Welcome Comments Pictures
TERIMA KASIH SUDAH BERKUNJUNG MUDAH-MUDAHAN BISA BERMANFAAT

STANDAR PRAKTIK KEBIDANAN

     
                                    BAB I
                                    PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang
Standar praktik kebidanan merupakan suatu acuan atau pedoman bagi seorang bidan dalam melakukan sebuah tindakan. Namun, seringkali kita temukan bidan yang tidak memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar praktik kebidanan yang telah ditetapkan. Hal ini menimbulkan penurunan kualitas suatu pelayanan yang diberikan oleh bidan.
Dalam sejarah profesi maupun tenaga kesehatan, telah di ketahui bahwa bidan adalah salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban umat manusia. Bidan muncul sebagai wanita terpercaya dalam mendampingi dan menolong ibu yang melahirkan. Peran dan posisi bidan dimasyarakat sangat dihargai dan dihormati karena tugasnya yang sangat mulia, memberi semangat, membesarkan hati, mendampingi, serta menolong ibu yang melahirkan sampai ibu dapat merawat bayinya dengan baik.
Bidan sebagai pekerja profesional dalam menjalankan tugas dan prakteknya, bekerja berdasarkan pandangan filosofis yang dianut, keilmuan, metode kerja, standar praktik pelayanan serta kode etik yang dimilikinya
Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Pada tahun 1993 WHO merekomendasikan agar bidan di bekali pengetahuan dan ketrampilan penanganan kegawatdaruratan kebidanan yang relevan. Untuk itu pada tahun 1996 Depkes telah menerbitkan Permenkes No.572/PER/Menkes/VI/96 yang memberikan wewenang dan perlindungan bagi bidan dalam melaksanakan tindakan penyelamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir.
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan diupayakan agar dapat memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat.
Selain standar pelayanan, profesi bidan pun memiliki standar kompetensi dan standar praktek yang telah di sepakati dan berlaku hingga saat ini. Dengan adanya standar-standar yang berlaku, maka dalam menjalankan tugasnya seorang bidan di tuntut untuk selalu mengikuti dan menerapkan standar-standar tersebut dalam prakteknya.
Makalah ini, akan membahas mengenai standar praktek bidan bersama salah satu contoh kasus mengenai standar praktek bidan yang bila di abaikan maka akan membuat kerugian pada bidan tersebut.
B.  Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas masalah tentang standar praktek bidan yang terdiri dari:
A   Pengertian Bidan
B   Pengertian Standar
C   Pengertian Standar Praktik Kebidanan
D   Standar Praktik Kebidanan
E.  Registrasi Praktik Kebidanan

                                    BAB II
                                    PEMBAHASAN

A.  Pengertian Bidan
Definisi Bidan (ICM) mengatakan bahwa bidan adalah seorang yang telah menjalani program pendidikan bidan yang diakui oleh negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait serta memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk praktek bidan.

B.  Pengertian Standar
Standar adalah ukuran atau parameter yang di gunakan sebagai dasar untuk menilai tingkat kualitas yang telah di sepakati dan mampu di capai dengan ukuran yang telah di tetapkan.

C.  Pengertian Standar Praktek Kebidanan (SPK)
Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) adalah rumusan tentang penampilan atau nilai diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang telah ditetapkan yaitu standar pelayanan kebidanan yang menjadi tanggung jawab profesi bidan dalam sistem pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2001: 53).

D.  Standar praktek kebidanan
Standar Praktek Kebidananan (SPK) di bagi menjadi sembilan standar, yang terdiri dari :
1.    Standar I : Metode asuhan
Asuhan kebidanan dilaksanakan dengan metode manajemen kebidanan dengan langkah yaitu pengumpulan data dan analisis data, penentuan diagnosa perencanaan pelaksanaan, evaluasi dan dokumentasi.
Definisi Operasional :
a.    Ada format manajemen kebidanan yang sudah terdaftar pada catatan medis.
b.    Format manajemen kebidanan terdiri dari : format pengumpulan data, rencana format pengawasan resume dan tindak lanjut catatan kegiatan dan evaluasi.

  2.    Standar II : Pengkajian
Pengumpulan data tentang status kesehatan kilen dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Data yang diperoleh dicatat dan dianalisis.
Definisi Operasional :
a.    Ada format pengumpulan data
b.    Pengumpulan data dilakukan secara sistematis terfokus yang meliputi data :
·      Demografi identitas klien
·      Riwayat penyakit terdahulu
·      Riwayat kesehatan reproduksi
·      Keadaan kesehatan saat ini termasuk kesehatan reproduksi
·      Analisis data
            c.    Data dikumpulkan dari :
·      Klien/pasien, keluarga dan sumber lain
·      Tenaga kesehatan
·      Individu dalam lingkungan terdekat
            d.   Data diperoleh dengan cara :
·      Wawancara
·      Observasi
·      Pemeriksaan fisik
·      Pemeriksaan penunjang
3.    Standar III : Diagnosa kebidanan
Diagnosa kebidanan dirumuskan berdasarkan analisis data yang telah dikumpulkan.
Definisi Operasional :
a.    Diagnosa kebidanan dibuat sesuai dengan kesenjangan yang dihadapi oleh klien / suatu keadaan psikologis yang ada pada tindakan kebidanan sesuai dengan wewenang bidan dan kebutuhan klien.
b.    Diagnosa kebidanan dirumuskan dengan padat, jelas, sistematis mengarah pada asuhan kebidanan yang diperlukan oleh klien
 
4.    Standar IV : Rencana asuhan
Rencana Asuhan kebidanan dibuat berdasarkan diagnosa kebidanan
Definisi Operasional :

a.    Ada format rencana asuhan kebidanan
b.    Format rencana asuhan kebidanan terdiri dari diagnosa, rencana tindakan dan evaluasi

5.    Standar V : Tindakan
Tindakan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana dan perkembangan keadaan klien dan dilanjutkan dengan evaluasi keadaan klien.
Definisi Operasional :
a.    Ada format tindakan kebidanan dan evaluasi
b.    Format tindakan kebidanan terdiri dari tindakan dan evaluasi
c.    Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan rencana dan perkembangan klien
d.   Tindakan kebidanan dilaksanakan sesuai dengan prosedur tetap dan wewenang bidan atau tugas kolaborasi
e.    Tindakan kebidanan dilaksanakan dengan menerapkan kode etik kebidanan etika kebidanan serta mempertimbangkan hak klien aman dan nyaman
f.     Seluruh tindakan kebidanan dicatat pada format yang telah tersedia.

6.    Standar VI : Partisipasi klien
Tindakan kebidanan dilaksanakan bersama-sama / partisipasi klien dan keluarga dalam rangka peningkatan pemeliharaan dan pemulihan kesehatan
Definisi Operasional :
a.    Klien / keluarga mendapatkan informasi tentang :
·      Status kesehatan saat ini
·      Rencana tindakan yang akan dilaksanakan
·      Peranan klien / keluarga dalam tindakan kebidanan
·      Peranan petugas kesehatan dalam tindakan kebidanan
·      Sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan

 b.    Klien dan keluarga bersama-sama dengan petugas melaksanakan tindakan kegiatan.

7.    Standar VII : Pengawasan
Monitor / pengawasan terhadap klien dilaksanakan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui perkembangan klien.
Definisi Operasional :
a.    Adanya format pengawasan klien
b.    Pengawasan dilaksanakan secara terus menerus sitematis untuk mengetahui keadaan perkembangan klien
c.    Pengawasan yang dilaksanakan selalu dicatat pada catatan yang telah disediakan

8.    Standar VIII : Evaluasi
Evaluasi asuhan kebidanan dilaksanakan terus menerus seiring dengan tindakan kebidanan yang dilaksanakan dan evaluasi dari rencana yang telah dirumuskan.
Difinisi Operasional :
a.    Evaluasi dilaksanakan setelah dilaksanakan tindakan kebidanan kepada klien sesuai dengan standar ukuran yang telah ditetapkan
b.    Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur rencana yang telah dirumuskan
c.    Hasil evaluasi dicatat pada format yang telah disediakan

9.    Standar IX : Dokumentasi
Asuhan kebidanan didokumentasikan sesuai dengan standar dokumentasi asuhan kebidanan yang diberikan
Definisi Operasional :
a.    Dokumentasi dilaksanakan untuk disetiap langkah manajemen kebidanan
b.    Dokumentasi dilaksanakan secara jujur sistimatis jelas dan ada yang bertanggung jawab
c.    Dokumentasi merupakan bukti legal dari pelaksanaan asuhan kebidanan

E.  Registrasi Praktik Bidan
Bidan merupakan profesi yang diakui secara nasional maupun intenasional oleh International Confederation of Midwives (ICM). Dalam menjalankan tugasnya, seorang bidan harus memiliki kualifiksi agar mendapatkan lisensi untuk praktek.
Praktek pelayanan bidan perorangan (swasta), merupakan penyedia layanan kesehatan, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan pelayanan, khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Supaya masyarakat pengguna jasa layanan bidan memperoleh akses pelayanan yang bermutu dari pelayanan bidan, perlu adanya regulasi pelayanan praktek bidan secara jelas, persiapan sebelum bidan melaksanakan pelayanan praktek, seperti perizinan, tempat, ruangan, peralatan praktek, dan kelengkapan administrasi semuanya harus sesuai dengan standar
Dalam hal ini pemerintah telah menetapkan peraturan mengenai registrasi dan praktik bidan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 900/MENKES/SK/VII/2002 (Revisi dari Permenkes No.572/MENKES/PER/VI/1996).

Registrasi adalah proses pendaftaran, pendokumentasian dan pengakuan terhadap bidan, setelah dinyatakan memenuhi minimal kompetensi inti atau standar tampilan minimal yang ditetapkan. Bidan yang baru lulus dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh SIB dengan mengirimkan kelengkapan registrasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dimana institusi pendidikan berada selambat-lambatnya satu bulan setelah menerima ijazah bidan. Kelengkapan registrasi meliputi :
1.     Fotokopi ijazah bidan.
2.     Fotokopi transkrip nilai akademik.
3.     Surat keterangan sehat dari dokter.
4.     Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar.

Bidan yang menjalankan praktek pada sarana kesehatan atau dan perorangan harus memiliki SIPB dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, dengan melampirkan persyaratan yang meliputi :
1.     Fotokopi SIB yang masih berlaku.
2.     Fotokopi ijazah bidan.
BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Bidan yang merupakan salah satu profesi yang profesional tentunya memiliki syarat-syarat dan standar dalam menjalankan tindakan profesinya, salah satunya adalah standar praktek kebidanan yang terdiri dari sembilan standar yaitu, Standar I: Metode Asuhan, Standar II: Pengkajian, Standar III: diagnosa kebidanan, Standar IV: Rencana Asuhan, Standar V: Tindakan, Standar VI: Partisipasi Klien, Standar VII: Pengawasan, Standar VIII: Evaluasi, & Standar IX: Dokumentasi.

B.  Saran
Bagi para bidan maupun mahasiswi calon bidan, hendaknya memahami dan melaksanakan pelayanan sesuai standar praktek kebidanan yang telah di tentukan dengan tetap berpedoman pada hati nurani, Pancasila dan Undang-undang yang berlaku, agar pelayanan ataupun praktek kebidanan dapat berjalan baik dan menghasilkan bidan yang benar-benar professional.

 

DAFTAR PUSTAKA

·         Kurnia, S. Nova.2009. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Panji Pustaka
·         Wahyuningsih, Heni. 2007. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Fitramaya

PERAN DAN FUNGSI MAJELIS PERTIMBANGAN KODE ETIK

         


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Setiap profesi memiliki kode etik. Namun, kode etik saja tidak cukup untuk menaungi sebuah profesi. Maka muncullah Majelis Pertimbangan Etik Profesi yang merupakan badan perlindungan hukum terhadap suatu profesi.

Begitu pun dengan profesi bidan yang memiliki Majelis Etika Profesi dalam bentuk Majelis Pertimbangan Etika Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA).

Untuk pembahasan selanjutnya akan dibahas peran dan fungsi dari Majelis Pertimbangan Etik Profesi dalam menangani permasalahan kode etik bidan juga akan dibahas mengenai Majelis Pertimbangan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis yang mengawasi dan membina pelaksanan seluruh kode etik profesi kesehatan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian
2.      Majelis Pertimbangan Etika Profesi
3.      Majelis Etika Pertimbangan Bidan

  B A B   II
P E M B A H A S A N


A.Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi baru bahwa pengertian
1.      Peran                        :Pemain sandiwara
2.      Fungsi                       :1.Kegunaan, manfaat
                               2.Peranan, tugas
                               3.Kedudukan, jabatan (pekerjaan) yang dilakukan
Jadi, peran dan fungsi adalah tugas pokok yang dilakukan oleh individu / instansi.

B. Majelis Pertimbangan Etika Profesi
   1.      Majelis Pertimbangan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis
      Dalam buku Heny Puji Wahyuningsih dituliskan :
Majelis Pertimbangan Etika Profesi di Indonesia adalah Majelis Pembinaan dan Pengawasan Etik Pelayanan Medis sesuai :
a)      Kepmenkes RI No. 554/Menkes/Per/XII/1982
Memberikan pertimbangan, pembinaan dan melaksanakan pengawasan terhadap semua profesi tenaga kesehatan dan sarana pelayanan medis.
b)      Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1988 Bab V Pasal 11
Pembinaan dan pengawasan terhadap dokter, dokter gigi dan tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya dilakukan oleh Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk.
c)                  Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 640/Menkes/Per/X/1991, tentang Pembentukan MP2EPM.
 
Tugas dan wewenang MP2EPM wilayah Provinsi menurut Peraturan Menkes RI No. 640/Menkes/Per/X/1991 dalam buku Sholeh Soeaidy, S.H yang berjudul Himpunan Peraturan Kesehatan.
   1) MP2EPM  Propinsi bertugas :
a. Menerima dan memberi pertimbangan tentang persoalan dalam bidang etik   profesi tenaga kesehatan di wilayahnya kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Provinsi.
b.Mengawasi pelaksanaan Kode etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya.
c. Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hokum dan instansi lain yang berkaitan pada tingkat provinsi.
d.      Memberi nasehat kepada para anggota profesi tenaga kesehatan .
e. Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif Kode Etik profesi tenaga kesehatan dalam wilayahnya bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Persatuan Perawat nasional Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.
f. Memberi pertimbangan dan saran kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan dalam wilayah provinsi.

      2)  MP2EPM Provinsi atas nama Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehtan Provinsi berwenang memanggil mereka yang bersangkutan dalam suatu persoalan etik profesi tenaga kesehatan untu diminta keterangannya dengan pemberitahuan pada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi dan kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

 Tugas dan wewenang MP2EPM wilayah Pusat, yaitu :
a.       Memberi pertimbangan tentang etik dan standar profesi tenaga kesehatan kepada Menteri.
b.      Membina, mengembangkan dan mengawasi secara aktif pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia, Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia, Kode Etik Perawat Indonesia, Kode Etik Bidan Indonesia, Kode Etik sarjana Farmasi Indonesia dan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia.
c.       Memberi pertimbangan dan usul kepada pejabat yang berwenang di bidang kesehatan dan hukm yang menyangkut kesehatan dan kedokteran.
d.      Menyelesaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh MP2EPM Propinsi.
e.       Menerima rujukan dalam menangani permasalahan pelanggaran etik profesi tenaga kesehatan.
f.       Mengadakan konsultasi dengan instansi penegak hokum dan instansi lain yang berkaitan.

      2.  Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan
Dalam buku Heny Puji Wahyuningsih dituliskan:
      a.   Dasar pembentukan majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK), adalah sebagai berikut :
·         Pasal 4 ayat 1 UUD 1945.
·         Undang – undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
·         Keputusan Presiden Tahun 1995 tentang pembentukan MDTK.
      b.  Tugas Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) adalah meneliti dan menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan.

   C.Majelis Etika Pertimbangan Bidan
Dalam buku Heny puji Wahyuningih dituliskan:
1.      Pengertian
Merupakan badan perlindungan hokum terhadap para bidan sehubungan dengan adanya tuntutan dari klien akibat pelayanan yang diberikan dan tidak melakukan indikasi penyimpangan hokum.
2.      Majelis Etika Profesi Bidan
Salah satu keputusan Kongres Nasional IBI ke XII di Propinsi Bali tanggal 24 September 1998 adalah kesepakatan agar dalam lingkungan kepengurusan organisasi IBI perlu dibentuk :
a. Majelis petimbangan Etika Bidan (MPEB)
b.  Majelis Peradilan profesi ( MPA)
(Mustika Sofyan, Nur Aini Madjid, Ruslidjah Siahaan, 50 tahun IKATAN BIDAN INDONESIA).
3.      Tugas Majelis Etika Kebidanan adalah meneliti dan menentukan ada dan tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh bidan
4.      Hal yang menyangkut tugas Majelis Etika Kebidanan, yaitu :
·   Penilaian didasarkan atas permintaan pejabat, pasien, dan keluarga yang dirugikan oleh pelayanan kebidanan.
·   Permohonan secara tertulis dan disertai data-data.
·   Keputusan tingkat propinsi bersifat final dan bias konsul ke Majelis Etika kebidanan pada tingkat pusat.
·   Sidang Majelis Etika kebidanan paling lambat tujuh hari, setelah diterima pengaduan. Pelaksanaan siding menghadirkan dan minta keterangan dari bidan dan saksi-saksi.
·   Keputusan paling lambat 60 hari dan kemudian disampaikan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.
·   Biaya dibebankan pada anggaran pimpinan pusat IBI atau pimpinan daerah IBI di tingkat propinsi.

 5.      Peran
Majelis Pertimbangan Etika Bidan (MPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA) secara internal berperan memberikan saran, pendapat dan buah pikiran tentang masalah pelik yang sedang dihadapi khususnya yang menyangkut pelaksanaan kode etik bidan dan pembelaan anggota.
6.      Fungsi
Dewan Pertimbangan Etika Bidan (DPEB) dan Majelis Pembelaan Anggota (MPA) memiliki fungsi, antara lain:
1.      Merencanakan dan melaksanakan kegiatan bidan sesuai dengan ketetapan pengurus pusat
2.      Melaporkan hasil kegiatan sesuai dengan bidang dan tugasnya secara berkala
3.      Memberikan saran dan pertimbangan yang perlu dalam rangka tugas pengurus pusat
4.      Membentuk Tim Teknis sesuai dengan kebutuhan
7.      Pelaksanaan
Dalam pelaksanaannya di lapangan sekarang ini bahwa organisasi profesi bidan IBI, telah melantik Majelis Pertimbangan Etika Bidan dan Majelis Pembelaan Anggota ( Heny Puji Wahyuningsih)

Menurut peraturan menteri kesehatan RI No. 640/Menkes/Per/X/1991 tentang majelis Pembinaan dan Pengawasan Etika Pelayanan Medis dalam buku Sholeh Soeaidy, S.H, dicantumkan
  
Pasal 20
MP2EPM Propinsi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bekerja sama dengan Ikatan Dokter Indonesia Wilayah, Persatuan Dokter Gigi Indonesia Wilayah, Persatuan Perawat nasional Indonesia Wilayah, Ikatan Bidan Indonesia Wilayah, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Wilayah, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Wilayah, dan Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia Wilayah beserta cabang-cabangnya.



Pasal 21
Biaya MP2EPM Propinsi dibebankan kepada anggaran belanja Departemen Kesehatan c.q kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi.

Pasal 22
(1)   MP2EPM Propinsi, berdasarkan hasil pemeriksaan, mengusulkan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap tenaga kesehatan yang bersangkutan.
(2)   Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi dapat mengambil tindakan berupa peringatan atau tindakan administrative terhadap tenaga kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Keputusan kepala Kantor Wilayah yang dimaksud dalam ayat 2 (dua) disampaikan kepada tenaga kesehatan yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, MP2EPM Pusat dan MP2EPM Propinsi.
(4)   Dalam hal tenaga kesehatan yang melakukan pelanggaran berstatu pegawai negeri sipil yang diperbantukan kepada daerah dan kepada yang bersangkutan akan diambil tindakan administrative, maka sebelumnya perlu dikonsultasikan denga Gubernur/kepala daerah Tingkat I.

Pasal 23
(1)   Apabila tenaga kesehatan bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 berkeberatan terhadap keputusan bersalah yang dinyatakan oleh pihak yang berwenang maka yang bersangkutan dpat mengajukan banding dalam waktu 20 (dua puluh) hari ke MP2EPM Pusat.
(2)   Pernyataan banding dalam ayat (1) disampaikan ke MP2EPM Pusat melalui MP2EPM Propinsi.
(3)   MP2EPM Propinsi meneruskan banding tersebut dalam ayat (2) dalam waktu selambat-lambatnya 7 (ujuh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya banding.
(4)   Apabila tenaga kesehatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari tidak mengajukan banding, maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dianggap telah menerima keputusan yang dimaksud dalam pasal 22.
(5)   Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi belum diperkenankan menjalankan keputusan yang dimaksu dalam pasal 22 apabila yang bersangkutan mengajukan banding.


Pasal 24
(1)   MP2EPM Pusat setelah menerima berkas banding segera memriksa dan mengambil keputusan banding.
(2)   MP2EPM Pusat menyampaikan keputusannya kepada Menteri untuk mengambil tindakan yang diperlukan terhadap tenaga kesehatan yang bersangkutan.
(3)   Keputusan Menteri baik berupa peringatan atau tindakan administrative disampaikan kepada yang bersangkutan dengan tembusan kepada instansi yang bersangkutan dan Perhimpunan profesi tenaga kesehatan yang terkait.


 BAB III
PENUTUP


A.          Kesimpulan
Majelis etika profesi merupakan badan perlindungan hukum terhadap para bidan. Oleh sebab itu, segala aspek yang menyangkut tindakan atau pelayanan yang dilakukan bidan telah diatur dalam undang-undang dan hokum terkait.
Bidan merupakan profesi yang mempunyai tanggung jawab yang besar dimana keselamatan ibu dan bayinya tergantung dari kesiapan dan profesionalisme kerja seorang bidan. Diharapkan dengan adanya kode etik profesi, bidan mampu mengetahui batas-batas dari wewenang sebagai tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Ada pun pelanggaran etik yang mungkin dilakukan oleh bidan, maka tugas majelis etika profesi yang menyelesaikannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
B.           Saran
Setiap bidan harus menjunjung tinggi norma dan etika profesi yang diembannya agar hal-hal yang menyimpang dari tugas dan wewenang bidan tidak terjadi serta bidan berupaya memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang sehat.
 

DAFTAR PUSTAKA


·                                       Sofyan,Mustika.50 tahun Ikatan Bidan Indonesia.2001.Pengurus Pusat IBI

·         Wahyunigsih,Heni Puji.2005.Etika Profesi Bidan.EGC:Jakarta

·         Soeiady,Sholeh.1996.Himpunan Peraturan Kesehatan.Arcan:Jakarta