MAKALAH AGAMA TUNTUNAN AGAMA TERHADAP IBU NIFAS
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan.
Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum
melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan, seperti
rasa sakit, dan lain-lain.
Masa nifas dimulai setelah kelahiran plasenta dan berakhir
ketika alat-alat kandungan pulih kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa
nifas berlangsung selama 6-8 minggu. Periode nifas merupakan masa kritis bagi
ibu, diperkirakan 60 % kematian ibu akibat kehamilan terjadi setelah
persalinan yang mana 50% dari kematian ibu tersebut terjadi 24 jam
pertama setelah persalinan dan ada suatu hal yang boleh dan tidak boleh
dilakukan selama masa nifas, termasuk beribadah, bersetubuh dengan suami dan
lain-lain. Untuk itu perawatan saat masa nifas merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan.
Perawatan masa nifas mencakup berbagai aspek mulai dari
pengaturan dalam kesehatan, anjuran untuk kebersihan, menghindari hal-hal yang
tidak diperbolehkan. Selain perawatan nifas dengan memanfaatkan sistem
pelayanan biomedical ada juga ditemukan sejumlah pengethun dan perilaku budaya
dalam perawatan masa nifas.
B.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian Nifas
2. Persetubuhan
3. Kebersihan Mandi
4. Ibadah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Nifas
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan.
Baik darah itu keluar bersamaan ketika proses melahirkan, sesudah atau sebelum
melahirkan, yang disertai dengan dirasakannya tanda-tanda akan melahirkan,
seperti rasa sakit, dan lain-lain. Rasa sakit yang dimaksud adalah rasa sakit
yang kemudian diikuti dengan kelahiran. Jika darah yang keluar tidak disertai
rasa sakit, atau disertai rasa sakit tapi tidak diikuti dengan proses kelahiran
bayi, maka itu bukan darah nifas.
Selain itu, darah yang keluar dari rahim baru disebut dengan
nifas jika wanita tersebut melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Jika
seorang wanita mengalami keguguran dan ketika dikeluarkan janinnya belum
berwujud manusia, maka darah yang keluar itu bukan darah nifas. Darah tersebut
dihukumi sebagai darah penyakit (istihadhah) yang tidak menghalangi dari
shalat, puasa dan ibadah lainnya.Perlu kita ketahui bahwa waktu tersingkat
janin berwujud manusia adalah delapan puluh hari dimulai dari hari pertama
hamil.
sebagian pendapat mengatakan sembilan puluh hari.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu ,bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud sradhiyallahu ‘anhu ,bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang benar dan yang mendapat berita yang benar, “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah, kemudian menjadi ‘alaqah seperti itu pula, kemudian menjadi mudhghah seperti itu pula.
Kemudian seorang malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan
ruh di dalamnya, dan diperintahkan kepadanya untuk menulis empat hal, yaitu
menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, “Manakala seorang wanita mendapati
darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak dianggap
sebagai nifas. Namun jika sesudah masa minimal, maka ia tidak shalat dan puasa.
Kemudian apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi
belum berbentuk manusia-pen) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban.
Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia-pen), tetap
berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan
kewajiban.” (Kitab Syarhul Iqna’)
B. Persetubuhan (Jima’)
1. Pengertian Jima’ dan Pembagiannya
Jima’
menurut bahasa adalah mengumpulkan bilangan. Seperti ungkapan ungkapan
“mengumpulkan” perkara seperti ini, maksudnya telah terkumpul bersamanya. Arti
bahasa yang lain adalah persetubuhan atau persenggamaan.
Menurut istilah jima’ adalah
memasukkan dzakar (penis) laki-laki ke dalam farji (vagina) perempuan.
Dan bisa
dikatakan jima’ walaupun yang masuk hanya kepala dzakar saja, ataupun hanya
sentuhan antara kepala dzakar dengan farji. Adapun aktifitas antara seorang
suami dan istrinya sebelum memasukkan ini disebut sebagai pendahuluan jima’.
Dikatakan
jima’ apabila memasukkannya adalah ke dalam farji (vagina) perempuan.
Seandainya penis masuk ke dalam dubur (anus) atau lubang di tubuh yang bukan
farji maka ia bukan dinamakan jima’. Bahkan hal itu termasuk penyimpangan yang
biasa dikenal sebagai liwath (sodomi).
Walaupun pengertian bentuk jima’ itu
satu, tetapi dari sisi hukum terbagi menjadi beberapa hukum:
a. Jima’ yang halal
Jima’ yang
halal adalah yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah,, atau dilakukan
oleh seorang laki-laki dengan amat (budak perempuan)-nya (dikala masih ada
amat). Tetapi zaman sekarang sudah tidak ada lagi amat. Jadi bersenggama dengan
istri sendiri itu hukumnya halal, bahkan suami istri yang melakukan jima’
mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah SWT. Hal itu dalam rangka menunaikan
(memenuhi) syahwatnya. Firman Allah yang menggambarkan keadaan orang mukmin
dalam surat al-Mukminun:
“Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki,
maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang
di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas”. (QS. Al-Mukminun: 5-7).
Maksud ayat tersebut adalah tidak
ada dosa atas seorang mukmin yang mendatangi (menyetubuhi) istrinya yang ia
miliki secara sah. Disinilah kelebihan orang mukmin yang benar-benar mukmin,
dimana ia sanggup dan busa menahan syahwat kecuali terhadap istrinya.
b. Jima’ yang haram
Jima’ yang
haram ini adalah yang dilakukan dengan cara zina, yaitu mereka yang
melakukannya dengan selain istrinya. Zina adalah termasuk dosa besar, karena
Allah SWT sangat membenci orang-orang yang melakukan perbuatan zina. Banyak
sekali keterangan-keterangan di dalam Al-Qur’an dan dalam hadist yang
menerangkan hukuman keras bagi yang melakukan zina, dimana mereka dihukum
cambuk seratus kali, dan ada yang dihukum rajam (dilempari dengan batu), yakni
Muhsan (pezina yang sudah mempunyai suamu atau istri) hingga mati.
Jima’ bisa berubah menjadi haram
jika yang melakukan jima’ pada saat waktu dan tata cara yang diharamkan oleh
agama, maka jima’ yang seharusnya memperoleh pahala berubah menjadi dosa.
·
Jima’ dari belakang
Yang dimaksud jima’ dari belakang
adalah bukan jalan yang ditentukan oleh Allah SWT. Melainkan ia menjima’ istri
lewat jalan anus, dan ini jelas dilarang oleh agama dan ilmuwan. Dialah jenis
orang yang tidak menjaga kehormatan, sebab orang yang melakukan sesuatu diluar
yang sudah ditentukan oleh Allah SWT disebut melampaui batas.
·
Mengingat bayangan selain istri
Jika pada saat-saat suami haram
melakukan persetubuhan tetapi pada saat halal tersebut suami membayangkan
wanita lain selain istrinya ketika jima’ berlangsung, maka jima’ seperti itu
haram hukumnya. Sebab dipelupuk hatinya tidak istri sah, akan tetapi wanita
lain hasil perselingkuhan.
·
Homosex atau lesbian
Perilaku homosex untuk laki-laki dan
lesbian untuk perempuan, dimana arti homosex ialah hubungan sex laki-laki
dengan laki-laki. Sedangkan lesbian ialah hubungan sex perempuan dengan
perempuan.
Libido sexual seperti ini
jelas-jelas hukumnya haram. Sebenarnya mereka menyadari tentang diri yang tidak
mampu dan puas bila berhubungan dengan lawan jenisnya. Ini tingkat yang sudah
tinggi sekali. Yang jelas mereka telah melakukan penyimpangan sexual yang
diharamkan Allah SWT.
·
Sunnat
Kebiasaan jima’ sunnat dalam
senggama atau jima’ ialah mencakup seluruh tata karma jima’ yang nanti dibahas
secara khusus mengenai praktek jima’ yang akhlaki. Semua membahas
kesunnatan-kesunnatan dalam jima’, misal: (1) pakai wangi-wangian, (2) pada
tempat yang remang-remang, (3) menahan tidak melakukan jima’ bilamana istri
menstruasi atau nifas sampai mereka suci, (4) membersihkan bekas-bekas noda
jima’ bilamana ingin mulai kembali, (5) mencukur bulu-bulu sekitarnya, (6) yang
penting ialah doa yang nanti akan dijabarluaskan pada babnya sendiri.
Pendahuluan
Jima’
Agar
aktifitas bersenggama itu benar-benar siap bagi pasangan suami istri, maka
perlu diperhatikan hal-hal seperti, pendahuluan dan persiapan (pemanasan) untuk
bersenggama terlebih dahulu, dan saling membantu untuk mendapatkan kenikmatan
yang puncak bagi pasangannya. Sebab pemanasan dalam jima’ itu bisa menjadi
tolak ukur kebahagiaan suami istri.
Ada beberapa cara untuk pemanasan
dan menimbulkan gairah dalam berkumpul antara suami istri. Diantara yang
terpenting adalah:
a.
Bersolek dan memakai wangi-wangian
b.
Membuka pakaian
c.
Bercumbu rayu
1. Ciuman. Maksudnya adalah saling berciuman antara suami
istri, paling bagus adalah beradu bibir dan diperbolehkan menghisap bibir.
2. Meraba dua buah dada. Maksudnya suami memainkan dua buah
dada istrinya, menciuminya dan menyusunya. Saling bercumbu pada anggota tubuh
pasangan bisa dilakukan dengan sentuhan anggota tangan, kaki dan anggota tubuh
lainnya.
3. Berpelukan. Ini adalah tahapan suami istri saling
menempelkan kulitnya masing-masing dengan cara saling memeluk dan merangkul
sehingga akan menambah kenikmatan.
Etika
Jima’
Adapun beberapa etika jima’ yang
terpenting adalah sebagai berikut:
a.
Membaca basmalah dan doa sebelum jima’
b.
Melakukan pendahuluan (pemanasan) jima’
c.
Dengan cara yang lembut dan suami tidak tergesa-gesa
d.
Hanya berduaan saja
e.
Lepaskanlah semua pakaian yang menutupi suami dan istri
Tata Cara
Jima’
Yang dimaksud dengan tata cara jima’
yaitu bagaimana seorang suami menggauli istrinya.
a.
Niat yang saleh
b. Berdoalah
sebelum engkau memasukkan
c.
Pertama-tama mengusap-usapkan ujung sama ujung
d.
Jangan di-Azl
e.
Melanggengkan dalam faraj sampai istri orgasme
C. Kebersihan Mandi
Setelah selesai nifas seorang wanita diwajibkan untuk mandi
wajib untuk menghilangkan hadast besar (darah nifas) tersebut dengan cara
membasuh seluruh tubuh mulai dari puncak kepala hingga ujung kaki.
1) Fardhu Mandi
1.
Niat : bersama-sama dengan mula-mula
membasuh tubuh.
Lafadzh
niat :
ﻧﻮ ﻴﺖ ﺍﻠﻐﺳﻞ ﻠﺮ ﻔﻊ ﺍﻠﺤﺪ ﺚ ﺍﻻ ﻜﺑﺮ ﻔﺮﻀﺎ ﷲ
ﺘﻌﺎﻠﻰ
“Aku
niat mandi wajib untuk menghilangkan hadast besar fardhu karena Allah.”
2. Membasuh seluruh badannya dengan
air, yakni meratakan air ke semua rambut dan kulit.
3.
Menghilangkan najis.
2) Sunnat Mandi :
1.
Mendahulukan membasuh segala kotoran
dan najis dari seluruh tubuh.
2.
Membaca basmallah pada permulaan
mandi.
3.
Menghadap kiblat sewaktu mandi dan
mendahulukan bagian kanan daripada kiri.
4.
Membasuh badan samapai tiga kali.
5.
Membaca doa sebagaimana
membaca doa sesudah berwudhu.
6.
Mendahulukan mengambil air wudhu
yakni sebelum mandi disunnatkan berwudhu terlebih dahulu.
D. Ibadah
Wanita
yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu maupun sunnah, dan mereka tidak
perlu menggantinya apabila suci. (Ibnu Hazm di dalam kitabnya al-Muhalla)
Shalat
sebagaimana yang kita ketahui, sahnya juga suci dari hadast besar. Cara
menghilangkan hadast besar tersebut yaitu dengan cara mandi wajib.
Ibadah (عبادة) secara etimologi berarti merendahkan
diri serta tunduk. Di dalam syara’, ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi
makna dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain :
1.
Ibadah ialah
taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya (yang digariskan)
melalui lisan para Rasul-Nya,
2.
Ibadah adalah
merendahkan diri kepada Allah , yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi
disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi,
3.
Ibadah ialah
sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah , baik
berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir maupun bathin. Ini adalah definisi
ibadah yang paling lengkap.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota
badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal
(ketergantungan), raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah
ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam
ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia,
Allah berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizki sedikitpun
dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang mempunyai kekuatan lagi
Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan
manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah . Dan Allah Maha
Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah , maka mereka
menyembah-Nya sesuai dengan aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak
beribadah kepada Allah , ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi
dengan selain apa yang disyari’atkan-Nya maka ia adalah mubtadi’ (pelaku
bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah ).
Makna Ibadah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah :
Ibadah adalah segala sesuatu yang mencakup semua hal yang
dicintai dan diridhai Allah Ta’ala, baik berupa ucapan dan amalan, yang nampak
dan yang tersembunyi.
Maka shalat, zakat, puasa, hajji, berkata benar,
menyampaikan amanat, berbakti kepada kedua orang tua, silaturrahim, menepati
janji, amar ma’ruf nahi mungkar, jihad menghadapi orang kafir dan munafiq,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil, budak,
hewan piaran, berdoa, berzikir, membaca al Quran, dan yang semisalnya termasuk
ibadah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nifas adalah darah yang keluar disebabkan oleh kelahiran
anak. Hukum yang berlaku pada nifas adalah sama seperti hukum haid, baik
mengenai hal-hal yang diperbolehkan, diharamkan, diwajibkan maupun di hapuskan.
Karena nifas adalah darah haid yang tertahan karena proses kehamilan. Takaran
maksimal bagi keluar darah nifas ini adalah 40 hari.
Seorang suami diharamkan untuk menyetubuhi istrinya selama
dia masih nifas. Apabila darah nifas seorang wanita telah terhenti maka dia
wajib mandi, sesuai dengan kesepakatan ulama umat ini sehingga wanita itu
menjadi suci dari nifasnya, setelah itu suami diperbolehkan untuk
menyetubuhinya.
Wanita yang haid dan nifas haram melakukan shalat fardhu
maupun sunnah sebelum ia melakukan mandi wajib.
B. Saran
Untuk dosen mata kuliah agama Islam diharapkan dapat
memberikan bimbingan untuk tiap tenaga medis
tentang cara islami menghadapi ibu yang mengalami nifas.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Kaderisasi
UKKI Unsoed 2002. Silabus Materi PPAI Unsoed 2002
·
Forum
Pendamping PAI MIPA 2002. Silabus Materi PAI MIPA 2002