TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF MENURUT JEAN PIAGET,ERIK ERIKSON,KOHLER
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam konteks psikologi pembelajaran, pengertian tentang
belajar sangat beragam, beragamnya pengertian tersebut dipengaruhi oleh teori
yang melandasi rumusan belajar sendiri. Teori belajar merupakan penjelasan atas
sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Slameto (2010:2) menyatakan bahwa belajar ialah
suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan
tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Pada
proses pembelajaran di sekolah, guru seringkali dihadapkan pada dinamika yang
berkaitan dengan perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan dan
perkembangan yang terjadi pada peserta didik ini harus mendapat perhatian dari
guru, karena dengan ini guru dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam proses pembelajaran.
Ada banyak
teori-teori belajar serta implementasinya
dalam pembelajaran, salah satunya yaitu teori yang dikemukakan oleh Piaget.
Piaget mempunyai nama lengkap Jean Piaget lahir di Swiss tepatnya di Neuchatel
pada tahun 9 Agustus 1896 dan meninggal 16
September 1980 pada umur 84 tahun. Teori perkembangan kognitif Piaget
banyak mempengaruhi dunia pendidikan, terutama pendidikan kognitif pada masa
anak–anak sampai remaja. Dalam teorinya Piaget mengemukakan bahwa secara umum
semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meski jenis dan tingkat
pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak terjadi
secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua
perubahan yang terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang
diperlukan untuk mengubah atau meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Teori
Jean Piaget
2.
Teori
Erikson
3.
Teori Kohler
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Jean Piaget
Para ahli filsafat
berabad-abad berdebat tentang bagaimana manusia memperoleh kebenaran atau
pengetahuan. Dua aliran, yaitu empirisme dan rasionalisme berkembang untuk
menjawab pertanyaan itu. Para penganut empirirme (Locke, Berkeley, dan Horne)
menyatakan bahwa sesungguhnya pengetahuan bersumber dari luar individu dan
pengetahuan itu diinternalisasi oleh indra-indra. Sedangkan para rasionalisme
seperti Descartes, Spinoza, dan Kant menyatakan bahwa penalaran lebih penting
dari pada pengalaman indra sebab penalaran membuat kita tahu dengan penuh
keyakinan akan banyak kebenaran yang tidak dicapai oleh pengalaman-pengalaman
indra. Teori piaget muncul karena keberatannya terhadap aliran empirisme maupun
aliran rasionalisme, dan menurutnya, teorinya merupakan sistesis keduanya
(Dahar, 2006:132), dapat dilihat pada gambar berikut ini.
1.
Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget
Kognitif berhubungan dengan kemampuan kognisi. Kognisi
adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses
berpikir tentang seseorang atau sesuatu (Wikipedia, 2013). Teori kognitif
berhubungan dengan bagaimana kita memperoleh, memproses, dan menggunakan
informasi (Lefrancois, 1997). Sedangkan kemampuan kognisi diartikan dengan
kecerdasan atau intelegensi (Wikipedia, 2013). Aktivitas yang timbul sebagai
akibat dari adanya kemampuan kognisi adalah mengingat, menganalisis, memahami,
menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Hal ini berhubungan dengan
kemampuan otak untuk berpikir atau adanya aktivitas berpikir.
Furth & Wachs (1975) menyatakan bahwa “Piaget's
theory states clearly that the general development of intelligence is the basis
on which any specific learning rests.” Teori Piaget umumnya merupakan
perkembangan intelegensi sebagai dasar dari setiap pembelajaran. Teori
perkembangan piaget memperlihatkan bagaimana interaksi anak dengan lingkungan
menyebabkan atau membawa ke perkembangan kognitif.
Perkembangan kognitif mengacu pada tahapan - tahapan dan
proses – proses yang terlibat di dalam pengembangan intelektual anak
(Lefrancois, 1997). Djiwandono (2002) menjelaskan bahwa Piaget mendefinisikan
kemampuan atau perkembangan kognitif sebagai hasil dari hubungan perkembangan
otak dan sistem nervous dan pengalaman – pengalaman yang membantu individu
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Teori perkembangan kognitif disebut teori
belajar karena berkenaan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar (Ruseffendi,
2006).
2.
Beberapa Konsep Teori Jean Piaget
Berikut ini dijelaskan Konsep Teoritis Utama Jean Piaget
(Hergenhahn & Olson, 2008:313-318), yaitu sebagai berikut:
a.
Inteligensi
Intelegensi adalah ciri bawaan yang dinamis sebab tindakan
yang cerdas akan berubah saat organisme itu makin matang secara biologis dan
mendapat pengalaman; bagian internal dari setiap organisme karena semua
organisme yang hidup selalu mencari kondisi yang kondusif untuk kelangsungan
hidup mereka. (Piaget dalam Hergenhahn & Olson, 2008). Teori piaget
ini berusaha mencari tahu bagaimana perkembangan kemampuan intelektual.
b.
Skemata
Skema (Schema; jamak: schemata) merupakan
potensi umum yang dimiliki organisme untuk bertindak dengan cara tertentu.
Tindakan tersebut seperti memegang, menatap, menggapai, dan sebagainya.
Misalnya skema memegang adalah kemampuan umum untuk memegang sesuatu.
Skema memegang ini dapat dianggap sebagai struktur kognitif yang membuat
tindakan memegang bisa dimungkinkan. Sedangkan schemata merupakan kumpulan dari
skema-skema. Ruseffendi (2006:135) meyatakan bahwa schemata merupakan kegiatan
penyelarasan perbuatan fisik dan perbuatan mentalnya. Schemata merupakan
penyelarasan antara akal dan geraknya.
c.
Asimilasi dan Akomodasi
Asimiliasi adalah proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur kognitif
seseorang, atau dengan kata lain asimilasi yaitu pencocokan atau penyesuaian
antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Asimilasi merupakan
penyerapan informasi baru ke dalam pikiran (Ruseffendi, 2006). Struktur
kognitif yang ada pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh organisme.
Misalnya, jika skema menggapai, memegang sudah tersedia bagi anak, maka segala
sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke schemata. Selanjutnya,
akomodasi merupakan proses kedua yang penting untuk menghasilkan mekanisme
untuk perkembangan intelektual. Ruseffendi (2006) menyatakan bahwa akomodasi
merupakan menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru
sehingga informasi tersebut punya tempat.
Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan
akomodasi. Kita merespon dunia berdasarkan pengalaman kita sebelumnya
(asimilasi), tetapi setiap pengalaman memuat aspek-aspek yang berbeda dengan pengalaman
yang kita alami sebelumnya. Aspek unik dari pengalaman ini menyebabkan
perubahan dalam struktur kognitif (akomodasi).
d.
Ekuilibrasi
Menurut Piaget, semua organisme punya tendensi bawaan untuk
menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan lingkungannya. Ekuilibrasi
(penyeimbangan) adalah tendensi bawaan untuk mengorganisasikan pengalaman agar
mendapatkan adaptasi yang maksimal. Ekuilibrasi ini diartikan juga sebagai
dorongan kearah keseimbangan secara terus menerus.
e.
Interiorisasi
Interiorisasi merupakan penurunan ketergantungan pada
lingkungan fisik dan meningkatkannya penggunaan struktur kognitif. Pada awalnya
anak merespon stumuli lingkungan secara langsung dengan gerak refleks.
Pengalaman awal melibatkan penggunaan dan elaborasi schemata bawaan seperti
memegang, menghisap, menggapai. Hasil pengalaman disimpan dalam struktur
kognitif. Dengan banyaknya pengalaman, anak mengembangkan struktur kognitif dan
memungkinkan untuk beradaptasi dengan mudah. Sehingga pada akhirnya anak mampu
merespon situasi yang lebih kompleks dan tidak berganting pada situasi
sekarang. Misalnya mereka mampu memikirkan objek yang sebelumnya tidak mampu
mereka pikirkan.
3.
Aspek yang diteliti dalam perkembangan Intelektual
Dahar
(2011) mejelaskan bahwa ada tiga aspek yang diteliti oleh Piaget dalam
perkembangan intelektual yaitu struktur, isi (konten), dan fungsi.
a.
Struktur
Struktur erat hubungannya dengan struktur yaitu operasi.
Piaget berpendapat bahwa ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan
tindakan mental dan perkembangan berpikir logis anak. Tindakan (action)
menuju pada perkembangan operasi dan selanjutnya operasi menuju pada
perkembangan struktur.
Operasi-operasi mempunyai ciri-ciri yaitu sebagai berikut.
Ø Internalisasi
Operasi
merupakan tindakan-tindakan yang terinternalisasi (penghayatan). Ini berarti
antara tindakan fisik dan tindakan mental tidak terdapat garis pemisah.
Misalnya, bila anak mengumpulkan semua kelereng kuning dan mera, tindakannnya
ialah tindakan mental dan tindakan fisik. Secara fisik ia memindahkan kelereng-
kelereng itu, tetapi tindakannya itu dibimbing oleh hubungan “sama” dan
‘berbeda” yang diciptakan dalam pikirannya.
Ø Reversibel
Operasi-operasi
itu reversibel (dapat dibalik). Misalnya menambah dan mengurang merupakan
operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan. 2 + 1 = 3, 3 – 1
= 2.
Ø Terintergrasi
dengan struktur-struktur dan operasi-operasi lainnya.
Tidak
ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu berhubungan dengan struktur
atatu sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahan-pengurangan berhubungan
dengan operasi klasifikasi, pengurutan, dan konversi bilangan.oprasi itu saling
membutuhkan.
b.
Isi
Hal yang dimaksud dengan isi ialah pola perilaku anak yang
khas yang tercemin pada respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah
atau situasi yang dihadapi misalnya perubahan penalaran anak semenjak kecil
hingga dewasa, konsepsi anak tentang alam seperti pohon-pohon, matahari dan
lainnya.
c.
Fungsi
Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat
kemajuan intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada
dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk
mensistematikkan atau mengorganisasi proses fisik atau psikologis menjadi
sistem yang teratur dan berhubungan atau terstruktur. Misalnya seorang bayi
mempunyai struktur-struktur perilaku untuk pemfokusan visual dan memegang
secara terpisah. Pada suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu dapat
mengorganisasi kedua struktur perilaku ini menjadi struktur tingkat tinggi
dalam memegang suatu benda sambil melihat benda itu. Dengan organisasi,
struktur fisik dan dan psikologi diintegrasi menjadi struktur tingkat tinggi.
Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses,
yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses asimilasi seseorang
menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menghadapi masalah
yang dihadapinya dalam lingkungan. Dalam proses akomodasi, seseorang memerlukan
modifikasi struktur mental yang ada dalam mengadakan respon terhadap tantangan
lingkungan.
4.
Tahap- Tahap Perkembangan Kognitif
Piaget berpendapat bahwa manusia sama secara genetik dan
mempunyai pengalaman yang hampir sama, sehingga mereka dapat diharapkan untuk
sungguh – sungguh memperlihatkan keseragaman dalam perkembangan kognitif
mereka.
Piaget (Hergenhahn & Olson, 2008) menjelaskan
perkembangan tahap – tahap perkembangan kognitif, yaitu sebagai berikut:
a.
Sensorimotor (0- 2 tahun)
(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan
inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
Periode 1 :
Refleks (umur 0 – 1 bulan)
Periode paling awal tahap sensorimotor adalah periode refleks. Ini
berkembang sejak bayi lahir sampai sekitar berumur 1 bulan. Pada periode ini,
tingkah laku bayi kebanyak bersifat refleks, spontan, tidak disengaja, dan tidak
terbedakan.
Tindakan seorang bayi didasarkan pada adanya rangsangan dari luar yang
ditanggapi secara refleks.
Periode 2 :
Kebiasaan (umur 1 – 4 bulan)
Pada periode perkembangan ini, bayi mulai membentuk kebiasan-kebiasaan
pertama. Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulang-ngulang suatu
tindakan. Refleks-refleks yang dibuat diasimilasikan dengan skema yang telah
dimiliki dan menjadi semacam kebiasaan, terlebih dari refleks tersebut
menghasilkan sesuatu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan
benda-benda di dekatnya. Ia mulai mengaakan diferensiasi akan macam-macam benda
yang dipegangnya. Pada periode ini pula, koordinasi tindakan bayi mulai
berkembang dengan penggunaan mata dan telinga. Bayi mulai mengikuti benda yang
bergerak dengan matanya. Ia juga mulai menggerakkan kepala kesumber suara yang
ia dengar. Suara dan penglihatan bekerja bersama. Ini merupakan suatu tahap penting
untuk menumbuhkan konsep benda.
Periode 3 :
Reproduksi kejadian yang menarik (umur 4 – 8 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun
yang ada di sekitarnya (Piaget dan Inhelder 1969). Tingkah laku bayi semakin
berorientasi pada objek dan kejadian di luar tubuhnya sendiri. Ia menunjukkan
koordinasi antara penglihatan dan rasa jamah (menyentuh dengan jari). Pada
periode ini, seorang bayi juga menciptakan kembali kejadian-kejadian yang
menarik baginya. Ia mencoba menghadirkan dan mengulang kembali peristiwa yang
menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder). Piaget mengamati bahwa bila
seorang anak dihadapkan pada sebuah benda yang dikenal, seringkali hanya
menunjukkan reaksi singkat dan tidak mau memperhatikan agak lama. Oleh Piaget,
ini diartikan sebagai suatu “pengiaan” akan arti benda itu seakan ia
mengetahuinya.
Periode 4 :
Koordinasi Skemata (umur 8 – 12 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil
tindakannya. Ia sudah mulai menggunakan sarana untuk mencapai suatu hasil.
Sarana-sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil diperoleh dari
koordinasi skema-skema yang telah ia ketahui. Bayi mulai mempunyai kemampuan
untuk menyatukan tingkah laku yang sebelumnya telah diperoleh untuk mencapai
tujuan tertentu. Pada periode ini, seorang bayi mulai membentuk konsep tentang
tetapnya (permanensi) suatu benda. Dari kenyataan bahwa dari seorang bayi dapat
mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai mempunyaikonsep tentang
ruang.
Periode 5 :
Eksperimen (umur 12 – 18 bulan)
Unsur pokok pada perode ini adalah mulainya anak memperkembangkan cara-cara
baru untuk mencapai tujuan dengan cara mencoba-coba (eksperimen) bila
dihadapkan pada suatu persoalan yang tidak dipecahkan dengan skema yang ada,
anak akan mulai mencoba-coba dengan Trial and Error untuk menemukan cara
yang baru guna memecahkan persoalan tersebut atau dengan kata lain ia mencoba
mengembangkan skema yang baru. Pada periode ini, anak lebih mengamati
benda-benda disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda di sekitarnya
bertingkah laku dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak ini
menjadi intelegensi sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan
yang baru. Pada periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan
lengkap. Tentang keruangan anak mulai mempertimbangkan organisasi perpindahan
benda-benda secara menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara
serentak.
Periode
Refresentasi (umur 18 – 24 bulan)
Periode ini adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor.
Seorang anak sudah mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya
berdasarkan rabaan fisis dan eksternal, tetapi juga dengan koordinasi internal
dalam gambarannya. Secara mental, seorang anak mulai dapat menggambarkan suatu
benda dan kejadian, dan dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan gambaran
tersebut. Konsep benda pada tahap ini sudah maju, refresentasi ini membiarkan
anak untuk mencari dan menemukan objek-objek yang tersembunyi. Sedangkan konsep
keruangan, anak mulai sadar akan gerakan suatu benda sehingga dapat mencarinya
secara masuk akal bila benda itu tidak kelihatan lagi.
Karakteristik
anak yang berada pada tahap ini adalah sebagai berikut:
1)
Berfikir melalui perbuatan (gerak)
2)
Perkembangan fisik yang dapat diamati adalah gerak-gerak refleks sampai ia
dapat berjalan dan bicara.
3)
Belajar mengkoordinasi akal dan geraknya.
Cenderung intuitif egosentris, tidak rasional dan
tidak logis
b.
Pra-operasional (2 – 7 tahun)
(Ciri pokok perkembangannya
adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif)
Tahap
ini terbagi menjadi dua, yakni:
1)
Pemikiran prakonseptual (2 - 4 tahun)
Pada tahap ini, anak-anak mulai mengelompokkan benda-benda
dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, tetapi mereka melakukan
banyak kesalahan karena konsep mereka. Misalnya: semua lelaki adalah ayah dan
semua perempuan adalah ibu, dan semua mainan adalah milikku. Menurut Piaget
anak pra-operasional bersifat egosentris, misalnya saja ketika mereka
berkomunikasi, mereka akan terus berbicara tanpa mengharapkan saling
mendengarkan atau saling menjawab (Dahar, 2011:138).
Selain itu, pada tahap ini anak merepresentasikan sesuatu
dengan bahasa, gambar dan permainan khayalan (Ruseffendi, 2006). Anak biasanya
akan mengungkapkan idea atau gagasan melalui bahasa, gambar agar suatu konsep
lebih mudah dipahami atau dipahami.
2)
Periode perkembangan intuitif (4-7 tahun)
Pada tahap ini, anak – anak memecahkan masalah secara
intuitif, bukan berdasarkan kaidah-kaidah logika. Berikut beberapa ciri yang diungkapkan Ruseffendi (2006)
pada tahap ini, yaitu;
Ø Pertimbangan
anak didasarkan pada persepsi pengalaman pribadi, bukan pada penalaran.
Ø Anak
mengaitkan pengalaman yang ada pada dunia luar dengan pengalaman pribadinya.
Anak mengira bahwa cara berpikirnya dan pengalamannya dimiliki oleh orang lain.
Misalnya: bila anak melihat gambar terbalik dari arah sisi meja satu, maka ia
mengira temannya yang berhadapan pada sisi lain dari meja akan melihat gambar
itu terbalik pula.
Ø Anak
mengira bahwa benda-benda tiruan memiliki sifat-sifat yang sebenarnya.
Misalnya: perlakuan anak terhadap boneka sama dengan anak yang sebenarnya
(diberi makan, diajak berbicara, ditidurkan, dan sebagainya).
Ø Anak
berpikir bahwa benda akan berbeda apabila kelihatannya berbeda. Pemikiran anak
pada tahap ini adalah kegagalan mengembangkan konservasi (Hergenhahn & Olson, 2008). Konservasi adalah kemampuan untuk
menyadari bahwa jumlah, panjang, substansi atau luas akan tetap sama meski
dipresentasikan kepada anak dalam bentuk yang berbeda-beda (Hergenhahn & Olson, 2008)
Misalnya:
Ambil 2 deretan koin
yang sama banyak. Pada mulanya anak disuruh menghitung jumlah koin
Pada
gambar (a) anak menyatakan bahwa banyaknya koin dari kedua baris sama. Akan
tetapi ketika baris kedua diubah seperti gambar (b), anak menyatakan bahwa koin
pada baris kedua lebih banyak dari baris pertama. Hal ini dikarenakan anak
belum memiliki konsep kekekalan banyak.
Contoh
lainnya:
Seorang
anak ditunjukkan wadah berisi air dengan volume tertentu.
Pada
tahap ini, anak cenderung mengatakan bahwa wadah yang lebih tinggi yang lebih
banyak airnya. Anak secara mental tidak bisa membalikkan operasi kognitif, yang
berarti dia tidak dapat secara mental menuangkan air dari wadah yang tinggi ke
wadah yang lebih pendek dan tidak dapat melihat bahwa jumlah cairan itu
sebenarnya adalah sama. Hal ini dikarenakan anak belum memiliki konsep
kekekalan materi (zat).
Ø Anak
pada tahap ini memiliki kesukaran dan mengulang pemikiran (perbuatan).
Ø Anak
mendapat kesukaran untuk memikirkan dua aspek atau lebih secara serempak.
Misalnya: anak merasa sulit jika diminta untuk mengumpulkan kelereng besar dan
berwarna hijau.
Ø Anak
tidak berpikir induktif maupun deduktif tetapi transitif (khusus ke khusus).
Ø Anak
mampu memanipulasi benda kongkrit.
Ø Anak
mulai dapat membilang dengan menggunakan benda konkrit, misalnya dengan
menggunakan jari tangan.
Ø Pada
akhir tahap ini, anak dapat memberikan alasan atau keyakinannya, dapat
mengelompokkan benda-benda, dan mulai memperoleh konsep yang sebenarnya.
Ø Anak
belum memahami korespodensi satu – satu untuk memahami banyaknya (kesamaan dan
ketidaksamaan).
a.
Operasi Konkret (7 – 11 tahun)
(Ciri pokok perkembangannya
anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian konkret)
Tahap ini umumnya ada pada anak-anak sekolah dasar
(Ruseffendi, 2006). Operasi konkrit adalah dimana anak dapat memahami operasi
(logis) dengan bantuan benda-benda konkrit. Pada tahap ini, anak mulai
mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan konservasi, kemampuan
mengelompokkan secara memadai, melakukan pengurutan, dan menangani konsep
angka. Selama tahap ini, proses pemikiran anak mengarah pada kejadian nyata
yang dapat diamati, anak belum mampu melakukan problem yang bersifat abstrak.
Anak pada tahap ini sudah mampu melihat sudut pandangan
orang lain, disamping itu anak juga senang membuat bentukan, memanipulasi
benda, dan membuat alat mekanis (Ruseffendi, 2006).
Anak dalam periode operasional konkret memilih mengambil
keputusan logis bila menghadapi pertentangan antara pikiran dan persepsi, dan
bukan keputusan perseptual seperti anak pra-operasional (Dahar, 2011). Operasi
pada periode ini bersifat konkret, dan belum mencapai hipotesis dan proposisi
verbal.
Adapun operasi pada tahap ini (Dahar, 2011), yaitu sebagai
berikut:
Ø Kombinativitas
atau klasifikasi
Kombinativitas
atau klasifikasi merupakan suatu operasi yang menggabungkan dua atau lebih
kelas menjadi kelompok lebih besar, misalnya: semua anak laki-laki + semua anak
perempuan = semua anak, dan a > b, b > c maka a > c.
Ø Reversibilitas
Setiap
operasi logis atau matematis dapat ditiadakan dengan operasi yang berlawanan,
misalnya 7 + 3 = 10, maka 10 – 7 = 3.
Ø Asosiativitas
Operasi
yang menggabungkan kelas-kelas dalam urutan apa saja:
(1
+ 3) + 5 = 1 + (3 + 5). Dalam penalaran, operasi ini mengizinkan anak sampai
pada jawaban dengan banyak cara.
Ø Identitas
Identitas
adalah operasi dimana terdapat suatu unsur nol yang bila digabungkan dengan
unsure atau kelas apapun ,tidak menghasilkan perubahan. Seperti 10 + 0 = 10.
b.
Operasi Formal (11 tahun ke atas)
(Ciri pokok perkembangannya
adalah hipotesis, abstrak, dan logis)
Anak dapat menangani situasi hipotesis, dan proses berpikir
mereka semakin logis dan tidak lagi tergantung pada hal-hal yang langsung dan
nyata. Kemajuan pada tahap ini adalah anak tidak perlu berpikir dengan
pertolongan benda atau kejadian konkret karena pada tahap ini anak sudah mampu
berpikir abstrak. Seperti untuk menjawab pertanyaan berikut: Ani lebih tinggi
daripada siti. Ani lebih pendek daripada lili. Siapakah yang lebih pendek dari
ketiga anak ini?
Ruseffendi (2006) menambahkan beberapa ciri yang ada pada
tahap operasi formal ini, yaitu sebagai berikut:
Ø Anak
dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, misalnya dapat bermain
“bridge” dengan baik, dapat menyusun desain percobaan. Dalam diskusi anak dapat
membedakan antara argumentasi dan fakta.
Ø Mulai
belajar membuat hipotesis (perkiraan) sebelum berbuat.
Ø Dapat
merumuskan dalil atau teori (misalnya teorema Pythagoras), menggeneralisasikan
hipotesis.
Ø Dapat
menghayati derajat kebaikan dan kesalahan dan dapat memandang definisi, aturan,
dalil dalam konteks yang benar dan objektif.
Ø Dapat
berpikir deduktif dan induktif; dapat memberikan alasan-alasan dari kombinasi
pernyataan dengan konjungsi, disjungsi, negasi, implikasi.
Ø Mampu
mengerti dan menggunakan kompleks seperti permutasi, kombinasi, perbandingan,
korelasi dan probabilitas.
1.
Faktor – Faktor yang Menunjang Perkembangan Intelektual
Piaget (Dahar, 2011) menyatakan lima faktor yang
mempengaruhi tingkat perkembangan intelektual, yaitu sebagai berikut:
1. Kedewasaan (maturation)
Perkembangan
sistem saraf sentral, otak, koordinasi motorik, dan manifestasi fisik lainnya
mempengaruhi perkembangan kognitif. Walaupun kedewasaan atau maturasi merupakan
faktor penting dalam perkembangan intelektual, maturasi tidak cukup menerangkan
perkembangan intelektual ini.
2. Pengalaman Fisik (physical
experience)
Interaksi
dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstraksi berbagai sifat fisik
benda-benda. Misalnya bila anak menempatkan sebuah benda dalam air, kemudian
dia melihat bahwa benda itu terapung. Pengalaman fisik ini meningkatkan
kecepatan perkembangan anak sebab observasi benda-benda serta sifat-sifat benda
tersebut membantu timbulnya pikiran yang lebih kompleks.
3. Pengalaman Logika Matematis
(logical-mathematical experience)
Bila
anak mengamati benda-benda, selain pengalaman fisik ada pula pengalaman lain
yang diperoleh anak itu, yaitu pada waktu ia mengkonstruksi hubungan-hubungan
antara objek-objek. Misalnya anak yang sedang menghitung beberapa kelereng yang
dimilikinya dan ia memiliki “sepuluh” kelereng. Konsep “sepuluh” bukannya
sifatnya kelereng – kelereng itu, melainkan sifat konstruksi lain yang serupa,
yang disebut pengalaman logika matematika, untuk membedakannya dari pengalaman
fisik. Proses konstruksi biasanya disebut abstraksi reflektif. Abstraksi reflektif
berbeda dengan abstraksi empiris yang dikemukakan oleh Piaget.
Ø Abstraksi
empiris, dimana anak memperhatikan sifat fisik tertentu suatu benda dan tidak
mengindahkan hal-hal lain. Misalnya: waktu anak mengabstrak warna maka ia tidak
memperdulikan hal-hal lainnya seperti massa dan bahan dasar benda.
Ø Abstraksi
reflektif
Abstraksi
reflektif melibatkan pembentukan hubungan-hubungan antara benda-benda, misalnya
konsep “sepuluh” pada kelereng tidak terdapat pada kelereng. “sepuluh“ hanya
terdapat dalam kepala anak yang sedang menghitung kelereng itu.
4. Transmisi Sosial (social
transmission)
Pengetahuan
yang diperoleh anak dari pengalaman fisik diabstraksi dari benda-benda fisik.
Dalam hal logika-matematika, pengetahuan dikonstruksi dari tindakan-tindakan
anak terhadap benda-benda itu.
5. Proses Keseimbangan (equilibration)
Ekuilibrasi
merupakan kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan selama periode
ketidakseimbangan. Ekuilibrasi mendorong adanya pertumbuhan intelektual.
B. TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
ERIK ERIKSON
“Man the un-known” (manusia adalah makhluk yang
misteri) demikian di ungkapkan oleh Alexis Carel ketika menggambarkan
ketidaktuntasan pencarian hakikat manusia oleh para ahli. Banyak ikhtiar
akademis yang dilakukan oleh para ahli saat ingin memapar siapa sesungguhnya
dirinya. Ilmu-ilmu seperti filsafat, ekonomi, sosiologi, antropologi juga
psikologi dan beberapa ilmu lainnya adalah ilmu yang membahas tentang manusia
dengan perspektif masing-masing.
Erik Erikson adalah salah satu
diantara para ahli yang melakukan ikhtiar itu. Dari perspektif psikologi, ia
menguraikan manusia dari sudut perkembangannya sejak dari masa 0 tahun hingga
usia lanjut. Erikson beraliran psikoanalisa dan pengembang teori Freud.
Kelebihan yang dapat kita temukan dari Erikson adalah bahwa ia mengurai seluruh
siklus hidup manusia, tidak seperti Freud yang hanya sampai pada masa remaja.
Termasuk disini adalah bahwa Erikson memasukkan faktor-faktor sosial yang
mempengaruhi perkembangan tahapan manusia, tidak hanya sekedar faktor libidinal
sexual.
A. Tentang Erik Erikson (1902-1994)
Erik Erikson lahir di Franfrurt
Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902 adalah ahli analisa jiwa dari Amerika, yang
membuat kontribusi-kontribusi utama dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada
pengembangan anak dan pada krisis identitas. Ayahnya (Danish) telah meninggal
dunia sebelum ia lahir. Hingga akhirnya saat remaja, ibunya (yang seorang
Yahudi) menikah lagi dengan psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger.
Erikson kecil bukanlah siswa pandai,
karena ia adalah seorang yang tidak menyenangii atmosfer sekolah yang formal.
Ia oleh orang tua dan teman-temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga
ia pun tidak sempat menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke
beberapa negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya
seorang ilmuwan sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama ia berjumpa
dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Dengan dorongannya, ia
mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia
mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak. Terakhir pada
tahun 1960 ia dianugerahi gelar profesor dari Universitas Harvard.
Setelah
menghabiskan waktu dalam perjalanan panjangnya di Eropa Pada tahun 1933 ia
kemudian berpindah ke USA dan kemudian ditawari untuk mengajar di Harvad
Medical School. Selain itu ia memiliki pratek mandiri tentang psiko analisis
anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada Universitas California di Berkeley,
Yale, San Francisco Psychoanalytic Institute, Austen Riggs Center, dan Center
for Advanced Studies of Behavioral Sciences.
Selama periode
ini Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap
perkembangan anak. Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika asli untuk
membantu merumuskan teori-teorinya. Berdasarkan studinya ini, membuka peluang
baginya untuk menghubungkan pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan
orangtua dan nilai kemasyarakatan.
Keinginannya
untuk meneliti perkembangan hidup manusia berdasarkan pada pengalamannya ketika
di sekolah. Saat itu anak-anak lain menyebutnya Nordic karena ia tinggi,
pirang, dan bermata biru. Di sekolah grammar ia ditolak karena berlatar
belakang Yahudi.
Buku pertamanya
adalah Childhood dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik
di dalam bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak
muda, Erikson mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu
konflik yang tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain
yaitu: Young Man Luther (1958), Insight and Responsibility
(1964), Identity (1968), Gandhi's Truth (1969): yang menang pada
Pulitzer Prize and a National Book Award dan Vital Involvement in Old Age
(1986).
B. Tahap Perkembangan Hidup Manusia
Apakah perkembangan psikososial itu?
Teori Erik Erikson tentang
perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori
perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam
psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang
dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan
psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego
adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson,
perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang
kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa
kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi
positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan
psikososial.
Ericson
memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada 8
(delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya
bahwa tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat
berikutnya walau ia tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan
dalam teori Erikson berhubungan dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika
tingkatannya tertangani dengan baik, orang itu akan merasa pandai. Jika
tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan tampil dengan
perasaan tidak selaras.
Dalam setiap
tingkat, Erikson percaya setiap orang akan mengalami konflik/krisis yang
merupakan titik balik dalam perkembangan. Erikson berpendapat, konflik-konflik
ini berpusat pada perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan untuk
mengembangkan kualitas itu. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi
meningkat. Begitu juga dengan potensi kegagalan.
Tahap 1. Trust
vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
·
Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
·
Tingkat pertama teori perkembangan
psikososial Erikson terjadi antara kelahiran sampai usia satu tahun dan
merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup.
·
Oleh karena bayi sangat bergantung, perkembangan
kepercayaan didasarkan pada ketergantungan dan kualitas dari pengasuh kepada
anak.
·
Jika anak berhasil membangun
kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia. Pengasuh yang tidak
konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat mendorong
perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam
mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa
dunia tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2.
Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
· Terjadi pada
usia 18 bulan s/d 3 tahun
·
Tingkat ke dua dari teori perkembangan
psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal kanak-kanak dan berfokus pada
perkembangan besar dari pengendalian diri.
·
Seperti Freud, Erikson percaya bahwa
latihan penggunaan toilet adalah bagian yang penting sekali dalam proses ini.
Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson percaya bahwa belajar
untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada perasaan
mengendalikan dan kemandirian.
·
Kejadian-kejadian penting lain meliputi
pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang
disukai, dan juga pemilihan pakaian.
·
Anak yang berhasil melewati tingkat ini
akan merasa aman dan percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa
tidak cukup dan ragu-ragu terhadap diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative)
vs rasa bersalah (Guilt)
·
Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
·
Selama masa usia prasekolah mulai
menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia melalui permainan langsung dan
interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena
menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan
bertujuan.
·
Anak yang berhasil dalam tahap ini
merasa mampu dan kompeten dalam memimpin orang lain. Adanya peningkatan rasa
tanggung jawab dan prakarsa.
·
Mereka yang gagal mencapai tahap ini
akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang inisiatif. Perasaan
bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi
kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas.
·
Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa
bersalah dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs
inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
· Terjadi pada
usia 6 s/d pubertas.
· Melalui
interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap
keberhasilan dan kemampuan mereka.
· Anak yang
didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten dan
percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
· Anak yang
menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau
teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
· Prakarsa yang dicapai
sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat dengan
pengalaman-pengalaman baru.
· Ketika beralih
ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka
mengarahkan energi mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual.
· Permasalahan
yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnya rasa rendah
diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
· Erikson yakin bahwa
guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan anak-anak.
Tahap 5. Identity vs
identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
· Terjadi pada
masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun
· Selama remaja
ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepakaan dirinya.
· Anak dihadapkan
dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya, dan kemana mereka
menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan).
· Anak dihadapkan
memiliki banyak peran
baru dan status sebagai orang dewasa –pekerjaan dan romantisme, misalnya, orangtua harus
mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan jalan yang berbeda dalam suatu
peran khusus.
· Jika remaja
menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk
diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
· Jika suatu
identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja
tidak secara memadai menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif
tidak dijelaskan, maka kebingungan identitas merajalela.
· Namun bagi
mereka yang menerima dukungan memadai maka eksplorasi personal, kepekaan diri,
perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam tahap ini.
· Bagi mereka
yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa
tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.
Tahap 6. Intimacy
vs isolation (keintiman vs keterkucilan)
·
Terjadi selama masa dewasa awal (20an
s/d 30an tahun)
·
Erikson percaya tahap ini penting,
yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat dan siap berkomitmen dengan
orang lain.
·
Mereka yang berhasil di tahap ini, akan
mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
·
Erikson percaya bahwa identitas
personal yang kuat penting untuk mengembangkan hubungan yang intim. Penelitian
telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit kepakaan diri cenderung
memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan dan lebih sering
terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi.
·
Jika mengalami kegagalan, maka akan
muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity
vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
· Terjadi selama
masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
· Selama masa
ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan
keluarga.
· Mereka yang
berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka berkontribusi terhadap
dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas.
· Mereka yang
gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di
dunia ini.
Tahap 8. Integrity
vs depair (integritas vs putus asa)
· Terjadi selama
masa akhir dewasa (60an tahun)
· Selama fase ini
cenderung melakukan cerminan diri terhadap masa lalu.
· Mereka yang
tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya percuma dan mengalami
banyak penyesalan.
· Individu akan
merasa kepahitan hidup dan putus asa
· Mereka yang
berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan dan
kegagalan yang pernah dialami.
· Individu ini
akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat menghadapi kematian.
C. Wolfgang
Kohler
Wolfgang Kohler, lahir di Reval,
Estonia, Rusia, 21 Januari 1887. Ayahnya adalah seorang kepala sekolah
saudara-saudara perempuannya ada yang menjadi pendidik dan ada pula yang
menjadi perawat dan kakaknya adalah seorang ilmuwan terkemuka. Dimasa kecilnya
Kohler sangat tertarik pada sains, musik klasik, dan piano. Kohler menempuh
pendidikan di Tubingen (1905-1906), Bonn (1906-1907), dan Berlin (1907-1909).
Di Berlin inilah ia memperoleh gelar Ph.D. dengan disertasinya tentang
psiko-akustik.
Setelah mendapatkan gelar doktor,
Köhler bekerja di lembaga Psikologi di Frankfurt (1910-1913) dengan Max
Wertheimer dan Kurt Koffka. Mulai dari sinilah Kohler dan kawan-kawan
melahirkan psikologi Gestalt. Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang berarti
“keseluruhan”. Untuk memperkuat teorinya Kohler mengadakan penelitian pada
sembilan Simpanse yang terkurung pada beberapa sangkar. Salah satu dari
Simpanse tersebut bernama Sultan. Penelitian tersebut dilakukan selama kurang
lebih tujuh tahun yang dimulai dari tahun 1913. Pulau Canary menjadi pilihan
Kohler dalam melakukan eksperimen.
Kohler
memberikan kontribusi yang besar di bidang psikologi. Dia menulis secara
ekstensif pada penelitian hewan dan pada pemahaman persepsi manusia. Semasa hidupnya Kohler mendapat
beberapa penghargaan sebagai berikut. Kohler meninggal pada tanggal 11 Juni
1967 di Enfield, New Hampshire, Amerika Serikat.
Pengertian
Insight Learning
Teori Gestalt dikembangkan ole Kohler dan kawan-kawan. Teori
ini berbeda dengan teori – teori yang telah dijelakan terdahulu. Menurut teori
Gestalt, belajar addalah prose mengembangkan insight. Insight adalah pemahaman
terhadap hubungan antarbagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda
dengan teori behaviouritik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu
bersifat mekanistis sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight.
Teori Gestalt justru menganggap bahwa insight adalah inti dari pembentukan
tingkah laku. Dengan demikian, maka belajar itu akan terjadi manakala
dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah
menghafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi itu anak akan mendapat insight
yang sangat berguna untuk menghadapi setiap masalah.
Timbulnya insight pada individu tergantung pada :
1) Kesanggupan Kesanggupan berkaitan
dengan kemampuan inteligensi individu.
2) PengalamanDengan belajar, individu
akan mendapatkan suatu pengalaman dan pengalaman itu akan menyebabkan munculnya
insight.
3) Taraf kompleksitas dari suatu situasi
Semakin kompleks masalah, maka akan semakin sulit untuk diatasi.
4) Latihan Latihan yang rutin akan
meningkatkan kemampuan insight dalam situasi yang bersamaan
5) Trial and ErrorApabila seseorang tidak dapat
memecahkan suatu masalah, seseorang akan melakukan percobaan-percobaan hingga
akhirnya menemukan insight untuk memecahkan masalah tersebut
Insight
yang merupakan inti dari belajar menurut Teori Gestalt, memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
1)
Transisi
dari presolution ke solution itu terjadi secara tiba-tiba (suddenly).
2)
Pemecahan
masalah yang diperoleh dengan insight akan tetap tinggal untuk waktu yang lama.
3)
Performance
yang didasarkan atas insight biasanya smooth dan bebas dari kesalahan.
4)
Pemecahan
atau prinsip yang diperoleh dengan insight akan mudah dialihkan/dikenakan pada
masalah yang lain. Hal ini akan jelas dalam kaitannya dengan transposition.
5)
Kemampuan
insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangkan
kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam
kelompok (spesiesnya).
6)
Insight
dipengaruhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
7)
Insight
tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
Eksperimen
Kohler
Untuk mendukung teorinya, Wolfgang Kohler
melakukan eksperimen pada Simpanse. Eksperimen tersebut dilakukan di Pulau
Canary tahun 1913 – 1920. Berikut ini adalah eksperimen yang dilakukannya.
Eksperimen I
Wolfgang Kohler membuat sebuah
sangkar yang didalamnya telah disediakan sebuah tongkat. Simpanse kemudian
dimasukkan dalam sangkar tersebut, dan di atas sangkar diberi buah pisang.
Melihat buah pisang yang tergelantung tersebut, Simpanse berusaha untuk
mengambilnya namun selalu mengalami kegagalan. Dengan demikian Simpanse
mengalami sebuah problem yaitu bagaimana bisa mendapatkan buah pisang agar
dapat dimakan. Karena didekatnya ada sebuah tongkat maka timbullah pengertian
bahwa untuk meraih sebuah pisang harus menggunakan tongkat tersebut.
Eksperimen II
Pada eksperimen yang kedua masalah
yang dihadapi oleh Simpanse masih sama yaitu bagaimana cara mengambil buah
pisang. Namun di dalam sangkar tersebut diberi dua tongkat. Simpanse mengambil
pisang dengan satu tongkat, namun selalu mengalami kegagalan karena buah pisang
diletakkan semakin jauh di atas sangkar. Tiba-tiba muncul insight (pemahaman)
dalam diri Simpanse untuk menyambung kedua tongkat tersebut. Dengan kedua
tongkat yang disambung itu, Simpanse menggunakannya untuk mengambil buah pisang
yang berada di luar sangkar. Ternyata usaha yang dilakukan oleh Simpanse ini
berhasil.
Eksperimen III
Dalam eksperimen yang ketiga
Wolfgang Kohler masih menggunakan sangkar, Simpanse, dan buah pisang. Namun
dalam eksperimen ini di dalam sangkar diberi sebuah kotak yang kuat untuk bisa
dinaiki oleh Simpanse. Pada awalnya Simpanse berusaha meraih pisang yang
digantung di atas sangkar, tetapi ia selalu gagal. Kemudian Simpanse melihat
sebuah kotak yang ada di dalam sangkar tersebut, maka timbullah insight
(pemahaman) dalam diri Simpanse yakni mengambil kotak tersebut untuk ditaruh
tepat dibwah pisang. Selanjutnya, Simpanse menaiki kotak dan akhirnya ia dapat
meraih pisang tersebut.
Eksperimen IV
Eksperimen yang
keempat masih sama dengan eksperimen yang ketiga, yaitu buah pisang yang
diletakkan di atas sangkar dengan cara agak ditinggikan, sementara di dalam
sangkar diberi dua buah kotak. Semula Simpanse hanya menggunakan kotak satu
untuk meraih pisang, tetapi gagal. Simpanse melihat ada satu kotak lagi di
dalam sangkar dan ia menghubungkan kotak tersebut dengan pisang dan kotak yang
satunya lagi. Dengan pemahaman tersebut, Simpanse menyusun kotak-kotak itu dan
ia berdiri di atas susunan kotak-kotak dan akhirnya dapat meraih pisang di atas
sangkar dengan tangannya.
Dari eksperimen-eksperimen tersebut,
Kohler menjelaskan bahwa Simpanse yang dipakai untuk percobaan harus dapat
membentuk persepsi tentang situasi total dan saling menghubungkan antara semua
hal yang relevan dengan problem yang dihadapinya sebelum muncul insight.
Dari percobaan-percobaan tersebut menunjukkan Simpanse dapat memecahkan
problemnya dengan insightnya, dan ia akan mentransfer insight
tersebut untuk memecahkan problem lain yang dihadapinya.
Melalui penelitian-penelitian yang
dilakukan oleh para tokoh gestalt, disusunlah hukum-hukum gestalt yang
berhubungan dengan pengamatan yaitu sebagai berikut ;
1. Hukum
Pragnaz
Hukum ini menyatakan bahwa
organisasi psikologis selalu cenderung untuk bergerak kearah penuh arti (pragnaz).
Menurut hukum ini, jika seseorang mengamati sebuah atau sekelompok objek, maka
orang tersebut akan cenderung memberi arti terhadap objek yang diamatinya.
2. Hukum
kesamaan (the law of similarity)
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal
yang sama cenderung membentuk gestalt atau kesatuan.
3. Hukum
keterdekatan (the law of proximity)
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal
yang saling berdekatan cenderung membentuk kesatuan.
4. Hukum
ketertutupan (the law of closure)
Prinsip hukum ketertutupan ini
menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk gestalt.
5. Hukum
kontinuitas
Hukum ini menyatakan bahwa hal-hal
yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan (kontinuitas) yang baik akan
mempunyai tendensi untuk membentuk kesatuan atau gestalt.
Implikasi
Teori Kohler Dalam Proses Pembelajaran
Teori yang di rumuskan oleh Kohler mempunyai implikasi dalam
proses pembelajaran, yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pemahaman (insight) memegang peranan penting dalam
prilaku. Oleh karena itu dalam proses pembelajaran hendaknya peserta didik
memiliki insight yang kuat.
2. Untuk menunjang pembentukan insight, maka guru harus
melaksanakan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), hal itu
bisa dilaksanakan dengan menyusun strategi, memilih metode dan menggunakan
media pembelajaran yang tepat.
3. Setiap prilaku mempunyai tujuan (pusposive behavior).
Prilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada
keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan
berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh
karena itu, guru mempunyai tanggung jawab untuk membantu peserta didik memahami
tujuan pembelajaran.
4. Setiap individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan
dimana ia berada (life space). Oleh karena itu, guru dalam menyampaikan
materi hendaknya dikaitkan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan
peserta didik.
5. Menurut pandangan teori Gestalt, proses pembelajaran
dikatakan berhasil apabila peserta didik mampu menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk dipergunakan memecahkan
masalah dalam situasi lain. Maka guru hendaknya dapat membantu peserta didik
untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
6. Education is social process of change in the behavior of
living organisms. (Kohler, 1926). Oleh karena itu, guru mempunyai tanggung
jawab untuk mendesain pembelajaran yang melibatkan beberapa komponen yaitu guru
dengan peserta didik, peserta didik dengan guru, peserta didik dengan peserta
didik, dan peserta didik dengan masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dalam
teori perkembangan kognitif anak, Piaget meyakini bahwa belajar dihasilkan oleh
kemampuan anak untuk menyesuaikan atau membentuk keterhubungan antara
pengalaman yang baru dengan struktur kognitif yang telah dimilikinya. Piaget
juga percaya bahwa dalam memberikan pelajaran harus memperhatikan tingkat
perkembangan berpikir anak.
Piaget
mendeskripsikan empat tahap perkembangan kognitif, diantaranya: a)
sensorimotor, dimana anak langsung berhadapan dengan lingkungan menggunakan
refleks bawaan mereka, b) pra-operasional yaitu anak mulai menyusun konsep
sederhana, c) operasi konkret, dimana anak menggunakan tindakan yang
telah diinteriorisasikan, d) operasi formal, dimana anak memikirkan situasi
hipotesis secara penuh.
Selain itu faktor yang
menunjang perkembangan intelektual yaitu kedewasaan, pengalaman fisik,
pengalaman logika-matematika, transmisi sosial, dan pengaturan sendiri.
Wolfgang Kohler adalah
salah seorang tokoh psikologi Gestalt pada permulaan 1971. Sebagai suatu
konsep, pemahaman (insight) ini merupakan pokok utama dalam pembicaraan
psikologi belajar dan proses berpikir.
DAFTAR
PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori –
Teori Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Erlangga.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2002. Psikologi
Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hergenhahn, B.R., dan Olson, M.Hg. 2008. Theories
Of Learning (Teori Belajar). Jakarta: Kencana.
Lefrancois, Guy R. 1997. Psychology
for Teaching. Belmont, CA: Wadwordh.
Ruseffendi. 2006. Pengantar
kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika
untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Slameto. 2010. Belajar dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta.
Jhon W. Santrock, Life-Span Development, University
of Texas at Dallas, 1995
Singgih D. Gunarsa, Dasar dan Teori Perkembangan Anak, Gunung
Mulia, Jakarta, 1990
Sarlito W Sarwono, Berkenalan
dengan Aliran-aliran dan Tokoh Psikologi, Bulan Bintang, Jakarta, 2002
Wikipedia. 2014. Kognisi.
Diakses http://id.wikipedia.org/wiki/Kognisi
Wikipedia. 2014. Kemampuan
Kognisi. Diakses http://id.wikipedia.org/wiki/Kognisi