah
utama dalam hal ini adalah untuk menjaga kemurnian keturunan dan kepastian
hukum seorang anak. Anak yang sejak berada dalam kandungan telah memiliki hak,
harus mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Wallahu a’lam.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikah siri adalah nikah dibawah tangan
atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena tidak
dilaporakan kekantor urusan agama bagi muslaim atau catatan sipil non muslim.
Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah yang
tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan
memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah
Subhanallah. Penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi
wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat
(bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau
diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang
berlaku di Negara kita tentang perundang-undangan pernikahan itu tidak sah
karena di dalam perundangan ada yang tidak lengkap secara administrasi.
Pada dasarnya bentuk perkawinan poligami itu
diperbolehkan dalam agama islam, demikian juga Undang – Undang perkawinan di
Indonesia juga melegalkannya dengan syarat-syarat dan prosedur yang ada di
Indonesia. Poligami juga memiliki sisi negatif yang sering dilontarkan oleh
orang – orang yang menentangnya, namun dibalik itu sebenarnya banyak hikmah
dari berpoligami yang tidak disadari oleh kebanyakan manusia.
Sedangkan poliandri sendiri merupakan bentuk perkawinan
yang benar-benar di larang oleh agama islam. Karena, jika ada seorang perempuan
yang menikah dengan seorang lelaki lebih dari satu orang atau lebih, niscaya
dunia akan rusak, keturunan akan terlantarkan, antara satu suami dengan suami
yang lainnya akan saling berebut untuk menghindar dari kewajibannya, membunuh,
bencana merajalela, dan api peperangan akan terys menyala. Bagaimana mungkin
urusan seorang wanita bisa stabil apabila dia dimiliki orang banyak dan
bagaimana mungkin mereka (laki-laki) akan bisa bersama satu perempuann ??.5Oleh
sebab itu, bentuk pernikahan poliandri
sangat lah ditentang oleh banyak kalangan, begitu juga Allah dan Rosulullah
SAW.
B. Kritik dan Saran
Banyak sekali orang menentang adanya poligami, namun
mereka justru sebenarnya tidak puas dengan satu istri yang akhirnya mereka
melakukan perzinahan yang dilarang agama. Tidak perlu menentang poligami, masih
banyak perempuan – perempuan malang terlantar. Kalau bisa memenuhi
persyaratan-persyaratan dan prosedur poligami baik dalam hukum Negara ataupun
Hukum agama, kenapa tidak ??
Dan sebaik-baik istri yang bisa menjaga rumah tangganya,
pastinya dia tidak akan pernah melakukan poliandri dikarenakan suatu alasan
tertentu ataupun tidak ada kecocokan dalam mengaruni hidupnya bersama suaminya.
Daripada harus melakukan poliandri yang merupakan pernikahan yang sudah
jelas-jelas nya Allah dan Rosululloh membencinya . termasuk juga Undang-Undang
Negara Indonesia juga melarangnya.
DAFTAR PUSTAKA
Attahir, Abdul Nasir Taufik. Poligami
Ditinjau dari Segi Agama, social dan Undang-undang. Jakarta: Bulan Bintang
Fuad, Isnaeni. Berpoligami Dengan
Aman. jombang: Lintas Media
Thalib, Sayuti. Hukum
Kekeluargaan Indonesia. 2009. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tihami dan Sahrani, Sohari. Fikih
Munakahat. 2009. Jakarta: Pt Raja Grafinda Persada